Bencana, Tantangan Pemimpin yang Terpilih dalam Pilkada 2024
Potensi bencana masih menjadi tantangan bagi pemimpin daerah yang akan terpilih pada Pilkada 2024.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Potensi bencana masih perlu diwaspadai di Kalimantan Barat, sepekan ke depan, karena hujan diprakirakan turun dengan intensitas sedang hingga lebat. Namun, potensi bencana juga perlu diwaspadai dalam jangka panjang dan menjadi tantangan bagi pemimpin daerah yang akan terpilih dalam Pilkada 2024.
Prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Bandara Supadio, Pontianak, Debi, Rabu (24/4/2024), menuturkan, sepekan ke depan, tepatnya 24-30 April, wilayah Kalimantan Barat secara umum masih berpotensi hujan dengan intensitas ringan hingga lebat.
Hujan dengan intenstitas ringan hingga lebat tersebut diprakirakan terjadi di Kalbar bagian timur, yaitu Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, Kabupaten Melawi, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu.
Hujan dengan intensitas ringan hingga lebat sepekan ke depan juga diprakirakan terjadi di wilayah pesisir barat Kalbar, yaitu Kota Singkawang dan Kabupaten Mempawah. Selain itu, di Kota Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya.
”Wilayah Kalbar bagian selatan juga berpotensi hujan intensitas ringan hingga lebat sepekan ke depan, yaitu wilayah Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara,” ujar Debi, Rabu pagi.
Dengan adanya potensi hujan intensitas ringan hingga lebat, masyarakat juga diimbau untuk mewaspadai potensi bencana sepekan ke depan. Potensi bencana yang perlu diwaspadai adalah banjir dan longsor.
Sejak awal April, bencana bahkan sudah terjadi di sejumlah wilayah Kalbar. Berdasarkan rekap data bencana yang disampaikan Ketua Satgas Informasi Bencana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kalbar Daniel, Rabu pagi, longsor menutupi akses jalan dari Putussibau, ibu kota Kabupaten Kapuas Hulu, menuju perbatasan Indonesia-Malaysia di Desa Lanjak Deras, Kecamatan Batang Lupar, pada 11 April akibat hujan lebat.
Banjir juga terjadi di Dusun Senakin, Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, pada 17 April. Sebanyak 674 keluarga dan 2.483 jiwa serta 674 rumah terdampak banjir.
Banjir juga menerjang dua desa di Kecamatan Belimbing Hulu, Kabupaten Melawi, pada 21 April. Sebanyak 103 keluarga atau 412 jiwa serta 103 rumah terdampak.
Pemimpin daerah ke depan diharapkan memiliki perhatian serius terhadap penyelamatan lingkungan.
Banjir menjadi bencana yang paling banyak terjadi di Kalbar selama Januari-Maret, yakni 16 kejadian di 10 kabupaten. Sebanyak 29.230 keluarga atau 102.671 jiwa dan 24.765 rumah terdampak banjir dalam periode tersebut.
Bencana tersebut diperkirakan masih menjadi tantangan ke depan, terutama bagi siapa saja yang akan terpilih menjadi kepala daerah Kalbar dalam kontestasi Pilkada 2024. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Hendrikus Adam, Rabu, menilai bencana ekologis berpotensi terus terjadi saat ekstraksi sumber daya alam masih terjadi.
Bencana yang kerap terjadi di Kalbar juga mengonfirmasi kondisi alam Kalbar semakin rapuh. Dengan demikian, penting mendapat perhatian pemangku kebijakan terkait perbaikan dan pemulihan kondisi lingkungan.
Butuh regulasi
Dalam jangka panjang, respons diperlukan termasuk dalam regulasi terkait penanggulangan dan pemulihan dampak sosial dan lingkungan atas bencana. Hal itu bisa diintervensi dengan kebijakan yang memberikan pelindungan maksimal pada sumber daya alam.
Adam juga mengingatkan, publik perlu mewaspadai potensi kemungkinan sumber daya alam menjadi bahan ”bancakan” melalui skema transaksional berupa perizinan menjelang Pilkada 2024. Jika sampai terjadi, hal itu dapat memperburuk bencana ke depan.
”Potensi praktik transaksional yang berdampak pada praktik ekstraksi sumber daya alam perlu diwaspadai. Pemimpin daerah ke depan diharapkan memiliki perhatian serius terhadap penyelamatan lingkungan,” kata Adam.
Catatan Kompas yang pernah dikemukakan Walhi, dari aspek tata ruang ”di atas kertas” dari luas administratif Kalbar sekitar 14 juta hektar (ha), sekitar 8 juta ha diperuntukkan bagi kawasan nonproduksi dan sekitar 6 juta ha untuk kawasan produksi, antara lain untuk konsesi perkebunan, pertambangan, hutan dan tanaman industri.
Namun, kenyataannya, setidaknya 2018-2019, area yang diperuntukkan sebagai perkebunan sudah 5 juta ha, hutan tanaman industri sudah 2 juta ha lebih, pertambangan sekitar 3 juta ha. Artinya, ada lahan nonproduksi yang digunakan untuk produksi.
Pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Tanjungpura, Pontianak, Jumadi, menuturkan, agar dapat melahirkan pemimpin yang mampu mengatasi tantangan ke depan, perekrutan calon kepala daerah tidak boleh hanya sekadar formalitas. Aspek kompetensi seseorang dalam mengatasi tantangan ke depan perlu juga dipertimbangkan.
Di sinilah, menurut Jumadi, peran partai, bagaimana melakukan perekrutan tidak hanya berdasarkan hasil survei, tetapi juga berdasarkan kredibilitas dan kompetensi seseorang. Partai diharapkan jangan mengusung seseorang yang angka surveinya tinggi, tetapi tidak memiliki kapasitas. Kendati, di sisi lain, elektabilitas juga penting karena dalam pilkada orientasinya adalah figur.