Polemik Membakar Lahan di Kalteng Bakal Diperburuk UU Cipta Kerja
Di Kalteng, masalah membuka ladang dengan kearifan lokal membakar masih menjadi polemik yang belum tuntas. Kebijakan Cipta Kerja pun dinilai akan memperburuk keadaan karena bisa memberi kesempatan pada investor besar.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
KAPUAS, KOMPAS – Sebagian peladang di Kalimantan Tengah masih kesulitan membuka dan mengolah lahan. Meski sudah memiliki kebijakan membolehkan membakar, namun hal itu belum menjadi solusi. Kondisi itu bakal diperburuk dengan adanya UU Cipta Kerja yang memudahkan investor besar membuka ladang.
Beberapa waktu lalu DPR RI menyetujui Rancangan Undang Undang Cipta Kerja disahkan menjadi Undang Undang. Hal itu disorot banyak pihak karena akan berdampak pada banyak aspek, salah satunya soal kepemilikan lahan.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono menilai, UU Cipta Kerja mendorong penyederhanaan atas perizinan, persyaratan investasi, dan mempermudah pengelolaan kawasan hutan bagi pemodal besar. Hal itu akan berdampak pada maraknya konflik agrarian atau perebutan lahan antara pengusaha dan masyarakat, khususnya masyarakat adat.
“Kebijakan ini akan memperburuk nasib masyarakat adat yang selama ini sudah mengalami kesulitan hanya untuk diakui juga mengelola lahannya,” kata Dimas di Palangkaraya, Senin (12/10/2020).
Menurut Dimas, ketika konflik muncul, masyarakat adat selalu menjadi korban Mereka diintimidasi bahkan dikriminalisasi. “Masyarakat yang mempertahankan haknya akan mudah dikriminalisasi termasuk mereka yang menggunakan kearifan lokal untuk menanam padi dengan cara membakar,” katanya.
Kebijakan ini akan memperburuk nasib masyarakat adat yang selama ini sudah mengalami kesulitan hanya untuk diakui juga mengelola lahannya
Dalam kebakaran hutan dan lahan misalnya, banyak terjadi ketimpangan dalam penegakan hukum. Hal itu terlihat dari bagaimana aparat dan pemerintah menangani kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan.
Dari data Polda Kalteng, pada 2019 terdapat 121 orang dari 161 kasus kebakaran lahan ditangkap, namun hanya ada dua tersangka dari 20 kasus kebakaran di lahan milik perusahaan. Dari catatan Kompas, sebagian besar peladang yang ditangkap adalah mereka yang ingin membuka lahan untuk menanam padi.
Sebelumnya pemerintah Provinsi Kalteng bersama DPRD Kalteng mengesahkan Peraturan Daerah tentang Pengendalian Kebakaran Lahan di Kalteng. Salah satu isinya adalah mengizinkan kembali masyarakat hukum adat membakar lahan dengan syarat bukan di lahan gambut.
Anggota DPRD Provinsi Kalteng Komisi A Freddy Ering menjelaskan, dalam kebijakan itu pihaknya tidak menggunakan terminologi peladang tetapi masyarakat hukum adat. Ada beberapa syarat yang harus dijalankan masyarakat hukum adat sebelum membuka lahan dengan cara dibakar.
“Ini menjawab respon terhadap banyaknya masyarakat yang ditangkap lantaran membakar lahan,” kata Freddy Ering.
Sayangnya, penggunaan terminologi masyarakat hukum adat belum memberi dampak baik. Pasalnya, hingga kini masyarakat adat di Kalteng belum diakui keberadaanya sehingga aparat masih bisa menangkap para peladang dengan alasan tersebut.
Kesulitan Olah
Hingga kini petani di Kalteng masih bergelut pada persoalan pengolahan lahan. Made Wandre (72), warga Desa Batu Nindan, Kabupaten Kapuas, memilih membakar lahannya dengan berbagai pertimbangan. Ia harus mengurus banyak izin agar bisa menanam padi dengan cara membahar lahan terlebih dulu.
“Kalau tidak dibakar itu hamanya banyak, lalu saya juga harus beli banyak kapur dan pupuk. Gak sanggup,” ungkap Wandre.
Wandre pun akhirnya membakar ladangnya setelah melalui beragam perizinan. Ia meminta izin mulai dari kepala desa, tokoh adat, hingga aparat kepolisian di desanya. Saat membakar pun tak jarang ia ditemani petugas pemerintahan desa maupun aparat untuk memastikan api tidak merambat ke lahan lainnya.
Saat ini, ladang Mandre sudah siap ditanami agar bisa dipanen Desember nanti jika tidak ada halangan lain. “Pemerintah sudah membolehkan, tapi syaratnya memang banyak. Ladang saya juga gambutnya hampir tidak ada,” katanya.
Lain lagi cerita Saruman (44), Ketua Kelompok Tani Lancang Mandiri di Desa Bagendang Tengah, Kabupaten Kotawaringin Timur. Ia dan 10 orang anggota kelompok taninya tidak berani membakar lantaran di desanya sudah dua orang yang pernah ditangkap karena membakar lahan.
“Dari pada ditangkap polisi nanti anak saya makan apa. Lebih baik saya tanam cabai dan semangka saja,” ungkap Saruman.
Saruman mengungkapkan, karena tak lagi menanam padi, dirinya terpaksa membeli beras di pasar. Padahal puluhan tahun sebelumnya beras selalu dihasilkan dari ladangnya yang mencapai satu hektar.
Saruman menjelaskan, pemeriintah daerah pernah membantu kelompok taninya dengan memberikan traktor tangan dengan maksud menjadikan ladangnya menjadi sawah. Namun, masalah tak selesai karena sumber air tidak ada.
Sekretaris Desa Bagendang Tengah Wani Inas mengungkapkan, pihaknya pernah hampir mendapatkan bantuan lima titik sumur bor dari program restorasi namun tidak jadi lantaran titik yang diinginkan masyarakat tidak sama dengan titik yang sudah ditentukan oleh pemerintah untuk menanam sumur bor.
“Kalau ada sumur bor itu tidak hanya untuk mencegah kebakaran tetapi juga untuk mengairi sawah, tetapi kan tidak jadi, ya sudah jadi ladang saja tidak bisa sawah,” ungkap Wani.