Sarang Semut
Duduk hening sedemikian rupa ia tampak membeku seperti batu sehingga semut-semut leluasa menggerayangi kulitnya.
Ratnakara tertegun. Ia tidak menyangka istrinya akan mengucapkan kata-kata yang membuatnya mendadak merasa kehilangan segala. Ia berdiri mematung di atas kedua kakinya yang seakan tertancap di tanah. Lidahnya beku, tak mampu mengeja sepatah kata pun.
”Bagaimana mungkin aku dan anak-anak ikut menanggung dosa yang kaulakukan? Menghidupi keluarga adalah tanggung jawabmu. Aku tidak pernah minta kau melakukan dosa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kita,” ucapan istrinya itu seakan menyihirnya.
Sebagai seorang pemburu merangkap perampok, menjarah barang orang yang lewat di jalan setapak di tengah hutan, ia lebih sering membawa pulang hasil jarahan daripada hasil buruan untuk menafkahi keluarganya. Ia sangat terampil dalam hal menjarah karena pekerjaan itu sudah ia warisi sejak kecil dari ayahnya. Namun, kata-kata istrinya membanting harga dirinya, menyadarkannya bahwa sesungguhnya ia bukan siapa-siapa.
Seraya menyesali diri telah melakukan pekerjaan sia-sia sepanjang hidup, ia berusaha menyembunyikan perih hatinya dengan membalikkan badan dan bergegas kembali ke dalam hutan.
Bagaimana mungkin aku dan anak-anak ikut menanggung dosa yang kaulakukan? Menghidupi keluarga adalah tanggung jawabmu. Aku tidak pernah minta kau melakukan dosa untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga kita.
”Mengapa baru kali ini aku ketemu orang yang begitu cerdas?” gumamnya heran dan terus melangkah menemui kembali laki-laki yang ia ikat pada sebatang pohon. ”Ia pasti bukan orang biasa. Tak sedikit pun ia menunjukkan rasa takut,” lanjutnya, mempercepat langkah agar segera bisa mengusut siapakah sebenarnya laki-laki aneh itu.
Berkelebat lagi dalam layar pikirannya betapa tenangnya sikap laki-laki itu ketika ia menghadang dengan golok di tangan sambil melontarkan ancaman, ”Serahkan semua yang kaubawa. Jika tidak, kematian siap menjemputmu!”
”Tenang, Nak. Mengapa kau mengancamku seperti itu? Aku tidak pernah berbuat tak senonoh kepadamu.”
”Aku membutuhkan barangmu untuk menghidupi istri dan anak-anakku.”
”Kau menghidupi istri dan anak-anakmu dengan cara seperti ini? Apa mereka tahu dan bersedia ikut menanggung dosamu?”
Baca juga: Bayi dan Bangau
”Tentu saja. Mereka hidup dari hasil jerih payahku.”
”Tidak, Nak. Mereka tidak akan ikut menanggung dosamu. Jika tidak percaya, pulanglah dan tanyakan kepada mereka.”
Ratnakara curiga laki-laki itu sedang berusaha mengakalinya agar bisa melarikan diri.
”Jangan coba-coba menipu. Kalau itu sampai kaulakukan, aku tak segan membunuhmu dengan cara yang lebih menyakitkan.”
”Kalau kau tidak percaya, ikat saja aku pada sebatang pohon. Aku akan menunggumu kembali membawa jawaban untuk pertanyaanku.”
Ratnakara tidak habis pikir. Baru kali ini ada orang yang sanggup membuat pikiran dan perasaannya seakan diaduk-aduk. Ia tidak mengerti bagaimana ia bisa begitu saja memenuhi permintaan laki-laki itu. Dan, ia hampir tidak percaya ketika melihat orang itu tersenyum menyambut kedatangannya kembali.
”Mengapa tersenyum?” ia penasaran dan melepaskan dengan cepat tali yang mengikat tubuh laki-laki itu.
”Aku sudah tahu jawaban yang kaubawa.”
Ratnakara memandang laki-laki di hadapannya dari ujung rambut sampai ujung kaki, ingin sekali membuktikan praduganya bahwa laki-laki itu bukanlah orang sembarangan.
”Siapa sebenarnya Tuan?” Ratnakara hampir tak percaya mendengar suaranya sendiri yang tiba-tiba berubah sopan.
”Aku Narada.”
”Brahmaresi Narada?”
”Benar.”
Baca juga : A Kim dan Paman Bong Sin Bu
Ratnakara tak dapat lagi menahan tangisnya. Ia tiba-tiba berlutut dan mencium kaki orang yang hendak dirampoknya itu dan mengeluh, ”Betapa bodohnya aku. Kukira Batara hanya ada dalam dongeng.”
”Sekarang kau melihatku dengan matamu sendiri. Kau bertemu denganku pada saat yang tepat.”
”Apa maksud Batara?”
”Mulai saat ini, kau tidak akan merampok lagi.”
”Apa yang akan Batara lakukan padaku?”
Narada tersenyum. ”Jangan khawatir. Aku datang untuk mengingatkan bahwa sudah waktunya bagimu menanggalkan beban dosa yang kausandang.”
”Tapi aku seorang perampok. Darah yang mengalir di tubuhku darah penjarah.”
”Tidak. Darah yang mengalir di tubuhmu darah orang bijak.”
”Bagaimana bisa begitu?”
”Kau keturunan Praceta. Orang yang menjadikanmu perampok adalah ayah angkatmu. Bertahun-tahun yang lalu ia menemukanmu tersesat di hutan. Ia memungutmu lalu membesarkanmu dengan caranya.”
”Bagaimana Batara bisa tahu?”
Narada kembali tersenyum. ”Aku pelanglang jagat. Seperti kataku tadi, aku datang untuk mengingatkan bahwa sudah waktunya bagimu menanggalkan beban dosa yang kausandang.”
”Caranya?”
”Ada satu mantra yang akan menolongmu.”
”Mantra?” Ratnakara tercekat membayangkan betapa jauh jarak yang memisahkan dirinya dengan sesuatu yang barusan diucapkan oleh laki-laki di hadapannya.
”Jangan khawatir, sesungguhnya ini hanya sepotong nama: Rama. Kau hanya perlu mengucapkannya berulang kali, setiap saat, sampai kaudapati dirimu terlahir kembali.”
Baca juga : Dua Hari
Ketika Ratnakara ingin bertanya lagi, tak ada seorang pun di hadapannya. Brahmaresi Narada raib entah ke mana. Meski masih penasaran, ia bersyukur karena yakin tidak sembarang orang bisa mendapat anugerah penampakan seorang maharesi dengan petunjuk yang sangat berarti pula.
Sejak saat itu ia memutuskan untuk melupakan semua kecuali nama yang barusan diberikan. Pada mulanya ia mengalami kesulitan. Melafalkan mantra berulang-ulang sungguh tidak mudah baginya. Namun, ia berusaha membulatkan tekad agar dapat melakukannya.
Untuk itu ia memilih tempat di bawah sebatang pohon rindang di dekatnya. Di sana ia duduk bersila, berjapa dalam hati dengan kedua mata terpejam.
Berselang beberapa lama ia tidak lagi merasakan dirinya berada di bawah sebatang pohon di tengah hutan. Duduk hening sedemikian rupa ia tampak membeku seperti batu sehingga semut-semut leluasa menggerayangi kulitnya, hilir mudik membuat sarang di situ hingga lambat laun menutupi seluruh tubuhnya. Dari waktu ke waktu sarang semut itu semakin tebal saja tetapi ia tidak pernah menyadari. Ia tenggelam begitu dalam ke dalam laku namasmarana, berulang-ulang mengeja sebuah nama.
Suatu hari muncul bola cahaya putih kecil berpendar di hadapannya. Perlahan cahaya itu bergerak mendekat lalu masuk ke titik di antara kedua alis matanya. Setelah membesar memenuhi kepalanya, cahaya itu bergerak turun, merambat pelan di sepanjang tulang punggungnya dan menyebar ke seluruh0 bagian tubuhnya sebelum akhirnya membentuk lingkaran serupa elip mengelilingi tubuhnya.
Kebahagiaan tak terhingga memenuhi hatinya manakala seperti mimpi memperoleh penampakan sosok laki-laki cemerlang dan rupawan. Sosok itu sedang berbaring di atas permukaan air sambil menopang kepalanya dengan sebelah tangan. Narayana? bisik hatinya.
Sosok itu tersenyum ke arahnya dan dengan cara yang tidak mudah dijelaskan menunjukkan kepadanya leluhur yang selama ini tidak ia ketahui. Hal itu membuatnya semakin percaya akan ucapan Brahmaresi Narada bahwa ia keturunan Praceta, orang bijak yang teguh hati dan tidak mengindahkan urusan duniawi.
Peristiwa menakjubkan itu serta-merta membangkitkan kesadarannya bahwa ia tidak ditakdirkan untuk menjadi perampok. Maka ia bangkit dan menghancurkan sarang semut yang tak ubahnya kepompong menyelubungi tubuhnya. Karena peristiwa itulah kemudian ia dikenal sebagai si sarang semut: Walmiki.
Memilih hidup sebagai seorang pertapa, setiap pagi ia pergi menyucikan diri ke Sungai Gangga sambil menenteng sebuah kendi kecil. Suatu hari ketika melintas di jalan setapak di antara rimbun pepohonan, tiba-tiba ia mendengar jeritan seekor burung. Saat berusaha mencari tahu apa yang sedang terjadi, matanya tertumbuk pada pemandangan menusuk hati tak jauh di depannya. Seekor burung sedang terbang rendah, berputar-putar mengelilingi seekor burung lain yang tergeletak di atas rumput. Dari gelagatnya ia dapat memastikan bahwa burung yang tergeletak mati itu adalah pasangan burung yang sedang terbang berputar-putar.
Wahai pemburu yang malang, karena kau telah memisahkan pasangan yang saling mencinta, maka hidupmu akan diliputi kegelapan.
Kala ia mengedarkan pandangan, seorang pemburu dengan sebuah busur di tangan tiba-tiba muncul dari balik semak. Merasa sedih bercampur marah, ia tidak dapat menahan diri lalu berucap, ”Wahai pemburu yang malang karena kau telah memisahkan pasangan yang saling mencinta, maka hidupmu akan diliputi kegelapan.”
Walmiki heran mendengar kata-kata yang terlontar dari bibirnya. Dalam hati ia bertanya, ”Bagaimana aku bisa mengucapkan kalimat yang demikian puitis? Selama ini, kata-kata yang meluncur dari mulutku tak lain dari umpatan kotor seorang perampok yang kejam.”
Saat menyadari dirinya telah terlahir sebagai manusia baru, ia merasa ditakdirkan untuk menekuni kegiatan sebagai pujangga sepanjang sisa usianya, sampai kemudian tercipta dari tangannya sebuah karya besar: Ramayana.
_______
Ketut Sugiartha tinggal di Tabanan, Bali. Menulis esai, puisi, cerpen, dan novel. Karya tulisnya sudah tersebar di berbagai media cetak dan daring. Telah menerbitkan 15 buku meliputi kumpulan cernak, kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan novel.