Selain Hujan, Kerusakan Lingkungan di Hulu Disinyalir Memperparah Banjir Berau
Selain curah hujan yang tinggi, pembukaan lahan untuk perkebunan dan tambang batubara skala besar disinyalir ikut memperparah banjir di Kabupaten Berau tahun ini.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Banjir yang menggenangi empat kecamatan di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, pada 13-18 Mei 2021 disebut yang terparah dalam 10 tahun terakhir. Selain curah hujan yang tinggi, pembukaan lahan untuk perkebunan dan tambang batubara skala besar disinyalir ikut memperparah banjir tahun ini.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Berau mencatat, total wilayah yang terdampak banjir adalah 15 desa di empat kecamatan, yakni Kecamatan Kelay, Kecamatan Sambaliung, Kecamatan Segah, dan Kecamatan Teluk Bayur. Sebanyak 2.507 keluarga terdampak banjir yang merendam rumah, kebun, dan jalan dengan ketinggian air mencapai 2 meter.
Kepala BPBD Kabupaten Berau Thamrin menjelaskan, banjir sudah surut di seluruh desa terdampak pada Rabu (19/5/2021) pukul 17.00 Wita. Hanya, di beberapa titik masih dijumpai air menggenang 10-20 sentimeter. Thamrin mengatakan, saat ini tim gabungan sudah menyalurkan air bersih dan sembako kepada warga terdampak.
Meski banjir sudah surut, pos pengungsian dan perahu karet masih disiagakan di Desa Tumbit Melayu, Kecamatan Teluk Bayur, untuk mengantisipasi hujan susulan. Menurut prakiraan cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika hujan masih berpotensi terjadi hingga awal Juni di hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah, dua sungai yang meluap dan mengakibatkan banjir.
Banjir tahun ini dinilai yang terparah dalam 10 tahun terakhir karena air cepat meninggi. Selain itu, genangan air juga meningkat dua kali lipat. Pada tahun sebelumnya, rata-rata genangan air tertinggi sekitar 1 meter, tetapi tahun ini menjadi 2 meter di sejumlah titik.
”Banjir kali ini terbesar setidaknya dalam 10 tahun terakhir karena ketinggian air mencapai 2 meter. Sebelumnya, warga yang rumahnya panggung tidak sampai mengungsi. Sekarang air sampai menembus lantai rumah panggung,” ujar Thamrin dihubungi dari Balikpapan.
Banjir besar tahun ini disinyalir bukan hanya disebabkan oleh fenomena alam, yakni hujan dengan intensitas tinggi di hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah. Kerusakan bentang alam, terutama akibat alih fungsi lahan, di sekitar aliran sungai dan di kawasan hulu perlu juga ditinjau kembali.
Banjir kali ini terbesar setidaknya dalam 10 tahun terakhir karena ketinggian air mencapai 2 meter. (Thamrin)
Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, terdapat 20 konsesi tambang batubara yang berada di sekitar Sungai Segah dan Sungai Kelay. Dari jumlah itu, tujuh konsesi tambang berada di bagian hulu Sungai Kelay.
Salah satu perusahaan tambang batubara yang mendapat izin operasi pemerintah pusat bahkan memiliki total luas konsesi 118.400 hektar. Area pertambangan itu terbentang dari hulu Sungai Kelai hingga Sungai Segah. Dari pantauan citra satelit, Jatam Kaltim mendapatkan bahwa telah terjadi pembukaan lahan di wilayah hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah.
”Hingga 2018, terdapat 123 lubang tambang batubara di Kabupaten Berau. Jatam Kaltim menduga praktik penambangan di hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah menjadi biang kerok pemicu banjir yang terjadi beberapa tahun ini di Kabupaten Berau,” ujar Rupang.
Ia mengatakan, tambang batubara ilegal juga disinyalir turut memperparah kerusakan lingkungan di Kabupaten Berau. Sepanjang tahun 2020 hingga 2021, sedikitnya terdapat 11 lokasi tambang ilegal yang beroperasi di Kecamatan Tanjung Redeb, Teluk Bayur, dan Kecamatan Gunung Tabur. Selain itu, alih fungsi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar juga diduga mendukung banjir besar kali ini.
Dengan melihat data itu, Jatam Kaltim mendesak pemerintah untuk melakukan audit lingkungan secara menyeluruh terhadap semua perusahaan tambang yang beroperasi di Kabupaten Berau. Rupang juga meminta pemerintah melakukan pemulihan kerusakan lingkungan yang terjadi akibat aktivitas pertambangan.
Banjir tahun ini di Kabupaten Berau juga membuat salah satu tanggul tambang jebol. Akibatnya, sejumlah jalan ikut terendam banjir sehingga tak bisa dilalui warga. Berdasarkan pantauan yang dilakukan Jatam Kaltim, tanggul tambang berjarak sekitar 400 meter dari Sungai Kelay.
”Indikator ramah lingkungan untuk usaha atau kegiatan penambangan terbuka batubara mensyaratkan batas minimal jarak adalah 500 meter,” kata Rupang.
Dihubungi terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Berau Sujadi mengatakan belum memeriksa wilayah di bagian hulu Sungai Kelay dan Sungai Segah. Pihaknya sedang berkoordinasi dengan dinas terkait dan pemerintah pusat untuk mengkaji faktor-faktor yang memperparah banjir di Berau tahun ini.
”Kemungkinan ada juga tutupan lahan yang terbuka atau segala macam sehingga mengurangi daya serap air. Namun, pemantauan kami belum sampai atas (hulu) karena sungai ini juga lintas provinsi (merentang hingga Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara),” ujar Sujadi.
Sujadi menjelaskan, topografi Sungai Kelay memang curam sehingga secara umum alirannya lebih deras dibandingkan Sungai Segah. Kondisi tersebut membuat air sungai mudah meluap dan alirannya semakin deras ketika terjadi hujan lebat di bagian hulu.
Meski demikian, Sujadi juga akan berkoordinasi dengan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kaltim hingga pemerintah pusat untuk meninjau kembali operasi tambang di sekitar sungai. Kasus jebolnya tanggul salah satu perusahaan tambang pada banjir kali ini menjadi catatan Sujadi untuk meninjau kembali daya dukung lingkungan di Berau.
”Banyak kewenangan (izin) diambil pusat. Pada kasus tertentu, operasi (tambang) di pinggir sungai dalam beberapa meter saja bolehnya. Mungkin di titik tertentu (ada) di titik rawan, diperlukan pelebaran jarak lagi sehingga masyarakat terhindar dari hal seperti banjir seperti ini,” ujar Sujadi.