Medan Tarung PDI-P Sesungguhnya di Pilkada 2024
Sosok calon kepala daerah PDI-P di sejumlah daerah hingga kini masih samar. Sebaliknya, lawan politiknya kian solid.
Dari semua partai politik, terbilang hanya PDI Perjuangan yang hingga kini belum resmi mencalonkan sosok kepala daerah dalam Pilkada 2024 mendatang. Perkembangan terakhir, sebagaimana yang dapat dihimpun dari berbagai publikasi media, sampai saat ini PDI-P masih menggodok secara intensif siapa kader ataupun calon kepala daerah yang akan diusung.
Selain itu, PDI-P pun masif fokus menjalin komunikasi politik dengan sejumlah partai dalam berkoalisi, khususnya di sejumlah wilayah yang diperkirakan akan menjadi arena pertarungan politik paling kompetitif.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hingga kini memang belum ada titik terang siapa saja sosok calon kepala daerah yang akan diusung PDI-P, tetapi menarik mencermati segenap pilihan langkah politik PDI-P dalam persaingan penguasaan pilkada serentak 2024 mendatang. Dikatakan demikian lantaran posisi PDI-P tetap menjadi kekuatan sentral politik.
Dalam ajang pemilu, PDI-P merupakan partai pemenang pemilu legislatif untuk ketiga kalinya. Meskipun dalam Pemilu Presiden 2024, kader sekaligus calon presiden andalannya, Ganjar Pranowo, gagal menjadi presiden, bagi PDI-P kekalahan selanjutnya dalam ajang pilkada kali ini tidak boleh terjadi.
Pada pilkada mendatang, berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, tidak kurang dari 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota seluruh Indonesia akan menjadi medan pertempuran politik antarcalon kepala daerah yang disokong partai politik.
Dalam konteks melebarkan pengaruh kekuasaan politiknya, PDI-P mau tidak mau harus menguasai sebanyak mungkin kepemimpinan daerah. Itulah sebabnya, Pilkada 2024 menjadi ajang pertaruhan sekaligus pembuktian kekuatan politik PDI-P.
Dengan orientasi politik menguasai sebanyak mungkin kepemimpinan daerah, minimal PDI-P harus menguasai setiap provinsi yang dimenanginya pada Pemilu Legislatif 2024. Mengacu pada hasil pemilu legislatif lalu, sebanyak 11 provinsi yang dimenangi.
Secara berturut: Bangka Belitung, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua.
Dengan menguasai kepemimpinan gubernur di semua daerah tersebut, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta yang gubernurnya tidak dipilih melalui pilkada, penguasaan partai di setiap provinsi menjadi solid, dengan kekuasaan gubernur dan legislatif provinsi dalam kendali partai yang sama.
Pada sisi lain, orientasi penguasaan politik PDI-P perlu juga tertuju pada wilayah-wilayah politik bergengsi yang dikenal padat jumlah penduduknya. Terlebih, wilayah tersebut juga pernah menjadi kontributor suara dukungan yang membuat agregasi suara dukungan PDI-P secara nasional.
Masuk dalam kategori wilayah ini adalah Sumatera Utara, DKI Jakarta, dan Jawa Timur. Tiga provinsi ini pada Pemilu 2019 dapat dikuasai PDI-P. Akan tetapi, pada Pemilu 2024 gagal dipertahankan dan jatuh pada penguasaan partai politik lain.
PDI-P dan persaingan politik di pilkada Jateng
Hanya, upaya PDI-P menguasai sepenuhnya wilayah yang terbilang sebagai benteng banteng itu kali ini tidak lagi mudah. Dampak terpisahnya pengaruh Presiden Jokowi dalam kekuasaan PDI-P sebagaimana yang tergambarkan dalam pemilu presiden lalu masih membekas.
Apalagi, kemungkinan tampilnya sosok Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi, dan menantunya, Boby Nasution, dalam panggung pilkada kali ini, akan memantik kembali bara persaingan politik.
Kaesang, yang juga Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), akhir-akhir ini banyak dirujuk sebagai calon gubernur Jawa Tengah. Dengan mengacu pada hasil survei Litbang Kompas, misalnya, namanya tidak hanya populer, disukai, tetapi juga cukup banyak dipilih warga Jawa Tengah.
Pada sisi lain, berdasarkan hasil survei yang sama, di wilayah yang kerap dirujuk sebagai kandang banteng ini justru tidak banyak muncul kader PDI-P yang dikenal dan dirujuk publik. Dengan mengacu pada jabatan kepala daerah tingkat II kabupaten dan kota, misalnya, Jawa Tengah, semestinya memiliki 35 sosok bupati dan wali kota yang menjadi bagian dari regenerasi kepemimpinan gubernur.
Dari seluruh wilayah kabupaten dan kota tersebut, sosok-sosok bupati ataupun wali kota yang dihasilkan dari proses kaderisasi kepemimpinan PDI-P terbilang signifikan. Namun, kali ini menjadi ironi, tatkala hasil survei menunjukkan hanya nama Hendrar Prihadi, mantan Wali Kota Semarang yang kini menjadi Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa, ataupun Joko Sutopo, eks Bupati Wonogiri, yang dirujuk publik.
Minimnya sosok kader lokal PDI-P yang dirujuk publik sebagai calon gubernur Jateng setidaknya juga menjadi koreksi bagi proses kaderisasi kepemimpinan partai. Sebagaimana yang terjadi selama ini di Jawa Tengah, PDI-P memang berkuasa. Gubernur Jateng selama ini terbilang sosok yang dicalonkan PDI-P.
Semenjak Bibit Waluyo, gubernur pertama berpangkat terakhir letnan jenderal TNI yang dipilih melalui pilkada langsung, hingga penggantinya Ganjar Pranowo, politisi DPR yang pernah memperpanjang masa jabatannya, berkuasa lantaran dukungan penuh PDI-P.
Hanya, kedua sosok tersebut bukanlah sosok pemimpin yang tumbuh dari proses kaderisasi kepemimpinan daerah di Jawa Tengah. Dengan kata lain, semua gubernur penunjukan PDI-P lebih banyak sebelumnya berkiprah dalam panggung politik nasional.
PDI-P dan persaingan politik di pilkada Sumut
Jika popularitas Kaesang Pangarep menjadi ancaman di Jateng, di Sumatera Utara, ancaman politik Boby Nasution belakangan ini justru semakin menguat. Terakhir, bergabungnya PKS dalam koalisi partai pendukung Boby semakin memperkuat barisan politik dan sekaligus mempersempit posisi tawar politik PDI-P pada kekuatan politik lainnya di Sumut. Saat ini, tidak kurang dari delapan partai politik sudah menyatakan akan mendukung Boby.
Ancaman politik Boby yang sebelumnya dikenal sebagai bagian dari PDI-P itu tidak hanya dari sisi besarnya penguasaan partai politik. Dari sisi potensi dukungan pemilih pun terbilang tinggi. Becermin dari hasil survei, sosok Boby Nasution saat ini paling populer dirujuk sebagai gubernur.
Pada Juni 2024, hasil survei Litbang Kompas mengungkapkan, sosok menantu Presiden Jokowi ini disukai tidak kurang dari tiga perempat bagian responden di Sumut. Dari sisi elektabilitas pun memimpin meninggalkan calon gubernur lain yang dirujuk publik Sumut.
Kendati ruang politik PDI-P di Sumut menyempit, dalam pencalonan gubernur kekuatan PDI-P masih terbilang kokoh. Dengan penguasaan 21 dari 100 kursi DPRD di Sumut, PDI-P dapat mengusung calon gubernur tanpa berkoalisi dengan partai lain. Selain itu, di Sumut pun PDI-P memiliki sejumlah kader yang terbilang populer.
Sebut saja, Sofyan Tan, kader PDI-P yang mampu meraih dukungan 279.334 suara pemilih dalam pemilu legislatif lalu. Capaiannya itu tidak hanya menempatkannya sebagai sosok politisi yang menghimpun dukungan terbanyak di Sumut, tetapi juga menempatkan dirinya pada posisi ke-9 caleg peraih dukungan terbesar nasional.
Baca juga: Sofyan Tan, Benteng Akhir ”Banteng” di Sumut
Selain Sofyan Tan, kader PDI-P lainnya, Nikson Nababan, juga banyak dimunculkan. Nama mantan Bupati Tapanuli Utara itu dalam berbagai survei lokal yang dilakukan kerap disebut layak menjadi gubernur.
Selain kedua sosok di atas, beberapa nama kader lain juga menjadi pertimbangan, seperti Djarot Saiful Hidayat, mantan Gubernur DKI Jakarta pengganti Basuki Tjahaja Purnama, yang juga pernah bertarung, tetapi kalah dalam Pilkada Gubernur Sumut 2018. Bahkan, sempat disinggung pula mantan Gubernur Sumut, Edy Rahmayadi, yang mendaftar dan akan dicalonkan PDI-P.
PDI-P dan persaingan politik di pilkada Jatim dan Jakarta
Harus diakui, di antara partai politik lainnya, PDI-P relatif paling banyak memiliki kader yang siap dikontestasikan. Di Jawa Timur, sosok Tri Rismaharini banyak dirujuk sebagai calon gubernur.
Berdasarkan hasil survei, Risma yang kini masih menjabat sebagai menteri sosial itu memiliki popularitas yang terbilang tinggi, disukai banyak pemilih di Jawa Timur, dan memiliki elektabilitas yang juga tinggi. Dalam arena pertarungan politik Jawa Timur, apabila dicalonkan PDI-P, Risma akan menghadapi petahana gubernur Khofifah Indar Parawansa, yang kali ini kembali bersama wakilnya, Emil Dardak.
Di antara arena persaingan politik pilkada, DKI Jakarta menjadi wilayah politik yang juga menjadi pusat penguasaan. Terlebih, tidak hanya kepentingan politik PDI-P yang tampak di wilayah ini, tetapi aroma persaingan pilpres lampau pun tercium kembali.
Baca juga: Inilah Mengapa PDI-P Tetap Teratas
Terbukti, saat ini, partai-partai politik yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang mengantar kemenangan politik Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka dalam pilpres lalu, tengah gencar merangkul dukungan partai-partai politik lainnya, seperti Nasdem, PKB, PKS, dan PPP, untuk bergabung mencalonkan jago mereka, Ridwan Kamil, sebagai gubernur Jakarta.
Sementara itu, di sisi lain, Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta yang saat pilpres lalu terkalahkan, berupaya kembali merebut jabatan gubernur DKI untuk kedua kalinya.
Bagi PDI-P, menguasai Jakarta punya signifikansi yang terbilang sangat penting. Kendati ibu kota pemerintahan bukan lagi di Jakarta, kilau Jakarta sebagai pusat kekuasaan tidak akan pudar.
Terlebih, dari sisi sumber daya politik yang dimiliki, kader PDI-P, Basuki Tjahaja Purnama, masih terbilang besar jumlah pemilih dan loyalitas dukungannya. Berdasarkan hasil survei Kompas, Basuki yang juga mantan Gubernur Jakarta itu berada pada posisi kedua setelah Anies yang paling banyak dipilih sebagai gubernur Jakarta.
Mencermati pola persaingan yang bakal terjadi di setiap arena politik di atas, menjelang batas waktu pencalonan, tampak lawan tarung politik PDI-P semakin terkonsentrasi dan terbilang semakin solid.
Baca juga: Di Bali, Benteng Banteng Masih Tersisa
Tidak mengherankan jika isu pertarungan politik yang mengarah pada kekuatan tunggal politik santer terdengar. Namun, tampaknya PDI-P tidak menginginkan pola semacam itu yang terjadi.
Itulah sebabnya, menjadi semakin masuk akal jika PDI-P masih terus berkalkulasi dan tidak segera menentukan calon-calon kepala daerah yang bakal diusungnya. Saatnya kelak, dalam waktu dekat tentunya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri yang menentukan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: PDI-P dalam Bayang Krisis Pemilih Mula