Bunga untuk Norah Jones
Di malam itulah aku memutuskan untuk mencintainya seumur hidup, bahkan di kehidupan setelah mati jika itu memang ada.
Aku bertemu Norah Jones di Manhattan, New York, pertengahan Oktober 2002. Setiap lagu yang ia nyanyikan pada malam itu setara jutaan bunga bermacam ragam yang menguburku hidup-hidup dan miliaran lullaby yang dilantunkan bersamaan dan telingaku hanya tinggal memilih yang terbaik untuk segera tertidur. Di malam itulah aku memutuskan untuk mencintainya seumur hidup, bahkan di kehidupan setelah mati pun—jika itu memang ada—aku akan terus mencintainya.
Sesaat sebelum Norah membawakan lagu terakhir, aku bergegas menuju toko bunga di 19 N 79th St, sekitar tujuh menit dari Poetry Cafe, tempat Norah manggung malam itu. Seperempat jam kemudian aku sudah tiba lagi di Poetry Cafe dengan sebuket bunga mawar di tanganku.
Aku langsung mencari Lukas. Kami lekas bersahabat sejak perkenalan pertama pada kunjunganku yang kedua ke kafe yang ia warisi dari ayahnya itu. Aku meminta dia untuk mengantarkan aku ke ruang tempat Norah Jones sekarang beristirahat.
Lukas membawaku ke depan pintu dan mengetukkan pintu itu untukku. Seorang pria yang tampak seusiaku, dengan janggut pirang tebal, membukakan pintu. Namanya Derrick. Dia adalah pemain bas yang tadi mengiringi Norah.
Lukas mengatakan bahwa seseorang ingin masuk menemui Norah. Kata Derrick, Norah sudah pulang lebih dulu, sekitar delapan menit yang lalu. Deborah, penyanyi latar yang membantu Norah tampil malam itu, mengantarnya pulang dengan Cadillac keluaran tahun 1980 yang baru dibelinya dari Derrick beberapa minggu yang lalu. Aku mendapatkan alamat Norah dari Derrick, lalu meminta Lukas mengantarkan aku segera, sebelum bunga di tanganku layu.
Di perjalanan, Lukas bertanya perihal dari mana aku mengenal Norah. Aku katakan, siapa tak mengenal dia. Dia penyanyi terkenal. Figur publik. Rekamannya dijual di banyak negara di dunia ini. Dari sanalah, tentu, aku mengenalnya. Tapi, apakah dia kenal aku? Oh, jelas tidak. Aku mengenal dia dari album Come Away with Me.
Sejak itu aku mengulik segala hal tentang Norah. Mendengarkan semua lagunya, dan berharap bisa bertemu dengan dia suatu saat. Tapi saat-saat itu kelewat tidak pasti entah kapan. Maka aku putuskan menulis cerpen saja, di mana aku menjadi tokoh utama yang kemudian jatuh cinta pada Norah sejak pertama kali mendengar suaranya.
Baca juga: Kurang
”Jadi, ini cuma cerita pendek?” tanya Lukas penuh heran.
”Apa lagi?” jawabku seolah tak ada yang perlu diherankan.
Aku lalu lanjut bercerita, sementara Lukas menyetir dan sesekali menoleh ke arahku. Kepada Lukas aku bercerita bahwa aku mulai menulis cerita ini pada 13 November 2023. Ya, tanggal itu tercatat di notes ponselku, di mana aku pertama kali menuliskannya. Tapi hanya pembuka ceritanya saja yang berhasil aku tuliskan di malam tanggal 13 November itu. Aku mengantuk setelahnya, dan tertidur. Besoknya, dan besok-besok berikutnya, cerita itu tak lagi kusentuh.
”Ini membingungkan. Lantas, sudah sampai di mana cerita itu?” Lukas kembali bertanya.
”Tidak usah cemas, Bung,” kataku.
”Ceritanya sudah selesai. Kita tidak akan terjebak di dalam mobil tua ini.”
Mobil yang dikendarai Lukas adalah Porsche keluaran tahun 1975. Entah kenapa orang-orang di kota ini gemar mengendarai mobil tua. Di tempat aku tinggal, di mana aku menulis cerita ini, orang-orang selalu berlomba membeli mobil keluaran terbaru. Mobil yang dilengkapi berbagai teknologi termutakhir yang dikembangkan di negara-negara maju, yang penduduknya malah lebih suka menggunakan jalur pedestrian ketimbang jalan tol.
”Ya, aku harap begitu,” kata Lukas.
Setelah berkendara selama sekitar enam belas menit, Lukas memarkir mobil di depan rumah Norah. Persis saat ia mematikan mesin, seorang perempuan berambut keriting tampak membuka pintu depan, kemudian duduk di sebuah kursi santai di beranda rumah.
”Bung! Apa kau menulis sesuatu tentang gadis itu?” Lukas bertanya tanpa melepaskan pandangan dari perempuan itu.
”Tanpa mengurangi rasa hormat siapa pun, aku cuma kenal Norah. Soal siapa-siapa saja orang terdekatnya dalam bermusik, entahlah bung, aku tak begitu menguliknya.”
”Payah.” Lukas mendengus seperempat suara, tapi tetap saja aku mendengar jelas apa yang dikatakannya.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menerka arti di balik pertanyaan Lukas tadi. Ia pasti memendam perasaan pada perempuan itu, dan berpikir bahwa aku pula menuliskan kisah mereka sebagai cerita cinta yang bermula serta berakhir bahagia.
”Sudah lima tahun kami tinggal serumah.” Lukas mulai bercerita.
Kami maksudnya adalah dia dan perempuan yang baru keluar dari rumah Norah. Namanya Deborah. Terkaanku salah ternyata. Lukas dan Deborah pada dasarnya sudah menjalani hidup sebagai sepasang suami-istri. Hanya tidak melalui prosedur pernikahan resmi sebagaimana diatur oleh negara. Di Belanda, negara asal Lukas, hubungan semacam itu disebut samenleven.
”Tapi belakangan dia seperti kehilangan gairah hidup bersamaku. Sampai-sampai dia membeli mobil untuk bepergian seorang diri,” lanjut Lukas.
Padahal, menurut Lukas, hampir tak ada waktu di mana mereka terpisah. Aku mencoba menunjukkan keprihatinan, dan memberikan pendapat sekilas. Justru hal yang Lukas pikir bakal jadi perekat hubungan mereka itulah mungkin musababnya. Karena tidak pernah berjarak, bahasa cinta sehari-hari jadi makin sulit dikenali. Orang, kan, maunya bahasa cinta yang wah, yang dinyatakan dengan tindakan-tindakan yang wah pula.
Bung, apa kau akan membiarkan bunga itu layu di tanganmu?
”Oh, maaf, aku hampir lupa. Mari.”
Lukas keluar dari mobil. Aku mengikutinya. Masih menggenggam buket bunga mawar yang tadi aku beli. Deborah, yang duduk di beranda rumah Norah, mengamati kami yang melangkah menuju ke sana. Lukas sigap menyapa meski dengan gestur canggung yang tak mampu ia sembunyikan, yang lalu dibalas oleh Deborah dengan tak kalah canggung. Lukas mengenalkan aku kepada Deborah, dan sebaliknya. Lukas juga menjelaskan maksud kedatanganku.
”Norah lagi siap-siap di dalam. Kami mau pergi makan malam. Kalian bisa ikut kalau mau.” Deborah berkata datar.
”Bagaimana Bung?” Lukas meneruskan pernyataan itu kepadaku.
Baru saja aku akan menjawab, Norah sudah berdiri di ambang pintu, tersenyum manis. Aku tercekat tak bersuara, hanya menatapnya dengan penuh rasa takjub. Sedekat itu, aku kini berhadapan dengan Norah Jones!
”Bung, apa kau akan membiarkan bunga itu layu di tanganmu?” suara Lukas memecah keterpukauanku.
Tak tahan dengan keheningan itu, belum lagi rasa canggung di antara dia dan Deborah, Lukas langsung bercerita perihal kehadiranku malam itu. Bahwa aku adalah seorang penggemar dari entah belahan dunia mana, yang ingin bertemu dengan Norah, yang lalu menulis sebuah cerita pendek di mana aku akhirnya bisa bertemu dengan Norah.
Sesaat setelah Lukas selesai memberikan penjelasan, aku mengulurkan bunga di tanganku kepada Norah. Dia menerimanya, dengan senyum yang lebih manis dari sebelumnya.
”Kami mau pergi cari makan malam.” Norah mengulangi tawaran Deborah tadi. Lukas kembali meneruskan tawaran itu kepadaku.
”Aku tidak mengakhiri ceritanya seperti itu, Bung,” aku berkata kepada Lukas.
”Kau bisa merevisinya, kan?”
Malam itu tanggal 9 Juli 2024. Aku menyelesaikan ceritaku dua hari sebelumnya, dan sudah mengirimkannya ke sebuah sayembara menulis cerita pendek. Pemenangnya baru akan diumumkan pada 15 Juli. Sampai waktu itu tiba, aku tak mungkin mengubah jalannya cerita.
Baca juga: Calon Arang
”Sayang sekali,” seru Norah sembari memberi senyum yang jauh lebih manis dari sebelumnya.
”Tunggu sebentar.” Norah bergegas masuk ke dalam rumah, kemudian muncul lagi membawa vinil album Come Away with Me.
”Kau punya pena?” tanya Norah kepadaku. Tentu saja aku punya. Aku seorang penulis.
Aku serahkan pena kepada Norah. Dia membubuhkan tanda tangan pada sampul album itu lalu menyerahkannya kepadaku.
”Semoga kau suka.”
”Suka? Kalau aku mati, album ini harus dikubur bersamaku.” Norah tertawa lepas, mengalahkan senyum manisnya terdahulu.
Sampai di situlah pertemuan kami. Sebab demikianlah aku menuliskan cerita tentang pertemuan itu. Norah dan Deborah pergi makan malam. Lukas akan menyusul setelah mengantarkan aku pulang.
Di perjalanan, Lukas mengingatkan agar aku bersedia mengembalikan kemesraan hubungannya dengan Deborah kalau saja aku akan merevisi ceritaku nantinya. Tapi sampai waktu itu tiba, Lukas akan terjebak denganku di dalam Porsche tuanya, karena hanya sampai perjalanan pulang inilah aku menulis ceritaku. Aku bahkan tidak menuliskan di mana Lukas harus menurunkan aku, dan ke mana dia mesti menyusul Norah dan Deborah.
Christiaan, menulis sajak, esai, cerpen, dan ragam bentuk tulisan lainnya. Buku kumpulan puisinya berjudul Dan Saya Lelah dengan Lelucon-lelucon Saya Sendiri terbit pada tahun 2022. Buku kumpulan cerpennya berjudul Hidup adalah Keberanian Menghadapi Kenangan, terbit pada awal tahun 2024.