Annyeong Haseyo, Kim
Bak pungguk merindukan bulan. Walaupun di masa sebelumnya si pungguk pernah bersandar di ceruk rembulan yang indah itu.
Musim dingin baru saja turun di Seoul. Suhu dikabarkan minus delapan derajat celsius. Seoul benar-benar memutih. Tak ada hamparan atau bangunan yang tak diselimuti salju. Butir-butir salju itu terus saja berjatuhan.
Tak hanya di daratan Semenanjung Korea itu. Tanpa sadarku, salju juga berguguran di layar komputerku. Aku terkesima. Labirin di kepalaku bagai berlari memasuki setiap bilik kenangan yang pernah kurajut sepuluh tahun silam.
Salju yang lembut dari Negeri Ginseng itu tak hanya mengabarkan sebuah kota. Bukan juga soal kim-chi. Tak hanya bercerita soal cuaca dingin atau jaket bulu domba yang bisa menghangatkan tubuh yang menggigil.
Salju yang sama telah menyampaikan kabar dari sebuah masa yang tertinggal jauh. Kehangatan bulu domba itu ikut membakar kebekuan kenangan yang masih tersisa.
”Annyeong Haseyo, Kim...,” tiba-tiba saja kuberucap di tengah malam begini. Aku tahu kau tentu tak pernah mendengar desisku. Tapi hatiku terus saja membisikkan sesuatu dalam jarak yang tak dekat. Bagiku jarak kampung Ketam Putih di pelosok Tanah Melayu yang terapung-apung di Selat Melaka amatlah jauh dari Seoul, tempatmu bermastautin. Tapi malam ini jarak itu begitu dekat dalam perasaanku yang bergelora tiba-tiba.
Baca juga: Kenapa Si Gondrong Berambut Cepak?
Aku jadi teringat semua kisah perjalanan selama berada di Seoul dan beberapa kota bersejarah di sekitarnya. Sebuah perjalanan budaya antara negaramu dengan negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia, negeriku.
Aku bangga bisa menjadi salah satu anggota dengan membawa nama besar dan kejayaan negeriku sendiri.
Tiga bulan, memang terasa begitu cepat berlalu kala aku merajut hari-hari bersamamu. Mulanya biasa saja. Tapi perhatianmu yang kurasa lebih selama berada di kampung halamanmu membuat dirimu sulit kulupa.
Selama di negerimu, kalaupun tak ikut bersama rombongan, kau pasti mengajakku ke tempat-tempat bersejarah. Meski sejarah terkubur di situ, tetapi seperti katamu, sejarah tak akan pernah mati. Waktu itu, kita sempat berikrar kalau cinta kita suatu ketika seperti sejarah itu. Masih ingat ’kan saat kita mengunjungi tempat peninggalan sejarah yang berasal dari masa Dinasti Joseon. Ada juga bekas sejumlah istana. Memang tak semua bekas istana itu bisa kita kunjungi tapi aku sulit lupa saat kita berada di kantor walikota itu yang tak lain istana Deoksugung. Aku tak hanya menghirup wangi rambutmu tapi juga tiupan lembut angin sejarah seperti kau ceritakan dengan tenang dan sabar.
Aku sangat terkesan saat kita bersama rombongan yang berjumlah lebih 50 orang yang berbilang bangsa dan bahasa mengunjungi Gyeongju, ibu kota kerajaan kuno Silla (57 SM-935 M). Wow, kota itu begitu indah karena banyak sekali peninggalan sejarah. Masih ingat ’kan saat kita melewati perjalanan panjang di kepungan bukit yang rindang. Itulah saat pertama kali aku menggandeng tanganmu. Kurasakan betapa halus dan lembutnya jemarimu. Dan, ziarah sejarah itu bermuara di sebuah kuil besar.
Oh, hampir kulupa berkisah kembali tentang Kim Yu Mee. Aku hanya bisa membayangkan, tentu dara molek berkulit putih ranum itu kini sudah menamatkan kuliahnya di bidang sejarah. Di sebuah universitas terkemuka di Seoul. Terus terang, rasa kagumku bermula karena kepiawaian Kim menjelaskan sejarah Korea Selatan begitu rinci. Daya ingatnya begitu kuat.
Gaya bertuturnya begitu lincah sehingga membuat banyak orang terkagum- kagum. Lebih-lebih lagi diriku. Rasa kagum dan simpatiku itu, kuungkap ketika baru lima hari kami bertemu dan bersama.
Baca juga: Puti Mani dan Hikayat Pohon Kelapa
Kim, aku yakin, kini kau sudah bekerja, desisku sambil menerawang di bilik kerjaku. Pasti banyak pihak—pemerintah dan perusahaan—yang menerimamu menjadi pegawai atau karyawannya. Tapi menurutku, kau pun sangat berbakat jadi pensyarah di universitas. Atau, jadi pemandu wisata yang punya daya tarik dan lincah. Pastilah banyak orang akan terkesima mendengarmu saat bertutur tentang apa saja. Terutama, sejarah Korea Selatan yang amat panjang.
Saat kuingat salju turun di negeri seperti saat ini, aku tiba-tiba merasa kehadiranmu kembali. Kau adalah salju itu, Kim. Nama Kim teramat molek bila diucap. Teramat teduh bila didengar. Nama itu bagaikan dawai gitar yang bisa menyayat hati kapan dan di mana saja. Apalagi di tengah malam sunyi begini. Meski tanpa sebutir salju pun yang gugur di sini. Sungguh di luar sadarku sampai tak bertanya makna namamu itu.
Bila aku larut dalam dekapan dan bayangan Kim, selalu saja aku merasa selesa mengenang masa-masa bersama Kim selama berada di Seoul. Sedikit pun tak kuragukan bagaimana perasaan kami yang sama-sama tulus. Walau, padamulanya tak pernah terbayangkan bagaimana seorang budak Melayu tiba-tiba menaruh hati pada seorang perempuan Korea yang molek dan anggun. Memanglah kelembutan sikap dan tutur kata telah membuai hati dan perasaanku. Selalu saja kutemukan semua kelebihan Kim selaku perempuan belia yang masih duduk di bangku kuliah pada masa itu.
Sedang aku? Aku hanyalah orang kampung yang masih saja bersendirian. Ya, aku tak punya sesiapa. Apalagi mempunyai sesiapa. Orang sekampung menggelariku sebagai ’bujang lapuk’. Gelar yang padan buat lelaki separuh baya yang tak kunjung nikah karena tak kunjung berjodoh.
Cukup lama hatiku membeku. Tak tergoda oleh budak perawan mana pun. Ada-ada saja rintangan yang membuat aku tidak berhubungan lanjut dengan sejumlah perempuan yang pernah dijodohkan oleh emak dan ayah.
Baca juga: Aku Ingin Menjadi Seekor Anjing
Aku menjadi kian bersimpati ketika Kim menceritakan ihwal keberadaan kaum perempuan di negerinya. Kata Kim, budaya Korea menganut garis patrilinial. Kaum lelaki memegang peranan di tengah keluarga. Perempuan hanya diperbolehkan bekerja atas seizin suami. Itu pun bila suami tidak cukup menafkahi keluarga. Satu hal yang sangat ditentang Kim, tugas utama perempuan untuk mengasuh anak dan menjaga rumah. ”Rasanya itu tidak adil,” ucap Kim yang selalu kuingat.
Tapi, pandangan yang diceritakan Kim tampaknya mulai berubah. Pasalnya, aku baru saja menyaksikan di layar kaca kalau seorang perempuan Korea Selatan bernama Park Geun-hye dilantik menjadi presiden perempuan pertama di negeri ginseng itu. Meski sebenarnya bakat jadi pemimpin itu diwarisi dari ayahnya Park Chung-hee, seorang militer berpengaruh yang pernah memerintah selama hampir dua dekade. uluhan ribu orang ramai-ramai menghadiri upacara yang digelar di Majelis Nasional itu. Aku sempat berpikir, jangan-jangan Kim ada di antara keramaian itu. Ah, bisa saja. Segalanya serba mungkin.
Kim sempat menceritakan bagaimana orang Korea sangat menghormati kesetiaan dalam pernikahan. Bahkan, para janda, walaupun bila suaminya mati muda, tidak dizinkan menikah lagi dan harus mengabdikan hidupnya untuk melayani mertua. Begitu juga sebaliknya. Aku benar-benar terkesima. Ini pula yang membuat keterpikatanku pada Kim semakin bertambah.
Banyak hal yang membuat rasa simpatiku pada Kim terus menggelinding. Bagai bola-bola salju. Aku jadi suka irama bahasa Korea kala dituturkan. Apalagi bila yang bertutur itu adalah Kim. Oh, betapa lembut dan syahdu. Mendayu-dayu. Aku juga suka tulisan Hangeul. Lagi, bukan ingin bermanja-manja dengan silamku. Aku teringat ketika Kim mengajakku mengunjungi kawasan Itteon, pusat kerajinan kermaik di sudut Seoul. Aku dan Kim diberi kesempatan mengukir keramik sebelum dibakar. Pada cangkir keramikku tiba-tiba Kim menuliskan dengan huruf Hangeul. Waktu itu Kim tak memberitahu dan selalu membuatku penasaran. Tapi setelah aku berada di kamar, kutanyakan pada seorang petugas hotel kata-kata yang tertulis di cangkir itu. Oh, aku tersanjung. Kim ternyata menuliskan namaku dan namanya saling berkait. Sebuah simbol kasih sayang yang sulit diputus.
Hubunganku dengan Kim berakhir tanpa mauku. Kejadiannya terjadi saat musim dingin di Seoul. Kim mengabariku kalau kedua orangtuanya menjodohkan dengan saudara-maranya di sana. Semula Kim menolak. Tapi ibarat batu. Sekeras apa pun bila terus dititisi air terus menerus pastilah akan berlubang juga. Begitu pula hati Kim. Seorang perempuan penurut yang tak kuasa membantah titah kedua orangtuanya.
Tengah malam begini pun, tak kuasa pula kumeraba perasaan Kim. Entah perempuan itu masih bernyawa atau pun sudah pergi buat selamanya. Entah sudah berjodoh dengan lelaki pilihan orangtuanya atau masih bersendirian. Entah ia masih menempatkan bayangan diriku di sudut hatinya yang terpencil entah sudah pula ia lupakan sesukanya.
Musim dingin di Seoul saat salju turun satu demi satu. Aku hanya bisa membayangkan suasana hangat dan manja yang pernah kulalui bersama Kim. Terlalu banyak yang ingin kuungkap karena kenangan itu bagaikan tersimpan di cangkir kieramik yang kuyakin tak boleh rapuh barang sekejap pun.
Kucoba membuka kembali semua email-email terakhir yang kukirim buat Kim. Kutemukan puluhan email tak berjawab sekali pun dalam rentang waktu setahun lebih. Hanya rasa letih saja yang menghentikan kebodohanku untuk terus berkabar padanya. Bukankah sama saja maknanya bertepuk sebelah tangan sebagaimana peribahasa Melayu yang kuanut kental sedari kecil. Andai orang-orang tahu, apakah tindak lakuku bak gila bayang belaka.
Baca juga: Sarang Semut
Bak pungguk merindukan bulan. Walaupun di masa-masa sebelumnya si pungguk pernah bersandar di ceruk rembulan yang indah itu.
Pada penantian panjang di musim salju tahun ini. Di tengah harapan yang kian kosong. Tiba-tiba sebuah email dari Kim hinggap di komputerku. Alamat email memang sudah berubah. Tapi pemilik email itu pastilah Kim Yu Mee. Sebuah puisi pendek saja: salju gugur/di butir-butir anggur
***
Pekanbaru, 99.24
Catatan: bermastautin = menetap, bertempat tinggal, pensyarah = dosen, selesa = nyaman, tanpa beban
Fakhrunnas MA Jabar