Uji Materi PKPU No 10/2023 Diajukan Guna Menjamin Partisipasi Perempuan
Uji materi diajukan karena KPU tak juga memenuhi janjinya merevisi PKPU No 10/2023. Upaya itu dilakukan demi menjamin kesempatan partisipasi perempuan di parlemen.
Oleh
YOSEPHA DEBRINA RATIH PUSPARISA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demi menjamin kesempatan partisipasi perempuan di parlemen, Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan mengajukan uji materi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung, Senin (5/6/2023). Hal itu sejalan dengan konstitusi yang menghendaki perlindungan dan ruang partisipasi lebih besar bagi perempuan, termasuk calon anggota legislatif.
Lewat uji materi itu, Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan mempersoalkan Pasal 8 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 10/2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), DPR Daerah Provinsi, dan DPR Daerah Kabupaten/Kota. Pasal itu memuat penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di tiap daerah pemilihan (dapil) yang menghasilkan angka pecahan dibulatkan ke atas.
Permohonan uji materi diajukan dua badan hukum privat dan tiga perseorangan.
Fadli Ramadhani selaku kuasa hukum Koalisi Peduli Keterwakilan Perempuan, di MA, Jakarta, Senin, mengatakan, koalisi menaruh harapan agar KPU memenuhi janjinya merevisi PKPU tersebut. ”Setelah ditunggu beberapa lama, KPU tidak menepati janjinya merevisi peraturan KPU. Maka tidak ada pilihan lain selain mengajukan uji materi terhadap Peraturan KPU ke Mahkamah Agung,” ujarnya.
Permohonan uji materi diajukan dua badan hukum privat dan tiga perseorangan. Dua badan hukum yang dimaksud adalah Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) serta Koalisi Perempuan Indonesia. Sementara, tiga perseorangan terdiri dari mantan komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini, dan mantan Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Wahidah Suaib.
Fadhil mengatakan, pihaknya telah beberapa kali berkomunikasi dengan KPU setelah persoalan ini mencuat. Namun, KPU tak juga merevisi PKPU No 10/2023 sehingga koalisi menilai institusi itu telah membohongi publik.
Sebelumnya, Komisi II DPR menolak usulan KPU yang akan merevisi aturan penghitungan jumlah minimal keterwakilan perempuan dalam daftar bakal calon legislatif (caleg) perempuan. Seluruh fraksi menganggap tak perlu perubahan karena relevan dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, khususnya Pasal 245. Sebab, seluruh partai politik telah memenuhi syarat minimal 30 persen keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota DPR (Kompas.id, 17/5/2023).
Menanggapi hal tersebut, Hadar mengatakan, sebenarnya berdasarkan konstitusi, seharusnya ada perlindungan dan ruang partisipasi lebih besar bagi perempuan, termasuk calon anggota legislatif. ”Kita ingin kesempatan partisipasi perempuan betul-betul adil, besar di dunia politik kita dalam pemilu, (sehingga) kami mengajukan judicial reviewke MA ini. Jadi sekali lagi tidak benar kalau dianggap tidak ada apa-apa,” kata Hadar.
Ia optimistis uji materi yang akan diproses dalam 30 hari mendatang ini tetap membuka peluang perubahan regulasi. Apalagi dalam PKPU, ada ruang perubahan urutan bacaleg, nama, dan dapil hingga tahap akhir sebelum penetapan daftar calon tetap (DCT).
”Jadi, ruang itu (perubahan) masih besar. Jadi, tidak bisa juga kita terima kalau ini jadi alasan,” kata Hadar.
Dihubungi terpisah, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, pengujian peraturan merupakan hak hukum warga negara. ”KPU harus menghormati penggunaan hak hukum tersebut,” kata Idham.
Ia menambahkan, dalam UU Pemilu No 7/2017 Pasal 246, aturan tertulis secara eksplisit. Dalam daftar bakal caleg, tiap tiga orang sedikitnya ada satu perempuan. Idham tak menjawab ketika apakah terbuka peluang untuk revisi PKPU No 10/2023 mengenai keterwakilan bacaleg perempuan. Namun, ia mengirimkan kesimpulan Rapat Dengar Pendapat Komisi II dengan Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada Mei lalu. Dalam kesimpulan itu, tertulis Komisi II meminta KPU tetap konsisten melaksanakan regulasi yang telah ada.
Berkaca pada UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 65, tiap dapil perlu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen.
Membawa aspirasi
Wahidah menekankan pentingnya keterwakilan perempuan. Sebab, semakin banyak perempuan yang menjadi pemimpin di legislatif dapat membawa aspirasi untuk pemberdayaan, kesejahteraan, serta keadilan bagi perempuan.
Ia berkaca pada UU No 12/2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Pasal 65, tiap dapil perlu memperhatikan keterwakilan perempuan minimal 30 persen. Ia menilai sikap DPR, KPU, dan Bawaslu yang mendukung tolak revisi PKPU hanya mengacu pada hitungan nasional, bukan per dapil.
Sebelumnya, sejumlah masyarakat sipil juga telah mengingatkan aturan baru terkait ketentuan pembulatan ke bawah akan berdampak pada tidak terpenuhinya kuota minimal pencalonan 30 persen perempuan. Padahal, kuota 30 persen bakal caleg perempuan itu telah diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan bahwa daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen.
”Aturan ini (PKPU No 10/2023) memungkinkan pencalonan anggota legislatif oleh partai politik (parpol) berada di bawah 30 persen ketika dilakukan pembulatan ke bawah. Padahal, pada uji publik 8 Maret 2023 memuat ketentuan pembulatan ke atas dan tidak mengatur pembulatan ke bawah,” kata Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati (Kompas.id, 7/6/2023).