Bagaimana Peta Kompetisi Pilkada Setelah Pendaftaran Calon Ditutup?
Putusan Mahkamah Konstitusi mempermudah syarat pencalonan di pilkada, membuka kesempatan parpol tanpa harus berkoalisi.
Apa yang dapat Anda pelajari dari artikel ini?
1.Apa yang berubah setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait syarat pencalonan di pilkada?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
2.Apa dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap bangunan koalisi yang sudah dibangun oleh partai politik sebelum putusan tersebut?
3.Bagaimana gambaran peta kompetisi pilkada setelah pendaftaran pasangan calon ditutup oleh KPUD?
Apa yang berubah setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan terkait syarat pencalonan di pilkada?
Ada dua keputusan Mahkamah Konstitusi yang terkait langsung dengan persyaratan pencalonan di pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah serentak 2024. Putusan pertama adalah Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 terkait uji materi Pasal 40 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Pasal 40 Ayat 3 tersebut sebelumnya mengatur soal ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk bisa mengajukan pasangan calon di pilkada. Di pasal tersebut mensyaratkan adanya akumulasi perolehan suara sebanyak 25 persen bagi parpol atau gabungan parpol bisa mengajukan pasangan calon dan syarat ini hanya berlaku untuk parpol yang memperoleh kursi di DPRD.
MK memutuskan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat sehingga pasal tersebut tidak berlaku lagi. MK kemudian mengubah ambang batas pencalonan di pilkada berdasarkan perolehan suara sah yang disesuaikan dengan jumlah penduduk yang termuat dalam daftar pemilih tetap (DPT). Hal ini sebelumnya juga diberlakukan bagi pasangan calon dari jalur perseorangan.
Pendek kata, putusan MK ini mempermudah bagi parpol untuk mengajukan pasangan calon, dari sebelumnya harus mengumpulkan suara mencapai 25 persen menjadi lebih ringan syaratnya, yakni dengan rentang 6,5-10 persen disesuaikan dengan besaran jumlah pemilih di suatu wilayah.
Kemudahan lainnya, syarat ambang batas ini juga berlaku kepada semua parpol peserta pemilu, dari sebelumnya hanya berlaku untuk parpol yang meraih kursi di DPRD. Artinya, parpol nonparlemen pun bisa mengajukan paslon di pilkada asal memenuhi syarat ambang batas yang angkanya jauh lebih ringan dari pasal sebelumnya yang dibatalkan MK.
Putusan MK yang kedua terkait syarat pencalonan di pilkada adalah keputusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 terkait uji materi Pasal 7 Ayat (2) Huruf e UU No 10/2016.
Pasal ini sebelumnya mengatur soal penghitungan syarat usia calon yang sebelumnya tidak menyebutkan dengan tegas kapan syarat usia tersebut dipenuhi. Seperti diketahui, pasal ini berisi soal syarat minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur serta 25 tahun untuk calon bupati dan wakil bupati serta calon wali kota dan wakil wali kota.
Dalam putusan MK ditegaskan bahwa semua persyaratan dalam Pasal 7 UU Pilkada, termasuk di dalamnya syarat usia, harus dipenuhi sebelum dilakukan penetapan calon kepala daerah. Artinya, semua calon yang maju di pilkada harus memenuhi minimal syarat usia di atas pada saat penetapan pasangan calon.
Kedua putusan MK ini pada akhirnya dicantumkah dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Baca juga: KPU Ikut Putusan MK soal Pilkada 2024
Apa dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut terhadap bangunan koalisi yang sudah dibangun oleh partai politik sebelum putusan?
Setidaknya ada dua dampak yang bisa dirasakan terkait putusan MK, terutama bagi parpol dan masyarakat. Bagi parpol, putusan MK ini setidaknya membuka kesempatan mengajukan pasangan calon di pilkada tanpa harus mencari parpol lain untuk berkoalisi.
Sebagai ilustrasi, di Jakarta, misalnya, jika sebelumnya parpol membutuhkan 20 persen kursi atau 25 persen suara untuk bisa mengajukan pasangan calon di pilkada, setelah putusan MK, ambang batas di Jakarta berubah menjadi 7,5 persen. Artinya, hanya dengan angka 7,5 persen suara parpol atau gabungan parpol sudah bisa mengajukan pasangan calon.
Jika merujuk hasil Pemilu 2024 di Jakarta, setidaknya ada tujuh parpol yang perolehan suaranya memenuhi syarat tersebut. Ketujuh parpol tersebut adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Golkar, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Sebelumnya, ketujuh partai ini harus berkoalisi untuk mengusung pasangan calon. Dengan ketentuan PKPU yang mengakomodasi putusan MK, ketujuh partai ini berhak mengajukan pasangan calon tanpa harus berkoalisi.
Tentu bagi parpol yang sudah terlebih dahulu membangun koalisi di pilkada sebelum adanya putusan MK ini, tidak banyak hal yang berubah karena sudah telanjur dalam ikatan koalisi. Sebut saja yang terjadi di Pilkada Jakarta. Sejumlah parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus sudah mengajukan pasangan Ridwan Kamil-Suswono.
Namun, di pihak lain, dengan PKPU yang mengadopsi putusan MK ini, PDI-P yang sebelumnya tidak punya peluang mengajukan pasangan calon di Jakarta menjadi terbuka peluangnya.
Sebelumnya dengan aturan lama yang mengharuskan mengumpulkan 25 persen suara, dengan aturan baru dari MK ini, PDI-P bisa mengajukan pasangan calon. Pasangan tersebut adalah Pramono Anung-Rano Karno yang keduanya sama-sama kader PDI-P.
Jika di Jakarta relatif tidak berubah, di wilayah lain sebaliknya justru terjadi perubahan. Sebut saja langkah Partai Golkar di Pilkada Banten, dari semula mendukung pasangan Andra Soni-Dimyati Natakusumah akhirnya mengalihkan dukungan ke kadernya sendiri, Airin Rachmi Diany, yang berpasangan dengan Ade Sumardi. Sebelumnya, pasangan Airin-Ade ini diusung oleh PDI-P.
Dampak kedua adalah terkait putusan MK soal batas usia yang dihitung sejak penatapan pasangan calon. Tentu, bagi parpol-parpol yang semula akan mengajukan sosok tokoh yang lebih muda, kurang dari syarat usia yang disyaratkan, cukup dirugikan.
Salah satu isu yang berkembang dari putusan MK terkait batasan usia ini adalah gagalnya putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk berlaga di pemilihan gubernur karena belum memenuhi persyaratan usia.
Lalu apa dampak buat pemilih? Tentu dengan makin mudahnya parpol mengajukan pasangan calon dengan ambang batas yang relatif terjangkau, pemilih diuntungkan karena punya banyak pilihan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Pemilih bisa memilih yang terbaik dari yang ada sekaligus bisa membanding-bandingkan mana yang sesuai dengan kebutuhan pemilih dan daerahnya lima tahun ke depan.
Baca juga: Putusan MK Membuat Pencalonan Pilkada Penuh Drama
Bagaimana gambaran peta kompetisi pilkada setelah pendaftaran pasangan calon ditutup oleh KPUD?
Nama Anies Baswedan sudah dipastikan tidak akan ada di surat suara pemilihan kepala daerah tahun 2024 ini setelah sebelumnya disebut-sebut akan berlaga di Pilkada Jakarta. Bahkan di jam-jam terakhir sebelum penutupan pendaftaran, nama Anies sempat disebut akan maju di Pilkada Jabar.
Anies Baswedan disebutkan menolak tawaran untuk maju di Pilkada Jabar karena sebelumnya tidak ada permintaan ataupun usulan dari masyarakat dan jajaran pengurus daerah partai agar dirinya menjadi cagub Jabar.
Menurut pihak Anies, kondisi ini berbeda dengan Pilkada Jakarta di mana banyak aspirasi warga Jakarta, juga jajaran pengurus daerah partai di Jakarta, yang mengusulkannya menjadi cagub Jakarta.
Praktis, jika kita mengacu pada lima pilkada di provinsi Jawa, hanya menyisakan Pilkada Jatim yang calonnya ada unsur petahana, yakni gubernur petahana Khofifah Indar Parawansa. Di luar Jatim, yakni Banten, Jakarta, Jabar, dan Jateng tidak ada yang diikuti oleh petahana. Hanya di Jateng yang masih memunculkan nama Taj Yasin sebagai mantan wakil gubernur sebelumnya.
Jika mengacu survei Litbang Kompas Juni 2024, secara elektoral juga hanya Khofifah di Jatim yang berlaga di wilayah yang sama karena tingkat keterpilihannya paling tinggi. Sementara di Jabar, Ridwan Kamil, yang mendapatkan keterpilihan paling tinggi berlabuh di Pilkada Jakarta dan Anies yang meraih elektabilitas tertinggi di Jakarta tidak berlabuh di pilkada tahun ini.
Secara umum, ada sejumlah provinsi yang pasangan calonnya memang masih dalam satu paket yang diusung KIM plus yang berhadapan dengan pasangan calon yang diusung PDI-P. Di wilayah lain ada yang relatif lebih cair dan terbuka di mana pasangan calonnya lebih dari dua. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Anies, Susi, dan Sandiaga Sebelum PDI-P Putuskan Kader Sendiri di Pilkada Jabar