Rumah Air
Siapakah yang pantas disalahkan di daerah yang bisa digenangi banjir selama berbulan-bulan?
”Inilah banjir besar terparah sejak lima puluh tahun terakhir.”
”Parah, banyak orang merugi. Tak bisa panen sawit, tak bisa panen karet. Jalanan kini harus pakai perahu. Buaya pun mengintai. Hati-hati.”
Meski jauh dari tempat mengungsi, nyatanya suara-suara yang bising bagai suara lebah itu sampai jua di telinga Midah. Dalam keadaan hamil besar, ia tak menyangka peristiwa itu terjadi. Rumah air, rumah air, begitulah ujian hidup ia lalui saat menunggu kelahiran anak pertama.
Kala berada di rumah orangtua yang hanya halaman rumahnya direndam banjir, Midah mencoba mengurai perjalanan hidup. Satu hal yang ia takutkan, tentu ia tak ingin kehilangan anak yang dikandungnya serta laki-laki yang ia cintai setelah sang ayah yang berpulang tepat dua bulan setelah ia melangsungkan pernikahan.
Parah, banyak orang merugi. Tak bisa panen sawit, tak bisa panen karet. Jalanan kini harus pakai perahu. Buaya pun mengintai. Hati-hati.
Pada siang itu, Midah berjibaku menatap layar ponsel yang melulu memberitakan banjir. Tak ada suasana desa yang asri ia videokan, tak ada suasana syahdu yang ia rasakan.
Sambil menyandarkan kepala ke dinding, ia membaca berita dan sekonyong-konyong menggerutu. Siapakah yang pantas disalahkan di daerah yang bisa digenangi banjir selama berbulan-bulan?
***
Maka begitulah Midah menerima kenyataan pada awal pernikahannya dulu. Calon suaminya bernama Husen diterima bekerja di perkebunan sawit. Selain diterima kerja, juga disediakan tempat tinggal berupa rumah sederhana yang jauh dari keramaian. Jalan tanah yang lumpurnya bukan main parahnya pernah menjadi bahan perdebatan Midah dan Husen yang akan menikah dalam hitungan hari.
”Bapak itu menyediakan tempat tinggal di kebun. Ia memang membutuhkan pekerja yang langsung tinggal untuk mengurus segalanya. Bagaimana, apa setuju jika tinggal di sana?”
Mendengar tawaran itu, hanyalah Midah terpaksa menerima meski dirinya membenci jalanan tanah yang kerap tak bersahabat jika hujan turun. Ia tak kuasa menolak. Sebab, jika bersikeras tinggal di daerah padat penduduk, itu sama saja dengan menolak tawaran kerja hingga membuat Husen melewati hari pernikahan dalam keadaan tak memiliki pekerjaan.
Baca juga: A Kim dan Paman Bong Sin Bu
Sebagai anak desa yang terbiasa dengan dunia kebun dan sawah, sungguh tak masalah bagi Midah untuk memulai hidup berumah tangga di kebun sawit. Dan itulah yang ia lalui selama enam bulan usia pernikahan. Tinggal di rumah sederhana, ia merasakan malam begitu mencekam. Apalagi ia khawatir jika sewaktu-waktu ada binatang buas mendekati, bahkan memasuki, rumahnya. Kedatangan ular kobra tentu saja menjadi momok, sebab hewan itu pernah menghadangnya ketika menyusuri kebun sawit setelah hujan petang.
”Bagaimana apa nyaman tinggal di sini, Midah?” Kala itu Husen berharap-harap cemas jika Midah mulai tak kerasan dan meminta untuk pindah rumah.
”Bahaya di sini, Bang. Gajah. Gajah itu bisa saja merobohkan rumah kita. Apalagi bertemu langsung. Bisa diinjak menjadi bubur.”
Midah tentu saja mencemaskan kedatangan gajah yang pernah melintas di perkebunan yang tak jauh dari rumahnya. Selama beberapa hari, ia sempat takut keluar rumah meski pada akhirnya kawanan gajah itu benar-benar menghilang.
”Mungkin telah kembali ke hutan. Biarlah, asalkan tak diburu. Sekarang banyak kasus kematian gajah di Riau. Terbaru ada yang diracun dalam keadaan bunting tua,” tukas Husen mencoba menenangkan Midah, yang duduk santai di beranda pada malam yang diguyur hujan lebat itu. Betapa pada tengah malamnya, rembesan hujan begitu mengalir deras di bagian dapur, hingga membuat kepanikan kecil lantaran air menggenangi lantai secara tiba-tiba.
”Sialan, baru kali ini hujan turun begitu lebat. Ternyata bagian sini bocor parah.” Husen harus membuka baju dan sibuk memperbaiki bagian atap yang bocor. Sementara Midah tak kalah panik dan terbayang sudah gambaran ia tinggal di daerah padat penduduk lalu leluasa untuk membesarkan janin bayinya yang baru berusia dua bulan. Betapa di malam itu, ia tak nyenyak tidur dan dihantui atap rumah yang bisa saja sewaktu-waktu jebol dan hujan jatuh layaknya air terjun.
***
Dan memang, lantaran suatu hal, pada akhirnya Midah pun menyerah. Ia meninggalkan rumah yang membuat masa kehamilan merasa tersiksa. Sebuah upayanya yang mengabari lamaran pekerjaan baru pada Husen ternyata tak sia-sia. Husen diterima bekerja di sebuah hutan industri sebagai operator alat berat.
Namun, begitulah. Pekerjaan yang dimaknai Husen sebagai bekerja di ladang Tuhan itu harus menciptakan jarak. Selain jauh dari kota, pekerjaan itu juga menuntut Husen harus berhari-hari di dalam hutan.
Baca juga: Dongeng Ibu dan Tukang Sepatu di Ujung Jalan
Bagi Midah, hal itu tentulah berat. Tapi berhubung tinggal di daerah yang ramai penduduk, ia mencoba memahami dan tak terlalu merasa kesepian. ”Tolong jaga diri. Meski sesuai keahlian, tapi di hutan banyak tantangan dan risiko.”
Midah tentu khawatir jika terjadi apa-apa pada Husen. Apalagi hutan industri itu bersebelahan dengan hutan lindung yang boleh jadi dihuni harimau. Midah tentu serta-merta tak bisa menafikan bahwa belakangan di permukiman dan perkebunan warga, harimau sering menampakkan diri dan tak jarang berakhir dengan rentetan berita tragis.
Tetapi, begitulah. Meski tidak lagi tinggal di kebun sawit, Midah serta-merta tak bebas berkomunikasi dengan Husen. ”Di sana sinyal atau jaringan susah. Hanya pada titik-titik tertentu. Jadi harap maklum jika ada momen lambat respons ya,” kata Husen saat menjabarkan kenyataan di lapangan.
Termasuk kala baru saja tujuh hari bekerja, Husen mengabarkan seorang pekerja tewas diimpit kayu pada malam hari. Konon penyebabnya lantaran asyik mencari sinyal, si korban tak menyadari bahwa ia berdiri tepat di tempat kayu dijatuhkan dari alat berat.
Tentu saja setelah mendengar itu Midah menyimpan kekhawatiran jika sewaktu-waktu itu juga terjadi pada Husen. Namun, alih-alih terus memupuk kekhawatiran dengan dunia kerja Husen, Midah perlahan terbiasa melalui kehidupan sendiri di rumah sang nenek yang sebelumnya telah lama kosong itu. Midah punya kebiasaan baru, yaitu memasak dengan menggunakan tungku batu bata, lalu memvideokan kesehariannya, seperti memetik sayuran di kebun kecil belakang rumah, memancing di kolam, memasak gulai ikan patin, membelah nangka matang, hingga merawat bunga-bunga layaknya suasana desa yang diiringi alunan musik yang syahdu.
Namun, yang namanya firasat senantiasa memberi petanda akan terjadinya sesuatu yang buruk. Hanyalah Midah, hanyalah ia sempat membayangkan kolam yang di belakang rumahnya suatu saat airnya meluap, hingga ikan-ikan di dalamnya lepas bebas dan menghilang entah ke mana.
***
Dan bagai anak panah menemui sasaran, nyatanya firasat Midah pun menjadi kenyataan.
Banjir besar pun terjadi yang membuat Midah harus mengungsi ke rumah orangtua.
”Inilah banjir besar terparah sejak lima puluh tahun terakhir.”
”Parah, banyak orang merugi. Tak bisa panen sawit, tak bisa panen karet. Jalanan kini harus pakai perahu. Buaya pun mengintai. Hati-hati.”
Bagai segala pekik manusia yang saling bertubrukan di udara, Midah mencerna segalanya begitu dirinya melalui sedikit kepanikan. Husen masih jauh di hutan. Dengan untaian kata-kata penghibur, betapa dari kejauhan sang suami memahami bahwa ini ujian yang harus dilalui untuk mengandung seorang anak dalam kondisi banjir di negeri yang hutannya terus tergerus, dan habitat berbagai hewan terus menyempit.
Inilah banjir besar terparah sejak lima puluh tahun terakhir.
”Tapi hari ulang tahunku tiga hari lagi, Bang. Banjir sepertinya lama surut. Pulang nanti, ya!”
Maka begitulah yang terus terngiang oleh Midah pada petang itu. Betapa di beranda rumah, ia menyaksikan puluhan truk semakin mengular saja lantaran banjir di badan jalan terus saja bertakhta. Air, air, dan air semakin menjadi momok dan senantiasa memenuhi layar ponsel atau kanal berita yang dibacanya. Mengapa banjir tak kunjung surut dan Husen tak kunjung datang pada akhir pekan yang amat ia dambakan? Terlebih sejak pagi hingga petang, nomor telepon Husen sama sekali tak bisa dihubungi. Apa yang sebenarnya terjadi pada sang suami yang pernah dikepung ribuan lebah saat di dalam alat berat itu?
Hanyalah kaum ibu yang ia lihat sibuk memasak nasi dan lauk yang tak jauh dari halaman rumah. ”Ini swadaya dan sukarela saja untuk para sopir. Kasihan mereka terjebak banjir dan lapar.”
Dan seperti para sopir truk, tentu saja Midah membayangkan para istri begitu gelisah menunggu kedatangan sang suami. Dan di hari itu, di hari ia genap berusia kepala tiga, nyatanya ia telah menyiapkan beberapa masakan enak untuk Husen. Pula sebotol madu yang ia beli dari seseorang yang sering keluar masuk hutan untuk menumbai, atau sebuah kearifan lokal yang memanen madu dengan cara mengucapkan untaian mantra.
”Wah, hati-hati diterkam harimau. He-he-he....” Sambil tertawa cengengesan, entah kenapa seorang teman Midah tiba-tiba mengucapkan guyonan begitu ketika ia memegang botol madu.
Midah tentu saja kini mulai tak sabaran. Pada saat gerimis tipis mulai hilang di depan pandangannya, ia berharap Husen segera pulang. Tak peduli naik kendaraan apa.
Tetapi begitulah secercah harapan sekonyong-konyong tiba begitu di layar ponselnya ada nama Husen menghubungi dirinya.
”Halo, Buk. Di sini ada kecelakaan kerja. Ada pekerja yang diimpit kayu dan barusan dilarikan ke rumah sakit.”
Baca juga: Jalan Buntu
”Ya, ini dengan siapa?” Belum sempat Midah menuntaskan tanyanya, suara di seberang telepon serta-merta lenyap. Sambungan terputus. Midah yang awalnya gembira kala dihubungi oleh Husen serta-merta langsung berwajah muram dengan jantung berdegup kencang. Apakah Husen yang dimaksud lelaki asing yang ada di suara telepon itu?
2024
Budi Saputra. Lahir di Padang. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012. Ia menulis di beberapa media massa, seperti Padang Ekspres, Lampung Post, Suara Pembaruan, Suara Merdeka, Rakyat Sultra, Kompas, dan Koran Tempo.