Kelanjutan pembahasan sejumlah RUU yang memantik unjuk rasa di sejumlah daerah diharapkan memperhatikan aspirasi publik. Jika suara publik kembali diabaikan, publik akan kembali menolak RUU tersebut.
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah susunan alat kelengkapan DPR terbentuk, DPR segera melanjutkan pembahasan sejumlah rancangan undang-undang yang memantik protes mahasiswa dan pelajar di sejumlah daerah, akhir September lalu. Sebagian ingin regulasi itu segera disahkan, tetapi ada pula yang ingin regulasi dibahas kembali dengan membuka ruang partisipasi publik.
Rancangan undang-undang (RUU) tersebut, di antaranya Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), RUU Pemasyarakatan, dan RUU Pertanahan. Menyusul unjuk rasa di sejumlah daerah tersebut, Presiden Joko Widodo sempat memutuskan untuk menunda pengesahan RUU tersebut.
DPR kemudian berencana melanjutkan pembahasan RUU setelah susunan alat kelengkapan DPR (AKD) tuntas dibentuk. Susunan AKD telah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (29/10/2019).
Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa, pembahasan RKUHP dan RUU Pemasyarakatan tidak akan memakan waktu lama. Kemungkinan besar akan segera disahkan karena tidak ada lagi yang perlu diperbaiki.
”Pembahasannya sudah selesai di tingkat I, tinggal disahkan saja di tingkat II. Sudah tidak ada lagi yang perlu diperbaiki,” katanya.
Padahal, banyak pasal di RUU tersebut yang dinilai bermasalah oleh akademisi, masyarakat sipil, dan mahasiswa. Dalam RKUHP, ada lebih dari 20 pasal yang bermasalah, antara lain, terkait aturan hukum yang hidup dalam masyarakat (Pasal 2 dan 598); hukuman mati (Pasal 67, 99, 100, dan 101); pengaturan makar (Pasal 167); penghinaan presiden, pemerintahan yang sah dan lembaga negara (Pasal 218, 219, 240, 241, 353, dan 354); tindak pidana agama (Pasal 304); dan kesusilaan (Pasal 417 dan 419).
Selain itu, pasal yang berpotensi mengkriminalisasi perempuan yang melakukan pengguguran (Pasal 470-472); tindak pidana peradilan atau contempt of court (Pasal 281 dan 282); tindak pidana penghinaan (Pasal 440-449); tindak pidana korupsi (Pasal 604-607); dan pelanggaran HAM berat (Pasal 599 dan 600).
Adapun RUU Pemasyarakatan dinilai banyak kalangan bermasalah karena tidak lagi mencantumkan syarat rekomendasi lembaga penegak hukum untuk memberikan asimilasi atau bebas bersyarat terhadap terpidana kasus kejahatan luar biasa, termasuk tindak pidana korupsi.
Desmond mengatakan, Presiden meminta penundaan RUU hanya karena ada desakan dari publik. Penundaan tidak mengubah poin-poin di RKUHP dan RUU Pemasyarakatan yang telah disepakati pemerintah dan DPR periode 2014-2019. Terlebih pembahasan terakhir sudah disepakati di tingkat pertama. Jadi, tidak perlu lagi dibahas ulang.
Namun, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera berbeda pendapat dengan Desmond. Menurut dia, poin-poin yang dipermasalahkan publik harus dibahas kembali. Tak hanya itu, DPR juga perlu menyerap kembali masukan dari akademisi, khususnya pakar hukum dan ahli tata negara.
”Tidak bisa asal ketok lalu disahkan, saya pribadi ingin agar hal-hal kontroversial yang ada dalam draf RUU tersebut kembali dibahas bersama para pakar hukum,” ucapnya.
RUU Pertanahan
Sementara terkait kelanjutan RUU Pertanahan, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Komisi II akan segera membahasnya dengan pemerintah. Dari pembahasan itu nanti akan diputuskan apakah RUU akan dilanjutkan pembahasannya atau dikaji ulang.
”Mengenai apakah pembahasannya dari awal lagi ataupun melanjutkan pembahasan di periode sebelumnya, sangat bergantung pada pandangan yang berkembang dalam Komisi II dan kesepakatan dengan Menteri ATR/BPN,” ucapnya.
Namun, menurut anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Komarudin Watubun, masih ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki, di antaranya terkait hak guna usaha (HGU) dan hak pemilikan lahan (HPL) yang berpotensi menimbulkan konflik agraria, khususnya pada tanah milik masyarakat adat.
”Tanah ini merupakan hajat hidup orang banyak. Oleh sebab itu, kami akan membuka ruang dialog bagi masyarakat dan para ahli pertanahan supaya jangan ada lagi masalah dalam RUU tersebut,” katanya.
Ruang publik
Dihubungi secara terpisah, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Ronald Rofiandri menjelaskan, berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, DPR bersama pemerintah diberi kewenangan untuk melanjutkan RUU yang belum tuntas pembahasannya di periode pemerintah dan DPR sebelumnya.
”Syaratnya, selama daftar inventaris masalah (DIM) RUU sudah disepakati, DPR dan pemerintah bisa melanjutkan pembahasan RUU tersebut melalui mekanisme luncuran. Jadi, tak perlu dibahas dari awal. Hal ini akan menghemat waktu dan anggaran pembahasan RUU,” ucapnya.
Namun, dia mengingatkan, penolakan publik terhadap sejumlah RUU harus diperhatikan DPR bersama pemerintah saat RUU tersebut dibahas kembali. Pembentuk undang-undang diharapkan membuka kembali ruang publik untuk memberikan masukan.
”Jika tetap disahkan dengan sejumlah pasal bermasalah, secara legal formal memang terpenuhi karena beberapa RUU tersebut sudah melewati pembahasan tingkat I. Namun, secara legitimasi sosial, hal tersebut tidak terpenuhi karena pasti akan memunculkan kembali penolakan publik,” katanya.