Nyaris
Semenjak aktif memantau grup media sosial itu, Rudi merasakan ada gairah baru dalam hidup.
Pada satu postingan satu grup media sosial kampus, ada sepuluh foto, berisi sekumpulan perempuan sedang berada di satu taman hutan raya. Semuanya tampak kompak bersukaria.
Dari semua foto, ada satu yang menarik perhatian Rudi: enam perempuan seraya tiduran di tanah berumput membuat sebuah lingkaran. Masing-masing ujung dari kepala mereka beradu, semua bibir tersenyum. Rudi sampai berkali-kali memutar HP agar dapat melihat dengan jelas satu demi satu dari wajah mereka. Rudi lalu terpukau pada satu wajah seseorang—entahlah, tiba-tiba timbul begitu saja rasa kagum padanya.
Di kemudian hari, Rudi melihat seseorang yang dikaguminya itu di foto lain—masih di satu media sosial grup kampus—sedang duduk di atas batu di tengah aliran sungai yang dangkal dengan kaki ongkang-ongkang. Airnya begitu jernih, dasar sungai berupa kerikil dan pasir terlihat jelas. Sungai di kaki gunung itu memang menawan bak perawan. Dalam foto tergambar sore menjelang, perempuan itu tersenyum ke arah kamera. Kiranya, siapa pun yang memandangi foto itu akan memuji. O, alangkah indah. Ya benar, banyak komentar yang memuji pada postingannya—tidak ada alasan mencaci.
**
Waktu pun sudah dua mingguan menjelang, Rudi selalu menyempatkan setiap hari untuk membuka grup media sosial itu. Yang pertama dilakukannya, tentulah mencari postingan seseorang. Rudi senang tidak kepalang bila seseorang itu memposting. Dengan menggebu, Rudi lalu ikut berkomentar. Jika seseorang itu tidak membuat postingan, tetap terus dicari, barangkali berkomentar di postingan anggota yang lain. Ah, rupanya seseorang itu rajin.
Sering kali, Rudi mengekor padanya, kata-katanya diiyakan. Rudi mengingat-ingat, selama kuliah rasanya belum pernah melihat dirinya. Ya, tidak tahu, ya, tidak kenal. Rudi mengira, dia dulu mulai masuk kuliah, sedangkan aku sendiri sedang sibuk skripsi sehingga jarang ke kampus—dia adik angkatan yang lepas dari amatan.
**
Semenjak aktif memantau grup media sosial itu, Rudi merasakan ada gairah baru dalam hidup. Padahal, sebelumnya, sampai menginjak bulan kedua grup eksis, Rudi selalu tak hirau dengan postingan-postingan yang berseliweran. Rudi mulai terseret masuk dan kemudian aktif terlibat semenjak melihat unggahan foto seseorang yang ternyata bernama Suci Lestari.
**
Ketika pada satu malam, Rudi kelelahan setelah pulang bekerja, istrinya—Siska—dan kedua anak kecilnya sudah terlelap. Meski sudah pukul 23.00, Rudi tidak bisa pejamkan mata. Kemudian dipikirnya: daripada pikiran kosong melompong, lebih baik membuka grup media sosial itu. Tanpa rasa berdosa, akun media sosial Suci Lestari dicari, ketemu dan sedang on. Rudi meminta pertemanan. Tidak lama menunggu, Suci menerima. Rudi menulis di in box: terima kasih. Suci pun membalas: sama-sama.
Rudi mulai memandangi satu postingan Suci yang sedang berada di rumah, di ruang tamu, ber-t-shirt warna hitam putih belang-belang, duduk dengan manja. Tangan sebelah kanannya bersandar di bahu kursi. Bibir sedang tersenyum. Ah, Rudi baru menyadari, pada setiap fotonya, Suci selalu tersenyum—juga selalu fotogenik.
Baca juga: Tembok-tembok Paling Kokoh di Dunia
Tapi, kali ini, dalam pandangan Rudi, senyumnya lebih manis daripada di foto-foto sebelumnya. Rudi sampai tak henti memandangi wajahnya dan mendadak mengeluh, apa yang telah terjadi pada hatiku? Ataukah karena dia memang benar-benar menarik? Sehingga ini adalah gelagat timbul rasa suka padanya?
Siska menjadi gelisah dalam tidurnya. Rudi spontan menjadi bergantian memandangi dua raut wajah: foto Suci Lestari di layar HP dan Siska di depan mata. Hasilnya, tidak salah lagi, Suci Lestari ternyata lebih cantik.
Malam terus merayap, beriringan dengan Rudi yang masih terus saja asyik memandangi layar HP. Saat melihat jam di dinding, waktu sudah pukul 01.00. Titik waktu untuk istrahat sudah terlewat. HP pun diletakkannya di meja. Tubuh direbahkan di samping tubuh Siska.
Rudi memaksakan memejamkan mata untuk tidur karena besok tidak ingin kesiangan, harus pergi pagi mencari nafkah. Tetapi, entah apa yang terjadi dengan isi kepala Rudi. Sudah berkali-kali memejamkan mata, wajah Suci Lestari selalu terbayang-bayang di depan mata.
Ketika mata Rudi dalam keadaan terbuka, wajah Suci berkelebatan. Rudi kembali mengeluh. Bukankah aku telah punya istri, telah menemaniku selama enam tahun? Tetapi kenapa, mulai hari-hari ini, dia menjadi hadir di hati?
**
Esoknya menjelang sore, di teras belakang rumah, Rudi kembali melihat satu postingan di grup media sosial. Kabarnya, salah seorang anggota grup akan mengadakan acara ulang tahun di satu kafe yang luas. Dari semua daftar anggota yang siap hadir, tertera nama Suci Lestari. Rudi tidak akan menyia-nyiakan.
Pada Siska, dengan alasan mendadak ada lembur di kantor, Rudi berkemas bersiap. Rudi meluncur dengan berpakaian dan sepatu terbaik. Tiba di kafe, belum banyak orang yang hadir. Seraya berjalan mencari tempat duduk yang kosong, berbekal ciri-ciri Suci di foto grup media sosial itu, mata Rudi liar mencari: di mana dia gerangan.
Di sini tidak sepi. Biarpun misalnya nanti yang datang hanya belasan orang, kami berenam tetap bisa meramaikan suasana.
Rudi (yakin) menemukan Suci yang sedang duduk di kursi, berenam duduk berhadap-hadapan bersama kawan-kawannya—sama formasi seperti ketika dulu berfoto sambil tiduran membuat lingkaran di taman hutan raya. Suci bergaun malam terusan warna hitam. Dalam pandangan, beribu pesona terpancar dari Suci. Rudi lalu membawa satu buah kursi, mendekati, lalu bertanya, ”Bolehkah aku duduk di sini?”
Seseorang yang bergaun ketat warna biru menyilakan untuk duduk. ”Tidak ada yang melarang.”
Rudi mengangguk, duduk, berkata berbasa-basi, ”Masih sepi di sini. Pada ke mana yang lainnya?”
”Di sini tidak sepi. Biarpun misalnya nanti yang datang hanya belasan orang, kami berenam tetap bisa meramaikan suasana.”
Rudi langsung sok akrab, mengulurkan tangan. Untunglah, satu per satu mau membalas menyalami. Lalu, pada yang terakhir, Rudi bertanya, ”Kau Suci Lestari?”
Suci mengangguk.
”Kenyataannya lebih indah dibandingkan dengan yang ada di foto.”
Seseorang dari mereka nyeletuk, ”Eh, hari gini sudah bicara yang indah-indah.” Semua yang lain tertawa. Namun, belum lama Rudi duduk, ada telepon dari Siska yang mengabarkan ibunya sakit keras. Rudi pun pamit.
**
Pada hari-hari selanjutnya, Rudi rajin mengirim kalimat-kalimat menggoda di in box kepada Suci. Rudi seperti kejatuhan durian karena ada balasan pula dengan kalimat-kalimat yang juga menggoda, membuat Rudi menjadi antusias. Keduanya juga saling bertukar nomor telepon.
Baca juga: Dari Teluk Terima kepada Dewa-dewa
Hingga sampai pada satu waktu, di telepon, Suci mengeluarkan unek-unek. ”Aku kesepian. Tahu, kan, bagaimana rasanya sepi?”
”Kenapa sepi? Bukankah ada anak dan suami?”
”Kau tidak tahu, suami jauh di seberang pulau. Dia pulang setahun dua kali. Aku juga tidak tahu, apakah dia di sana benar-benar memegang teguh janji kesetiaan. Di hatiku, ada juga rasa keraguan.” Rudi berpikir: ini satu kesempatan.
Kemudian, di waktu lain, Rudi kembali menelepon Suci Lestari.
”Bagaimana kalau kita berjumpa? Bukankah kita yunior dan senior dari sebuah kampus?
”Katamu, kau kesepian. Maksudku, kita bisa mengobrol seraya makan malam.”
Suci Lestari tidak menolak ketika diajak makan di satu restoran yang masih selingkup dengan mal dan hotel.
Malam, hidangan kesukaan Suci terserak di meja makan. Setelah tuntas makan malam itu, Rudi menawarkan diri. ”Sekarang, mau ke mana kita? O ya, bagaimana kalau kita membeli sepatu untukmu dan anakmu?”
Suci Lestari semringah.
Rudi membelikan dua pasang sepatu. Suci tersenyum senang, bertatapan mata manja. Keduanya tak beranjak pulang, malah memesan dua cangkir kopi di lobi hotel. Lalu, kedua pandangan mata dari insan berlainan jenis ini mulai liar. Rudi menggeser tempat duduk agar lebih dekat.
”Eh,” ujar Suci.
”Bukankah kita sudah dewasa? Kita bukan anak sekolah menengah lagi.” Rudi mencoba menenangkan.
Malam pun terus saja beranjak.
”Suci, aku mau bilang padamu... bahwa....”
”Apa yang terjadi denganmu?”
Rudi menceritakan tentang perubahan pada diri yang dialami, yang suka gelisah, yang juga selalu terganggu sebelum tidur karena Suci.
”Ha-ha-ha. Itu picisan.” Suci tertawa.
”Mengapa tertawa?”
”Baiklah, terus bagaimana?”
”Aku takut hatiku jatuh.”
Suci Lestari kembali tertawa. ”Semudah dan secepat itu? Tidak mungkin.”
”Bisa saja karena pesonamu. Lagipula, bukankah rasa itu selalu datang dengan sendirinya?
”Pada siapa dan kapan pun?”
”Terus bagaimana?”
”Kenapa kau tak menolak ajakanku untuk makan di sini?”
”Aku ingin menghilangkan kejenuhan di rumah. Lagi pula, kita hanya sekadar bertemu.
”Tidak ada yang lain-lain, kan?”
Mata Rudi menatap ke lift hotel. Suci Lestari memandang mata Rudi.
”Maksudku, aku ingin, antara kita ada hubungan,” Rudi berkata.
”Tak semudah itu. Tak secepat itu. Tentu ada proses.”
”Kau pernah berkata, pernah ragu dengan kesetiaan suamimu.”
”Kau mengerti, kan, maksud perkataan itu?”
Keduanya saling melempar senyum. Rudi tak ragu memegang jari-jari tangan Suci.
Tetapi, tiba-tiba, telepon Rudi berdering. Siska memberi kabar, anak bungsu demam
mendadak—Rudi agak kikuk pamit pada Suci.
*** Bandung, Juni 2024
Baca juga: Magnolia
Gandi Sugandi, Alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan.