Dalam Konflik Agraria di Kalteng, Kelompok Perempuan Paling Terdampak
Perempuan menjadi kunci ketahanan pangan keluarga di masyarakat Dayak, Kalimantan Tengah. Namun, tingginya deforestasi dan konflik agraria membuat perempuan kehilangan akses dalam memanfaatkan alam untuk pangan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Bagi masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah, perempuan merupakan kunci ketahanan pangan keluarga. Namun, tingginya deforestasi dan konflik agraria membuat perempuan kehilangan akses dalam memanfaatkan hutan untuk pangan.
Hal itu terungkap dalam diskusi daring yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Bentala Rakyat dengan tema Konflik Perkebunan Sawit di Kalimantan Tengah pada Kamis (21/5/2020).
Hadir sebagai pembicara Direktur Save Our Borneo (SOB) Safrudin Mahendra, Kordinator Advokasi Justice, Peace, and Integrated Creation (JIPC), Margaretha Winda dari Solidaritas Perempuan (SP) di Kalimantan Tengah, dan Deputi Direktur Advokasi ELSAM Andi Mutaqqien.
Margaretha Winda menjelaskan, pihaknya sudah mendampingi kelompok perempuan di perkebunan sawit maupun kelompok ibu-ibu yang terdampak konflik dengan perusahaan selama dua tahun di Kalteng. Meskipun tidak melakukan pendampingan hukum, Solidaritas Perempuan (SP) di Kalteng melakukan penguatan terhadap kelompok perempuan, anak, lansia, dan kaum disabilitas dalam situasi konflik.
“Perempuan Dayak sangat bergantung dengan hutan, jadi kalau hutan dikonversi menjadi sawit dan tambang maka sumber penghidupan dan ketahanan pangan keluarga akan terganggu,” kata Winda.
Perempuan Dayak sangat bergantung dengan hutan, jadi kalau hutan dikonversi menjadi sawit dan tambang maka sumber penghidupan dan ketahanan pangan keluarga akan terganggu
Sebelum hutan dikonversi menjadi perkebunan atau tambang, lanjut Winda, hutan merupakan sumber pangan suku Dayak. “Mereka berburu, meramu masakan, sayur-mayur, hingga buah semuanya ada dari hutan,” katanya.
Hal itu sejalan dengan penelitian Lembaga Studi Dayak-21 pada tahun 2017 tentang peran ibu-ibu Dayak dalam ketahanan pangan. Dalam penelitian itu disebutkan, perempuan Dayak memiliki pengetahuan dan pemahaman setidaknya 108 jenis padi dan 30 jenis ketan yang ditanam di rawa atau ladang pinggir sungai. Mereka juga mengolah 119 jenis buah budidaya dan nonbudidaya.
Terdapat 172 jenis sayuran dan ramuan bumbu dari ratusan jenis biji-bijian. Semua itu di dapat di hutan, di pinggir sungai yang kondisinya tidak tercemar, dan ladang. Tak hanya menanam dan meramu, perempuan juga menjual atau memasarkan hasil ladangnya sebagai bentuk usaha keluarga.
Winda mengambil contoh konflik di Desa Penyang, Kabupaten Kotawaringin Timur yang saat ini sedang berlangsung, di mana terdapat tiga tersangka yang semuanya merupakan kepala keluarga sangat berdampak pada keluarganya. Salah satu tersangka yang dituduh mencuri sawit di lahan perusahaan perkebunan sawit itu meninggal.
“Mereka korban kriminalisasi karena konflik dengan perusahaan. Bisa dibayangkan kondisi psikologis istri dan anak yang ditinggalkan. Bapaknya pulang tinggal nama, sudah berbulan-bulan tidak ketemu karena di penjara,” kata Winda.
Dalam kondisi demikian, menurut Winda, perlu ada penguatan-penguatan pascakonflik atau saat konflik sedang berlangsung terhadap perempuan. Sehingga mereka bisa tetap produktif menjaga ketahanan pangan keluarganya.
"Selain psikologis terganggu, ada perubahan perilaku bahkan kearifan lokal yang terjadi karena konflik, seperti mereka yang biasa menganyam tidak bisa lagi karena rotannya tidak ada," kata Winda.
Data dari Dinas Perkebunan Provinsi Kalteng, dari total 327 unit izin perkebunan kelapa sawit, hanya ada 177 unit yang beroperasi di lahan seluas 1,9 juta hektar atau lebih dari setengah luas Provinsi Jawa Barat. Sisanya dengan total, 2,059 juta hektar belum dibuka dan direkomendasikan untuk dicabut.
Safrudin dari SOB menambahkan, selama kebijakan ekonomi pemerintah masih eksploitatif terhadap sumber daya alam, maka masyarakat termasuk kelompok perempuan akan terus didera konflik. Selama pihaknya melakukan pendampingan atau advokasi masalah di perkebunan sawit belum banyak respon dari pemerintah maupun perusahaan untuk serius menyelesaikan konflik.
“Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di setiap konflik, penegakan hukum pun rendah. Kampanye jadi salah satu cara tetapi semua pihak harus ikut terlibat dan komitmen dengan itu,” kata Safrudin.
Andi Mutaqqien menambahkan, banyak mekanisme aduan yang bisa dilakukan dalam penyelesaian konflik. Hal itu mengacu pada aturan dalam Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Eknomi (OECD).
“Dalam lembaga-lembaga yang ingin sawit berkelanjutan itu ada mekanisme mediasi dan konsiliasi untuk penyelesaian konflik yang bisa dimanfaatkan siapa saja, baik buruh, petani secara individu maupun kelompok,” kata Andi.
Andi menjelaskan, meskipun memiliki banyak mekanisme sebagian besar kasus bisa diselesaikan namun sebagiannya lagi terbengkalai. Hal itu seharusnya menjadi pekerjaan rumah untuk diperbaiki mengingat banyaknya konflik yang terjadi karena kepemilikan lahan dan aspek konflik lainnya.
Senada dengan Andi, Bama Adiyanto mengungkapkan, pihaknya lebih banyak berupaya menyelesaikan masalah dengan cara nonlitigasi. "Komunitas atau masyarakat harus sadar hukum dulu sehingga mekanisme keluhan konflik itu bisa dipahami," kata Bama.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Halind Ardi menjelaskan, pihaknya selalu berupaya menyelesaikan konflik seusai dengan mekanisme dan aturan pemerintah yang berlaku. Jalur hukum merupakan cara terakhir yang diambil untuk menyelesaikan masalah.
“Pendekatan dengan masyarakat tentunya jadi yang utama, kami selalu berupaya agar tidak ada konflik,” kata Halind.
Halind menjelaskan, tidak semua perusahaan di Kalteng merupakan anggota GAPKI. Namun, untuk 114 perusahaan perkebunan sawit yang menjadi anggota GAPKI wajib menaati semua aturan dari pemerintah.
“Termasuk selama pandemi ini,kami perhatikan betul pekerja karena masih operasi terus kan, kami batasi akses keluar-masuk sesuai protokol kesehatan, untuk semua baik perempuan maupun laki-laki,”kata Halind.