Panasea dan Rumah Sakit pada 3018
Mungkin, aku hanyalah penganggur yang digaji untuk datang pagi sekali agar bisa sebatas diam, diam, dan hanya diam.
TIDAK pernah ada yang sakit lagi di dunia ini. Rumah sakit telah kehilangan masa jayanya. Kamar-kamar berdebu yang penuh jaring laba-laba, tabung infus yang kosong, stetoskop yang sudah lama berada dalam lemari. Tak ada lagi suster atau dokter berjalan tergesa-gesa di trotoar untuk menemui pasien. Semua toilet begitu kotor karena sudah lama tak dibersihkan meski seharusnya rumah sakit adalah tempat paling bersih.
Saat ini, rumah sakit sudah beralih fungsi menjadi museum: tempat anak-anak sekolah melakukan karya wisata dan kami—para pegawai rumah sakit—mendadak menjadi pemandu yang memperlihatkan virus-virus yang pernah ditakuti di masa silam, memperkenalkan penyakit dan gejalanya yang takkan pernah mereka rasakan, mulai dari penyakit HIV/AIDS sampai Covid-19, serta memutarkan film dokumenter tentang sejarah dunia kedokteran.
Orang-orang datang bergerombol dari kamar menuju kamar, melakukan swafoto, dan pura-pura menyimak penjelasan. Padahal, aku tahu mereka sudah muak dan ingin segera keluar agar bisa merokok sepuasnya—toh merokok pun takkan membuat mereka sakit. Nyaris semua yang hadir selalu terlihat bosan, beberapa—biasa siswa badung—membuat lelucon tentang penyakit, dan suasana menjadi cukup ceria setelahnya.
Sebagai seorang dokter, aku kadang bimbang menyikapi hal tersebut. Di satu sisi, aku merasa senang karena manusia telah menemukan kesehatan yang absolut. Di sisi lain, aku merasa tidak pernah bekerja sedikit pun. Aku merasa gelarku sia-sia. Mungkin, aku hanyalah seorang penganggur yang digaji untuk datang pagi-pagi sekali agar bisa sebatas diam, diam, dan hanya diam. Nyaris seperti satpam, tanpa adanya beban keamanan.
Gaji sebagai dokter semakin lama semakin berkurang. Pemerintah menganggap tanpa adanya dokter pun kehidupan akan berjalan dengan sempurna. Jurusan kedokteran yang sempat jadi primadona pada zaman dulu satu per satu mulai tutup. Menurut data terbaru, delapan puluh persen masyarakat ingin agar dokter digantikan oleh robot. Aku paham akan hal itu. Robot tak perlu digaji. Besi-besi itu bisa dua puluh empat jam diam, diam, dan hanya diam, serta sesekali mengantar anak sekolah berkeliling rumah sakit.
Aku jadi menyesal tak mendengarkan orangtuaku saat memilih jurusan kuliah dulu. Mereka ingin aku memilih jurusan sastra karena, menurut pandangan mereka, seorang penyair takkan bisa digantikan oleh mesin. Namun, aku bersikeras untuk memilih jurusan kedokteran dengan beberapa alasan: 1. Karena sedikitnya peminat, jadi aku tidak perlu belajar sungguh-sungguh. Jujur saja, aku tak peduli tentang prospek masa depan—itu memang aku sesalkan sekarang; 2. Karena kakekku, Robert Panasea, ilmuwan dan dokter yang menemukan vaksin sekaligus obat segala penyakit. Ironi sekali, dulu aku masuk kedokteran karena merasa Kakek adalah dokter yang hebat, dan aku ingin mengikuti jejaknya.
Baca juga: Potret Paman
Namun, sekarang, aku merasa tidak berguna sebagai dokter karena Kakek telah memecahkan rekor tertinggi dalam dunia kedokteran sampai bidang itu tak diperlukan lagi.
Akan aku ceritakan sedikit tentang Kakek—idolaku sekaligus musuh bebuyutanku saat ini. Kisah ini terjadi sekitar dua puluh tahun lalu saat dunia lebih mirip bulatan sampah kucel yang baru saja disiram zat kimia yang susah terurai: bau, tidak sehat, dan lebih baik dibakar saja. Daratan telah dihiasi sampah, sampai bertumpuk-tumpuk seperti singgasana raja. Saat itu, seorang wartawan pernah menyebut bahwa bumi ini sudah jadi planet sampah. Lautan pun tak kalah bersampah. Kalian bisa melihat sampah-sampah berenang naik turun seperti sekumpulan ikan di bawah samudra.
Karena keberadaan sampah yang diperkirakan telah mengisi tujuh puluh delapan koma lima persen bumi, maka manusia terjangkit banyak penyakit saat itu. Tiga per empat penduduk meninggal dan menjadi bangkai yang tak terkubur, karena tak ada sejengkal tanah pun yang bersih tanpa sampah dan bisa dipakai untuk pemakaman. Saat itu umurku masih belasan dan sedang rajin-rajinnya membaca al-kitab yang membuatku berpikir bahwa keadaan ini adalah azab dari Tuhan. Aku lebih suka mendapatkan azab seperti kisah-kisah dalam al-kitab: terlihat lebih lazim, natural, dan tanpa sampah.
Pada saat dunia seperti itulah, Kakek menemukan sebuah vaksin sekaligus obat segala penyakit, yang pada akhirnya diberi nama Panasea. Umur Kakek saat itu menginjak delapan puluh. Aku ingat betapa keras usahanya untuk menemukan obat itu. Ia melakukan beribu kali percobaan di laboratoriumnya. Aku tahu, karena tak jarang aku sendiri melihat percobaan tersebut: melihat rambut beruban Kakek yang rontok karena terlalu banyak berpikir, melihat keriput tangannya yang mencorat-coret papan tulis berisi rumus-rumus yang lebih mirip kode saking rumitnya, mencium bau-bau obat kimia yang menyengat sampai hidungku bersin-bersin.
Aku bahkan pernah melihat Kakek mencoba melakukan bunuh diri. Aku melihatnya sedang menggantungkan tali pada langit-langit laboratorium. Saat itu, ia tersenyum ke arahku sambil menyebut namaku dan berkata, Robert, aku lebih baik mati bunuh diri dibanding mati karena sampah-sampah itu. Aku melihat ke arahnya dengan tatapan menjijikkan, melihat seorang dokter terbaik yang pernah kutahu, seorang renta yang sudah busuk mencoba bunuh diri. Aku pun menjawab singkat, Sesudah ini aku akan ganti nama, Kek. Aku tidak mau mempunyai nama yang sama seperti seorang pecundang yang memilih bunuh diri dibanding menyelamatkan dunia.
Mungkin dia ingin bertemu kakekku, penemu obat Panasea.
Saat itu, aku pergi dari sana, dan aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya. Kenapa Kakek tak jadi bunuh diri, bagaimana ia menemukan Panasea, sungguh aku tak pernah tahu. Karena sejak kejadian itu, aku tak pernah lagi menemui Kakek. Sejak saat itu, aku tidak pernah datang ke laboratoriumnya. Aku bahkan tak pernah mengucapkan selamat atas temuannya. Aku pergi, tidak hanya dari ruangan itu, tapi juga dari kehidupan Kakek.
Hanya rasa bangga di hatiku yang tak pernah pergi. Perasaan yang menyatakan bahwa aku adalah Robert Panasea Jr, cucu dari Robert Panasea yang menemukan obat Panasea. Bahkan lima tahun setelah itu, dunia bisa menyelesaikan masalah penyakit dan sampah berkat bantuan Panasea. Tidak hanya menjadi obat bagi semua penyakit, tapi juga menjadi secercah harapan untuk kemanusiaan, bahwa planet masih ada harapan. Dunia hanya butuh waktu lima tahun untuk membuat bulatan sampah bernama bumi jadi lebih baik. Tepat di tahun itu jugalah, aku menjadi mahasiswa kedokteran.
BUNYI suara telepon yang terdengar seakan sudah bertahun-tahun menunggu untuk berdering. Aku sedikit kaget mendengarnya, karena setahuku telepon ini hanya akan berbunyi untuk urusan pasien saja.
”Halo, dengan Dokter Robert Panasea Jr. Ada yang bisa saya bantu?” Aku mengangkat telepon.
”Pak Dokter, ada yang ingin bertemu dengan Anda,” ujar suara suster di sana, terdengar panik. Mungkinkah ada yang sakit?
”Apakah kau tak salah dengar? Mungkin dia hanya ingin Panasea. Obat itu.”
”Tidak, Dokter. Dia sendiri menyebutkan nama Anda. Bukan obat Panasea.”
”Mungkin dia ingin bertemu kakekku, penemu obat Panasea.”
”Tidak, Dokter. Dia menyebut Dokter Robert Panasea Jr. Bukan ilmuwan Robert Panasea. Lagi pula, kakek Anda tidak bekerja di rumah sakit ini lagi, hanya Anda satu-satunya Robert Panasea yang bekerja di sini.”
”Urusan kesehatan?” tanyaku memastikan.
”Iya, Dokter. Kenapa Anda malah memperlambat semuanya! Ini pasien pertama kita sejak dua puluh tahun lalu!”
”Cepat bawa ke UGD!” kataku cukup keras karena mendengar kata ”pasien”. ”Dia masih bisa berjalan? Jika tidak....”
”Bisa, Dokter. Baiklah, akan saya antar sekarang.” Suster itu memotong perkataan lalu menutup telepon.
Baca juga: Memikirkan Upit
Aku menyimpan gagang telepon kembali pada tempatnya. Merapikan jas labku. Aku berlari ke ruang UGD secepat mungkin. Ini pasien pertamaku. Bahkan mungkin ini adalah pasien pertama dalam sejarah dunia sejak Panasea ditemukan.
Aku duduk di ruangan tersebut. Pasienku belum datang. Aku merasa bangga mendahului paseinku. Ini adalah pengalaman pertamaku. Aku harus benar-benar sempurna.
”Dok,” suara suster dari pintu sayup-sayup terdengar. Aku merasa jantungku langsung berdetak cepat.
”Silakan masuk!” teriakku sambil mencoba untuk terlihat sibuk dan bergaya layaknya seorang dokter dalam film-film dokumenter yang selalu kuperlihatkan pada anak-anak sekolah.
”Ini pasiennya, Dok.” Suster itu terdengar bahagia mengatakannya. Ah, siapa yang tidak bahagia mendapatkan pelanggan setelah bertahun-tahun?
”Silakan duduk,” ujarku, aku masih mencoba pura-pura sibuk. Aku merasa tanganku sedikit gemetar. Ini adalah pasien pertamaku. Aku tidak berani menatap wajah pasienku sendiri. Aku mendengar suara kursi berderit karena pasienku sudah duduk, lalu suara pintu ditutup.
Aku memberanikan diri menatap ke arah pasienku. ”Silakan sebutkan nama Anda dan apa sakit yang dirasakan.”
”Robert Panasea, saya merasakan tubuh saya membutuhkan penyakit.”
Mendengar suara dan perkataan pasienku, aku mencoba menatap lekat-lekat wajahnya. ”Robert, aku merindukan sakit.” []
Robert Panasea, saya merasakan tubuh saya membutuhkan penyakit.
Jein Oktaviany, lahir di Ciwidey, Jumat tanggal 13. Aktif di Kawah Sastra Ciwidey. Karyanya bisa dilihat di jeinoktaviany.wordpress.com.