Tak Ada Apa-apa di Ujung Hari Ini
Tidak ada yang menungguku lagi, bukan? Tuhan mungkin memberikan takdir ini kepadaku karena belas kasihan padaku.
Aku membayangkan bagaimana jika orang seperti aku menjadi tokoh dalam sebuah novel, aku merasa hatiku sebesar antariksa. Kita semua adalah pemeran utama dalam cerita hidup kita. Aku merasa bahwa genre hidupku adalah inspiratif.
”Nak, ibu sayang kamu. Ibu pengin kamu ikut.” Itu kata terakhir yang ibu bilang kepadaku di ranjang rumah sakit sebulan yang lalu.
Aku harus menghemat uang yang tersisa hanya untuk membeli segenggam nasi sebagai makanan sehari-hari. Aku berharap akan ada perjalanan cerita yang membawaku dari titik nol menuju kesuksesan. Aku percaya bahwa aku bakal diberkahi keberuntungan yang akan membuatku melonjak. Aku merasakannya.
Rasa-rasa bukanlah perihal yang dipercayai ayah. Almarhum bakal bilang, ”Manusia diberi akal untuk mikir.” Tapi aku tetap pakai rasa. Perasaanku membubung jika aku beradu pandang dengan orang asing dan berbagi senyuman. Rasanya, senyuman yang terbalas itu memengaruhi suasana hariku. Aku menghitung berapa kali aku berinteraksi dengan ramah setiap hari sebagai pencapaian. Hal itu menguatkan keyakinanku bahwa aku orang yang baik meskipun aku belum mampu derma pakai uang.
Sayang, suasana di dalam bus ini terasa dingin. Selain karena AC yang membuat pegangan besi berkaratnya berembun dan bulu kursinya tidak menyerap panas tubuh. Aku memaksa bertemu tatapan dengan orang-orang, tetapi mereka semua mengalihkan pandangan. Bahkan, ada seorang pramugari bus yang mencibir padaku. Dia tidak perlu mengikuti standar penampilan seorang pramugari di pesawat.
Meski begitu, aku tidak bisa menyangkal bahwa banyak pegawai di pekerjaan yang dianggap tidak elite, seperti petugas kebersihan di toilet mal atau kasir minimarket, yang memiliki penampilan menarik. Apakah seharusnya aku mempersiapkan diri untuk pekerjaan semacam itu saja? Apakah aku harus mengubur keyakinanku akan kesuksesan besar di masa depan?
Manusia diberi akal untuk mikir.Pramugari bus tersebut wajahnya terlihat bersinar meski bercampur dengan keringat karena kelelahan bekerja. Dia sedang berdebat dengan penumpang yang membayar dengan koin.
Manusia diberi akal untuk mikir. Pramugari bus tersebut wajahnya terlihat bersinar meski bercampur dengan keringat karena kelelahan bekerja. Dia sedang berdebat dengan penumpang yang membayar dengan koin.
”Enggak terima koin, Pak!” Penumpang itu bersikeras. ”Bisa dua koin lima ratus, ya, Mbak. Saya enggak punya uang lain.” Penumpang bus itu mengaduk-aduk ranselnya.
Aku teringat untuk mengecek ranselku karena takut ada yang lupa, dan seketika suara parau terdengar dari kursi belakang. ”Aku sedang menuju rumah sakit. Ya, aku naik bus! Apa!? Siapa suruh pergi keluar kota saat aku lagi hamil tua! Enggak ada yang bisa mengantarku!” Mungkin penumpang itu sedang menelepon suaminya.
”Mbak?”
”Kamu tega, Mas!”
”Mbak!”
Aku menoleh ke arah orang yang memanggilku. Seorang pria bertopi baru saja naik di halte ketiga. Perhentian berikutnya adalah sekolahku.
Pria bertopi itu bertanya, ”Boleh saya duduk di sini?” Aku tersenyum saja. Dia membalas senyumku dengan senyuman yang sama lebar. Bus terus terombang-ambing di jalan yang beraspal tidak rata. Ibu hamil tadi sepertinya telah memutuskan sambungan telepon. Kedengarannya ibu itu gelisah.
”Kamu cantik.”
”Apa?”
”Kamu. Cantik banget.”
Ini pertama kalinya seseorang memuji penampilanku sebegitu gamblangnya. Biasanya, teman-temanku hanya menganggapku manis. Aku suka becermin dan membayangkan diriku seharusnya dipuji cantik. Tidak pernah kukira aku bakal tersanjung karena ucapan orang asing. Detak jantungku berdegup kencang.
”Pernah terpikir jadi model? Kamu bagus pakai baju apa saja soalnya badanmu langsing.” Dalam kelamnya situasiku, bulan depan aku kehabisan akal membayar sekolah pakai apa dan aku perlu menyelesaikan SMA…. Ini penyelesaiannya!
Pipiku memanas. ”Aku belum pernah sih terpikir jadi model.”
Ia menyodorkan kartu namanya. ”Saya fotografer di koran digital SANGKOT.”
Baca juga: Yai
”Aku enggak pernah baca koran,” kataku saat memegang kartu namanya. Logikaku sadar ada yang tidak beres, tapi perasaanku melambung. Ini adalah bidang yang akan mengubah nasibku sebagai anak yatim piatu menjadi orang sukses yang tidak perlu melunta-lunta!
”Aku benar-benar merasa kamu memiliki potensi menjadi bintang!” kata pria bertopi itu sambil sebentar melepas topinya, ubun-ubunnya ternyata licin. Namun, ucapannya lebih licin dan menggugah. Menjadi bintang? Wow! Itu berarti banyak uang, kan? Betapa menyenangkannya.
”Tertarik enggak menjadi model?”
Aku mengangguk, ”Mau!” Tubuhku meriang senang meskipun aku belum pernah peragaan busana sebelumnya. Apa sulitnya, kan? Hanya perlu berjalan dengan wajah datar. Gampang!
”Ada pembayaran di muka untuk biaya administratif. Setelah kamu saya potret, baru kamu dapat fee.”
”Huek!!!”
Ternyata, ketika ibu hamil itu sedang berdiri, ia muntah hebat. Si lelaki bertopi juga kena sedikit muntahan. Bus dihentikan karena baunya yang menyengat.
Hanya pria bertopi itu yang bersedia menemaniku keluar dan ditinggal bus dekat deretan ruko yang salah satunya sebuah restoran. Kami meminta izin meminjam WC dan membasuh kepala dengan air. Pria bertopi itu membeli sebungkus kerupuk agar restoran tidak kesal karena hanya menggunakan WC-nya. Kami keluar dari restoran sambil tertawa-tawa.
”Berapa biaya muka?”
”Hanya satu juta.”
”Itu seluruh isi rekeningku.”
”Berapa uang yang ada di dompetmu?”
”400.000.”
”Boleh aku mengambilnya?”
Ada pembayaran di muka untuk biaya administratif. Setelah kamu saya potret, baru kamu dapat fee.
Aku mengeluarkan uang-uang kertas lusuh. Ia menjilati jemarinya sembari menghitung uang tersebut.
Ia kemudian membawaku ke agensinya, sebuah ruko bobrok di jalanan sunyi. Tempatnya sempit dan kumuh, angin sepoi-sepoi membawa pasir sehingga membuat mata kelilipan. Apa yang akan terjadi pada diriku? Rasa ngeri perlahan-lahan berubah menjadi kekosongan. Aku menyesal karena terlalu bersemangat menghadapi harapan palsu di hadapan seseorang yang ternyata peranannya adalah malaikat kematianku, manusia gagal yang terjebak pesona kekejaman.
Jika aku bisa memutar waktu, aku hanya ingin diberi tahu saja dan aku akan menerima tawaran ini dengan lapang dada tanpa semangat-semangat palsu yang lebih memalukan daripada disiksa. Aku telah mencapai titik kebosanan dengan segalanya, mulai berteriak dan mencari pertolongan yang terasa sia-sia. Teman-temanku mulai menjauh sejak aku mencoba meminjam uang dari mereka. Tidak ada yang menungguku lagi, bukan? Tuhan mungkin memberikan takdir ini kepadaku karena belas kasihan kepadaku.
”Ada keikhlasan terindah di matamu. Itu gadis-gadis yang selalu kucari.”
Mungkin jauh di lubuk hati, aku mencarinya juga.
Baca juga: Aelfric, Pizzanya Sudah Matang!
Nidya Utami, pemenang lomba puisi SMS cinta di majalah Kawanku berjudul ”Cermin”, menerbitkan cerpen berjudul ”Diam”dan puisi ”Kubangan Lumpur” di koran Riau Pos, lalu menerbitkan puisi berjudul ”Harga Diri”di majalah sastra Sagang, menjadi kontributor puisi Tidar Media berjudul ”Jiwa Sang Pembicara”, pemenang harapan 3 Lomba Opini Nasional Jejak-Forkomsi UGM berjudul ”Era Pendekar Lembek yang Sering Gagal Paham", self publish novel romantis Sir Thomas McLot dan novel fantasi Piper Gore.