Ibu, Aku Hanya Ingin Mudik
Kau raih tas sekolah, mengeluarkan kitab suci dan membacanya pelan. Kau yakin setelah membaca ayat suci hatimu tenang.
Seharusnya hari ini kau telah bercengkerama dengan nenekmu. Hari raya tinggal hitungan hari, dan kau masih belum ada tanda-tanda akan diajak pulang kampung. Entah ke berapa kali kau terus menggerutu. Ujung bibirmu selalu maju dua atau tiga senti saat meminta persetujuan ibu bapakmu. Kau menuturkan keinginanmu berkali-kali, tapi entah mengapa kedua orang tuamu tak meyakinkanmu.
Seperti sore ini kau kembali membanting tas sekolah agamamu ke atas kursi ruang tamu. Kau sadar ibumu tak tampak di rumah. Perlahan kau langkahkan kakimu menuju kamar ibumu. Di sana sepi. Hanya ada adikmu tengah tidur pulas. Maklum dia sedang belajar puasa ramadan tahun ini. Dia habiskan waktu sepulang sekolah untuk tidur siang.
Kau anak paling sulung, selalu dijadikan contoh oleh orang tuamu. Kau memang rajin mengaji dan sekolah. Namun, akhir-akhir ini kau kecewa. Keinginanmu tak jua dikabulkan orang tuamu. Sejak dua tahun lalu, kau utarakan keinginanmu ingin pulang kampung ke Surabaya.
Namun, karena pandemi, semua rencana batal. Kau sudah rindu dengan kakek dan nenekmu di sana. Kau masih ingat tatkala sore hari selalu diajaknya ke pematang sawah. Meski udara di sana panas tapi kau merasa nyaman.
Kau masih ingat juga saat nenekmu memberi wejangan harus rajin sekolah. Saat itu kau akan menginjak kelas satu sekolah dasar. Kau terpaksa harus mengikuti kedua orang tuamu yang merantau di tanah sunda. Memang kau lahir dan diasuh sejak kecil oleh nenekmu. Jadi pantas jika sekarang kau merindukan sosok itu. Kau hanya manggut-manggut saat diberi wejangan. Kini kau sudah kelas empat sekolah dasar meski kau pun selama ini sekolah nyaris tanpa bertatap muka dengan guru. Karena pandemi hampir dua tahun. Kau tidak diizinkan pulang kampung oleh ibumu.
Bukannya sekarang pandemi telah berakhir? Seharusnya ibumu tak punya alasan lain untuk tidak mudik. Keinginanmu sudah kau utarakan kembali sebulan sebelum memasuki bulan puasa. Namun, bapak dan ibumu hanya tersenyum. Bapakmu hanya berjanji akan mengumpulkan uang untuk biaya ongkosnya. Memang kau menyadari kau bukan orang berada. Keluargamu sangat sederhana. Sudah bersyukur untuk makan dan kebutuhan sehari-hari kau dan keluargamu tidak perlu meminta-minta kepada tetangga. Bapakmu hanya buruh. Ya, buruh sebuah pabrik di kota kembang, sedang ibumu sesekali pergi menjaga toko kelontongan milik pak Haji Kosim di seberang jalan.
Baca juga: Kenapa Si Gondrong Berambut Cepak?
Seperti sore ini kau dapat memastikan ibumu belum pulang menjaga toko. Sedang bapakmu pasti bekerja lembur lagi, sejak kemarin belum pulang. Kau menghela napas panjang. Kau membuka tudung saji di atas meja makan. Di sana masih kosong, mungkin ibumu belum memasak apa pun untuk buka puasa nanti.
Kau teringat pesan ibumu sebelum berangkat sekolah agama. Ibumu bagian jaga toko sore dan kau harus menunggu adikmu yang masih belajar puasa. Kau putar isi tempurung kepalamu. Seandainya kau dikirim ke Surabaya bersama nenek dan kakekmu pasti kau tidak akan kesepian. Atau nenek dan kakekmu yang ikut ke rumahmu. Pasti juga di rumahmu akan tambah seru. Tapi sepertinya itu hal mustahil.
Karena lelah, kau terduduk di kursi cokelat yang mulai agak kusam warnanya. Suara ketukan pintu terdengar dari luar. Kau beranjak untuk membukanya.
Kau mengulurkan tanganmu mencium punggung tangan ibumu yang baru pulang. Di tangan kanan ibumu tampak memegang kresek warna hitam ukuran besar. Mungkin ibumu membawa aneka bahan untuk dimasak. Kau hanya membuntuti dan mengekor di belakang langkah ibumu. Kau tak berucap apa pun.
”Kau masih marah, Yo?”
Kau tak menjawab, sejenak kau menatap barang bawaan ibumu yang mulai dikeluarkan dari kantong kresek. Namun, kau memilih meninggalkan ibumu dan masuk ke kamarmu. Kau masih memendam kesal karena ibu dan bapakmu tak kunjung memberi keputusan. Tetiba bulir bening menggelinding dari kedua sudut matamu. Perlahan menyusuri sisi pipimu. Kau menarik napas begitu dalam, sesekali dadamu kembang kempis.
Kau raih tas sekolah agamamu lalu kau mengeluarkan kitab suci dan kau membacanya dengan suara pelan. Kau meyakini setelah membaca ayat-ayat suci hatimu akan menjadi tenang. Kau menengok jam yang bergantung di dinding. Anak jarum pendek menunjukkan pukul lima, sementara jarum panjangnya mendekati angka tiga. Waktu berbuka masih panjang, pikirmu.
Kedua cuping hidungmu mengembang sesekali. Bau masakan ibumu mulai tercium wangi. Kau tahu pasti ibu sedang memasak kesukaanmu. Mungkinkan ibumu menyogokmu agar tidak memaksa untuk pulang kampung ke Surabaya?
Menghirup bau masakan ibu, kau teringat nenekmu. Kau berniat akan meminjam ponsel bapakmu untuk video call seusai shalat tarawih nanti malam. Kau bolak-balik membaca ayat suci, tampaknya isi kepalamu tidak fokus. Kau menyimpan kembali kitab suci itu lalu beranjak hendak menutup jendela kamarmu. Sebelum kau benar-benar menutup daun jendela kau menatap rombongan tetanggamu. Kau pun batal menutup jendela itu.
Ardi tampak memanggul tas punggungnya dan menenteng sebuah tote bag. Sedang ayah dan ibunya membawa kantong ukuran besar. Kau memastikan mereka pasti akan mudik ke Sumatera. Kau pernah berbincang dengan Ardi teman sekelasmu. Mereka biasa mudik menaiki kapal menuju Sumatera melewati Cilegon-Merak lalu menyeberang ke Bakauheni. Kata Ardi, bapaknya selalu menyengaja mudik menuju malam hari agar tidak terlalu macet dan berdesak-desakan di jalan. Kau menghela napas.
”Ardi …,” ucapmu seketika memanggil temanmu dengan nyaring
Kau meninggalkan kamarmu dan bergegas berlari keluar rumah. Kau merangkul Ardi.
Kau menyalaminya. Kedua orang tua Ardi tampak menatapmu.
”Kapan kau mudik, Yo?”
Kau tertunduk dan perlahan kepalamu menggeleng.
”Aku tak tahu. Bapakku belum memberi jawaban pasti.”
Bapak Ardi mendekatimu lalu mengelus kepalamu.
”Semoga tahun ini kau pun bisa mudik. Ardi tahun ini terpaksa mudik karena adik om hendak menikah di sana. Doakan Ardi dan Om selamat sampai tujuan.”
Kau tak menjawab, hanya kembali menganggukkan kepalamu. Padahal, sesungguhnya keinginanmu sama seperti keluarga Ardi, ingin mudik ke kampung halaman.
Baca juga: Aku Ingin Menjadi Seekor Anjing
Kau melambaikan tangan ke arah Ardi dan keluarganya. Bayangan mereka semakin jauh hingga berujung menghilang di ujung gang menuju jalan raya. Kau hembuskan napas dalam dan berat. Isi tempurung kepalamu berpikir sambil berbalik badan menuju rumahmu. Kerinduanmu saat mudik selalu ditunggu meski berjubel di jalan adalah hal yang sangat kau sukai. Terlebih saat sampai di kampung halaman kau disambut oleh nenek dan kakekmu.
Sayup-sayup terdengar alunan selawat di masjid terdekat. Mungkin sebentar lagi akan segera adzan maghrib. Kau mempercepat langkah.
”Kamu dari mana, Aryo?”
”Lihat Ardi dan keluarganya mudik. Kita kapan mudik, Bu?”
Ibumu lagi-lagi tak menjawab. Hanya tarikan napas dalam dan berlalu menuju ke belakang.
”Sebaiknya kamu bersiap buka puasa dan ke masjid berjamaah. Ibu sudah masak buat kamu.”
Kau pun bersiap menuju meja dan kursi yang tertata dengan rapi. Kau mendapati menu seperti di rumah nenekmu. Rujak Cingur. Kau memang sangat menyukai menu yang satu ini. Setiap ke Surabaya kau pasti dibuatkan rujak Cingur oleh nenekmu. Kau mulai mengaduk-aduk rujak cingur yang tersaji di meja makan. Bumbu kacangnya sangat menggoda indera penciumanmu. Tampaknya ada salah satu bahan yang tak ada. Kau cari-cari.
”Ibu … sepertinya ini enggak ada pisang batu-nya?”
Ibumu duduk di kursi sebelah dekat denganmu. Kemudian memegang bahumu.
”Yo, di sini jarang ditemukan pisang jenis itu. Kamu bersabarlah. Makan apa saja yang ada. Ibu sudah berusaha membuatkan makanan kesukaanmu.”
”Ta-tapi bikinan nenek rujak cingurnya komplet. Atau ibu sengaja bikin rujak cingur ini agar aku tak memaksa ibu dan bapak untuk mudik.”
”Aryo, kamu harus tahu keadaan bapakmu. Bapak baru masuk kerja lagi setelah pandemi. Kamu harus bersyukur kita masih bisa makan.”
Kau tampak kesal. Kau dorong kursi ke belakang dan kembali kau berulah meninggalkan meja makan. Kau menuju kamar lagi.
”Yo. Kamu bisa batal nanti puasanya kalau marah-marah kayak gitu?”
Kau mengatupkan mulutmu dengan rapat. Baru saja kau membuka pintu kamarmu terdengar adzan maghrib berkumandang. Kau tadinya hendak kembali untuk mengambil air putih meski seteguk. Tapi kau tahan demi gengsi yang kau tanam dalam hatimu.
”Yo … cepet buka puasa.” Suara ibumu dari dapur memanggil kencang.
Kau pura-pura tak mendengar, padahal perutmu meronta-ronta minta diisi. Suara sandal bapakmu di teras rumah kian keras. Kau tahu bapakmu suka marah jika kau susah makan. Mungkin karena bapakmu takut kau mengalami sakit kejang seperti saat kau sekolah taman kanak-kanak.
Aryo hanya ingin mudik ke rumah nenek.
”Mana Aryo?”
Suara bapak terdengar menyebut namamu dari dapur. Entah jawaban apa yang ibu berikan kepada bapak. Hanya suara adikmu yang baru belajar puasa tampak berisik dan ramai mencicipi makanan yang dibawa bapak. Kau duduk memeluk kedua lututmu di belakang pintu. Kau kembali mengusap bulir bening yang membelah pipimu. Kau terisak-isak beberapa kali.
”Aryo ....”
Suara bapakmu memanggilmu dari balik pintu. Kau tak menjawab hingga terasa pintu didorong keras dari luar.
”Kau kenapa menangis? Bapak bawa sesuatu buat kamu.”
Bapakmu menggendongmu menuju dapur. Sejenak kau merasa ada kehangatan berada dalam dekapan bapakmu.
”Ih, udah gede masih digendong.” Sahut adikmu sambil cekikikan.
”Kakakmu lagi manja.”
”Ni … bapak bawa makanan kesukaanmu,” tunjuk Bapak Aryo pada sebuah kue lapis Surabaya.
Bapakmu menurunkanmu di kursi yang masih kosong. Lalu menyodorkan sekerat kue lapis Surabaya yang sudah diiris oleh ibumu.
”Kamu paling suka ini, kan? Ayo makan. Bapak sudah capek-capek membelinya untuk kamu,” rayu bapakmu.
Kau menggelengkan kepala beberapa kali.
”Aryo hanya ingin mudik ke rumah nenek.”
”Asyikk … kita pulang kampung ke Surabaya.” Sahut adik bungsumu.
Bapakmu meraih segelas air teh, lalu meminumnya sampai tandas. Bapak dan ibumu saling berpandangan melihat tingkahmu akhir-akhir ini.
***
Lia Laeli Muniroh. Pegiat literasi dan penikmat sastra. Bergiat di komunitas menulis NIMU CLUB. Tulisan cerpennya tersebar di berbagai buku antologi dan media massa, seperti kompas.id, Radar Bromo, Radar Kediri, Radar Banyuwangi, Sastra Riau, Suara Merdeka, Idestra, Manglé, dan Cendana.com. Memenangkan berbagai lomba menulis. Domisili di Garut, Jawa Barat.