Mencegah ”Kutukan” Daerah Kaya Sumber Daya
Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, Riau masih kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas. Gubernur meyakini, kualitas sumber daya manusia adalah kunci utama pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Sumber daya alam yang berlimpah membuat perekonomian Provinsi Riau bertumbuh pesat. Namun, ada harga yang harus dibayar. Sejumlah bencana alam akibat kerusakan lingkungan selalu mengintai warga dari tahun ke tahun.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, perekonomian Riau pada 2022 tumbuh 4,55 persen. Riau menjadi provinsi di luar Jawa dengan produk domestik regional bruto (PDRB) terbesar, yakni Rp 991,59 triliun.
Minyak dan gas yang dulu menjadi penyangga ekonomi Riau tak lagi menjadi yang utama. Saat ini, ekonomi provinsi berjuluk ”Bumi Lancang Kuning” itu lebih banyak ditopang perkebunan sawit dan industri produk turunan sawit.
Gubernur Riau Syamsuar, Minggu (6/8/2023), menyatakan, saat ini perkebunan sawit adalah sumber kehidupan warga. Dari total luas perkebunan sawit 3,38 juta hektar di Riau, 1,18 juta hektar di antaranya merupakan perkebunan rakyat.
”Harga sawit sangat memengaruhi kehidupan warga. Kalau harga sawit naik, ekonomi warga pasti meningkat,” katanya.
Baca juga : Ekspor Pasir Laut Mengabaikan Suara Masyarakat Pesisir
Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-66 Provinsi Riau, Syamsuar mengatakan, masih ada sejumlah pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Salah satu yang paling mendesak adalah peningkatan infrastruktur jalan.
Banyak jalan di Riau rusak karena dilalui truk dengan muatan berlebih. Kapasitas jalan harus segera ditingkatkan secara merata hingga ke daerah pelosok agar mampu mendukung lalu lintas barang dan jasa.
Menurut Syamsuar, infrastruktur jalan adalah urat nadi perekonomian Riau. Daerah penghasil sawit, kayu, batubara, dan sumber daya lainnya itu saat ini belum terhubung secara maksimal satu sama lain. Ini mengakibatkan rantai pasok terganggu.
”Kalau jalan ke suatu daerah rusak pasti waktu tempuh akan menjadi lebih lama. Dalam hal sawit, ini akan berpengaruh terhadap kualitas tandan buah segar (TBS), akhirnya harga jadi turun,” ujarnya.
Sekretaris Dewan Perwakilan Wilayah Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Riau Djono Albar mengatakan, telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2023 tentang Dana Bagi Hasil (DBH) Perkebunan Sawit. Dalam peraturan itu disebutkan, kabupaten/kota penghasil akan mendapatkan 60 persen dari DBH sawit.
”Kami berharap DBH itu nantinya dapat digunakan untuk membiayai peningkatan infrastruktur jalan sampai ke daerah pelosok. Infrastruktur jalan yang memadai amat dibutuhkan para petani di Riau,” katanya.
Selain itu, Djono mengatakan, banyak petani sawit di Riau mengeluh soal transparansi harga. Hingga kini ini, harga TBS yang ditetapkan Dinas Perkebunan Riau belum dapat menjadi acuan bersama.
”Misalnya, Dinas Perkebunan Provinsi Riau menetapkan harga TBS Rp 2.200 per kilogram (kg), tetapi di pasaran harga TBS ternyata hanya Rp 1.800 per kg. Selisih Rp 400 ini amat berarti bagi petani karena dalam sekali jual jumlahnya bisa beberapa ton,” ucapnya.
Selain menjadi penghasil sawit terbesar di Indonesia, Riau juga memiliki sumber daya minyak dan gas serta batubara, hutan tanaman industri akasia dan eukaliptus, juga perkebunan berbagai komoditas lain. Jika semua kabupaten/kota dapat terkoneksi dengan infrastruktur jalan yang baik, ekonomi Riau bakal tumbuh secara signifikan.
Sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, Riau masih kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Selain daerah penghasil sumber daya alam, Riau juga punya Pulau Rupat yang keindahan dan letak strategisnya tidak kalah dengan Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau. Namun, upaya pemerintah daerah memajukan potensi pariwisata di Rupat juga masih terhambat keterbatasan infrastruktur jalan dan pelabuhan.
”Kalau infrastruktur dibenahi, saya yakin ekonomi Riau bakal maju sangat kencang. Mudah-mudahan ini dapat segera dilakukan dengan adanya DBH sawit pada tahun ini,” ucap Syamsuar.
Baca juga : Sumbar-Riau Sepakati Tiga Perjanjian Kerja Sama untuk Dongkrak Ekonomi Daerah
”Kutukan” sumber daya
Pada 22 Juli 2016, Jusuf Kalla yang waktu itu menjabat sebagai Wakil Presiden mengajak pemerintah dan masyarakat Riau untuk mencegah ”kutukan” sumber daya alam. Hingga tujuh tahun kemudian, Riau masih berjuang menghindari bencana alam akibat kerusakan lingkungan.
Riau merupakan daerah di Indonesia yang paling kaya kebun sawit. Namun, kesalahan pengelolaan membuat kualitas ekosistem hutan merosot. Akibatnya, bencana banjir, kekeringan, serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terus terjadi di Riau.
Syamsuar mengatakan, sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, Riau masih kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas. Ia meyakini, kualitas sumber daya manusia adalah kunci utama pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
”Di Riau masih banyak anak putus sekolah. Sejumlah upaya sudah dilakukan, salah satunya membuat kelas jauh dan pusat latihan belajar. Namun, masalah ini tidak bisa diselesaikan dalam waktu tiga atau lima tahun. Butuh usaha jangka panjang dan sinergi pemerintah di semua level,” katanya.
Saat ini, Pemerintah Provinsi Riau masih berusaha mengatasi kesenjangan mutu antara sekolah-sekolah di kota dan daerah pelosok. Syamsuar berharap pemerintah di tingkat kabupaten/kota dapat berjalan seirama untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Selain upaya meningkatkan sumber daya manusia, ia juga menegaskan komitmen Pemprov Riau untuk mewujudkan pembangunan yang merata, berwawasan lingkungan, dan berkelanjutan. Program itu ia sebut sebagai Riau Hijau.
”Kami tetap berkomitmen dengan program itu. Kami memahami bahwa di masa depan daerah yang maju adalah daerah yang memperhatikan ekonomi berkelanjutan. Kelestarian lingkungan amat penting karena sumber kehidupan rakyat Riau bergantung kepada sektor pertanian,” kata Syamsuar.
Kerusakan lingkungan
Sekretaris Komisi IV DPRD Riau Sugeng Pranoto, Sabtu (5/8/2023), mengatakan, program Riau Hijau masih perlu ditingkatkan. Ia menilai, program itu belum dapat mengurangi laju kerusakan lingkungan di Riau secara signifikan.
Sepanjang 2023, kebakaran telah menghanguskan sekitar 1.000 hektar hutan dan lahan. Selain itu, banjir akibat luapan sungai juga masih terjadi di sejumlah kabupaten/kota. Warga masih terus menanggung dampak kerusakan lingkungan.
Baca juga : Risiko Karhutla Rawan Meningkat di Enam Provinsi, Mitigasi Dini Jadi Prioritas
Menurut Sugeng, pemerintah harus bersikap lebih tegas dalam menangani karhutla. Hukuman berat harus dijatuhkan kepada perusahaan-perusahaan yang masih bandel membuka lahan dengan cara membakar.
Selain itu, pemerintah diminta menyiapkan perangkat masyarakat sampai di level desa untuk menanggulangi karhutla. Warga di sejumlah daerah rawan kebakaran juga perlu dibekali dengan alat pemadam api yang memadai.
”Ada Rp 60 miliar dana pencadangan untuk menangani bencana alam. Gunakan dana itu sebaik-baiknya untuk pencegahan. Jangan sampai bencana terus meluas sehingga justru butuh anggaran lebih besar untuk penanggulangan,” ujarnya.
Secara terpisah, Wakil Ketua Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari) Okto Yugo mengatakan, sesuai Peraturan Daerah Riau Nomor 1 Tahun 2019, seharusnya pemerintah secara rutin melakukan audit kesiapan perusahaan untuk mencegah karhutla. Namun, hal ini tidak dilakukan.
”Menurut analisis kami, salah satu penyebab karhutla di Riau terus meluas itu karena perusahaan tidak menyiapkan alat pengendali kebakaran,” katanya.
Selain karhutla, alih fungsi hutan secara besar-besaran juga mengakibatkan banjir. Berdasarkan data yang dikumpulkan Jikalahari, sepanjang 2022 banjir terjadi di tujuh kabupaten/kota dan mengakibatkan 7.981 rumah warga rusak.
Meskipun ada program Riau Hijau, realisasi perhutanan sosial dan pengakuan masyarakat adat berjalan amat lambat. Padahal, dua hal itu penting untuk mempercepat upaya pemulihan lingkungan dan penyelesaian konflik agraria.
Namun, Pemprov Riau saat ini justru getol mendorong badan usaha milik daerah (BUMD) untuk mengelola hutan. Perizinan berusaha pemanfaatan hutan yang diajukan BUMD sering kali tumpang tindih dengan kawasan yang sebenarnya potensial untuk dijadikan perhutanan sosial oleh masyarakat.
Okto juga menyesalkan sikap Pemprov Riau yang menganak-emaskan perkebunan sawit. Sebenarnya, Riau memiliki potensi pertanian lain, seperti kelapa, karet, sagu, kopi, dan pinang. Namun, karena kurang diperhatikan, harga komoditas pertanian selain sawit kini terus merosot.
”Kalau hanya fokus ke sawit, ini sebenarnya merupakan kegagalan pemerintah daerah untuk membangun pasar bagi komoditas pertanian lain,” ucapnya.
Baca juga : Benah-benah Sawit Indonesia