Mengapa Revisi UU Kementerian Negara Didesak untuk Dihentikan?
DPR tengah mengebut pembahasan revisi UU Kementerian Negara. Sebaliknya, publik menolak. Mengapa demikian?
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. Ada kepentingan apa di balik revisi Undang-Undang Kementerian Negara?
2. Bagaimana sikap pemerintah?
3. Apa yang terjadi saat revisi undang-undang ini dibahas?
4. Mengapa revisi undang-undang ini mengalami penolakan?
Ada kepentingan apa di balik revisi UU Kementerian Negara?
Pembatasan jumlah kementerian di kabinet yang disahkan di era pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono menjadi salah satu materi utama yang akan diubah dalam revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.
Sebelumnya, Pasal 15 UU Kementerian Negara membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 institusi. Lewat revisi UU Kementerian Negara yang tengah berjalan di DPR, ketentuan itu diganti dengan menyerahkan wewenang penuh kepada presiden untuk menetapkan jumlah kementerian sesuai dengan kebutuhannya. Hanya saja, presiden harus tetap memperhatikan prinsip efektivitas pemerintahan.
Revisi UU Kementerian Negara ini pun bergulir tak lama setelah beredar wacana bahwa Prabowo Subianto ingin menambah jumlah kementerian di pemerintahannya mendatang menjadi 41. Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto pada Mei 2024 mengatakan, wacana penambahan kementerian menjadi 40 di pemerintahan Prabowo sudah lama muncul dan digodok tim Prabowo.
Hanya dalam tiga hari, Badan Legislasi (Baleg) DPR rampung menyusun draf revisi UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Seluruh fraksi partai politik di BalegDPR sepakat untuk menghapus pembatasan jumlah kementerian paling banyak 34 yang sebelumnya diatur dalam UU No 39/2008 tersebut.
Pada Juli lalu, Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidowi memastikan revisi UU Kementerian Negara akan segera dibahas. Pembahasan juga akan berlangsung cepat karena ditargetkan selesai sebelum masa jabatan DPR periode 2019-2024 berakhir pada September mendatang. Ia pun menyebutkan, undang-undang itu direvisi untuk kepentingan pemerintahan mendatang yang akan dipimpin Prabowo Subianto, presiden terpilih hasil Pilpres 2024.
”Iya, dong (pembahasan RUU Kementerian Negara dituntaskan sebelum akhir September). Kan, itu untuk pemerintahan yang akan datang. Makanya, kemudian salah satu pasalnya itu tidak membatasi jumlah kementerian, tetapi menyerahkannya kepada pemerintah dengan semangat efektivitas pemerintahan,” tutur Baidowi.
Guru Besar Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Wahyudi Komorotomo mengatakan, revisi UU Kementerian Negara karena cenderung hanya dimaksudkan untuk mengakomodasi kepentingan politik parpol-parpol pendukung presiden dan wakil presiden terpilih. Dengan menambah jumlah kementerian, kebijakan pemerintah diprediksi tidak terfokus dan menyebabkan pemborosan uang negara.
Padahal, saat ini keuangan negara tengah dalam situasi sulit karena rendahnya pendapatan pajak serta pelemahan nilai tukar rupiah. Oleh karena itu, pemerintah semestinya berhemat, bukan melakukan pemborosan anggaran negara dengan menambah jumlah menteri dan wakil menteri.
Baca juga: Revisi UU Kementerian Negara dan Janji Semu Reformasi Birokrasi
Baca juga: Pembatasan Bakal Dihapus, Jumlah Kementerian Diserahkan ke Presiden
Baca juga: Prabowo Kaji Mendalam Penambahan Kementerian, Intensi Bagi-bagi Kekuasaan Ditepis
Baca juga: Demi Mempermudah Presiden, Baleg DPR Sepakat Hapus Pembatasan 34 Kementerian
Baca juga: Revisi UU Kementerian Negara Ditarget Tuntas Sebulan Jelang Awal Pemerintahan Prabowo
Bagaimana sikap pemerintah?
Pemerintah sependapat dengan usulan DPR untuk menyerahkan jumlah kementerian kepada presiden terpilih. Untuk itu, terhitung Juni lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Abdullah Azwar Anas mengatakan, Presiden Joko Widodo telah membahas revisi UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara. Pembahasan rancangan undang-undang yang menjadi inisiatif DPR dilakukan dalam rapat terbatas di Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (28/6/2024).
Ia menuturkan, pemerintah tidak akan membahas secararigidjumlah kementerian yang diatur dalam Pasal 15 RUU Kementerian Negara. Pemerintah memberikan ruang kepada presiden terpilih untuk menentukan jumlah kabinet yang disesuaikan dengan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pada September, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Supratman Andi Agtas, politisi Partai Gerindra dan juga mantan Ketua Baleg DPR yang memimpin pengusulan revisi UU Kementerian Negara, mengatakan, pemerintah telah menuntaskan daftar inventarisasi masalah (DIM) untuk RUU Kementerian Negara. Menurut Supratman, tidak ada perbedaan mendasar antara DIM dan draf RUU yang dirancang pada masa ia masih menjabat Ketua Baleg DPR.
Baca juga: Revisi UU Kementerian, Pemerintah Tak Keberatan Batas Jumlah Kementerian Dihapus
Baca juga: Menpan RB: Pemerintah Sependapat dengan DPR Jumlah Kementerian Diserahkan ke Presiden
Apa yang terjadi saat revisi undang-undang ini dibahas?
Pada masa sidang DPR yang akan berakhir pada Oktober mendatang, pemerintah dan DPR berniat mengebut pembahasan setidaknya tiga RUU, termasuk untuk revisi UU Kementerian Negara. Dua legislasi lainnya adalah RUU Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan RUU Keimigrasian. Adapun masa jabatan DPR periode 2019-2024 akan berakhir pada 19 Oktober 2024, tetapi masa sidang berakhir pada 1 Oktober mendatang.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto baru-baru ini mengatakan, baik DPR maupun presiden semestinya tidak membuat kebijakan strategis dalam pembentukan undang-undang pada masa akhir jabatan. Sebab, perumusan undang-undang yang dilakukan dalam waktu singkat cenderung akan meninggalkan prinsip partisipasi bermakna dari publik. Meski DPR dan presiden sebagai pembentuk undang-undang memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang, semestinya hal itu tidak dilakukan dalam waktu yang sempit sehingga tidak memperhatikan aspirasi masyarakat.
Bahkan, jauh sebelumnya, peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengingatkan, proses revisi UU Kementerian Negara masih bisa dihentikan. Apalagi, revisi UU Kementerian Negara tidak masuk dalam Progam Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2024 meskipun telah terdaftar dalam Prolegnas 2020-2024.
Lucius memandang, rencana revisi UU Kementerian Negara yang ingin diusulkan DPR juga janggal. Sekalipun tidak menyalahi aturan apa pun, urusan penyusunan jumlah kabinet idealnya diusulkan oleh pemerintah sebagai pihak yang paling memahami persoalan dan kebutuhan akan kementerian. DPR semestinya mengambil bagian untuk memberikan masukan pada proses pembahasan melalui penyusunan daftar inventarisasi masalah.
Oleh karena itu, menurut Lucius, sikap Presiden Joko Widodo terhadap RUU Kementerian Negara bakal jadi penunjuk kepentingan di balik revisi tiba-tiba ini. Jika revisi undang-undang dibutuhkan untuk penguatan kelembagaan kementerian, semestinya presiden dan jajarannya mempelajari UU Kementerian Negara secara menyeluruh dan menyusun substansi revisi secara komprehensif.
Baca juga: Abaikan Partisipasi Publik Bermakna, DPR Diminta Hentikan Bahas RUU Kementerian Negara dan RUU DPA
Baca juga: Revisi UU Kementerian Bisa Dihentikan, Sikap Presiden Jokowi Jadi Penentu
Mengapa revisi undang-undang ini mengalami penolakan?
Dalam artikelnya di kolom Opini, Sekretatis Eksekutif Komite Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Guru Besar Administrasi Negara UI Eko Prasojo mengungkapkan, saat UU Kementerian Negara dibentuk, terdapat naskah akademik pembentukan legislasi. Naskah akademik itu menyebut pengaturan mengenai pembentukan, pengubahan, dan penghapusan kementerian negara dalam undang-undang yang menyiratkan kekhawatiran kekuasaan presiden yang sangat besar sehingga diperlukan mekanisme checks and balances.
Meskipun demikian, hak prerogatif presiden dalam menetapkan kementerian dan mengangkat menteri negara tetap dapat dilaksanakan dalam suasana yang demokratis, efektif, dan efisien.
Dengan demikian, menurut dia, latar belakang dibentuknya UU Kementerian Negara adalah upaya untuk memperkuat sistem demokrasi dalam kerangka sistem pemerintahan presidensial. Hal ini didasarkan pada keinginan konstitusi dan pembentuk undang-undang untuk memberikan rambu-rambu kepada presiden guna melaksanakan kekuasaan pemerintahan dalam membentuk kementerian dan mengangkat para pembantunya.
Selain urusan yang jadi kewenangan absolut pemerintah pusat, seperti urusan luar negeri, moneter, keamanan, pertahanan, peradilan, dan agama, maka urusan-urusan lain, yang berkaitan dengan kewenangan mengatur dan mengurusnya, diserahkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Karena itu, urusan pemerintah pusat terbatas pada kewenangan yang sifatnya mengatur, yaitu membuat norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK).
Namun, memang, dalam praktiknya saat ini terjadi kesulitan koordinasi dan fragmentasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Hal ini menyebabkan banyak sekali rencana strategis, program, dan kegiatan pemerintah pusat tak dapat dilaksanakan secara baik di pemerintahan daerah karena tidak tersambungnya perencanaan, penganggaran, dan pelaksanaan program dalam APBN dengan program dalam APBD.
Dengan kata lain, desain kementerian negara saat ini memiliki inkompatibilitas dengan sistem pemerintahan Indonesia yang terdesentralisasi. Jika masalah ini tidak diantisipasi, opsi menambah jumlah kementerian akan semakin menambah rumit hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam orkestrasi pemerintahan.
Sementara itu, hasil jajak pendapat LitbangKompaspada 20-22 Mei 2024 menunjukkan keterbelahan pendapat publik menanggapi isu penambahan jumlah kementerian dalam kabinet presiden terpilih mendatang. Sebanyak 42,3 persen responden lebih setuju jika jumlah kementerian dalam kabinet mendatang adalah tetap seperti pada pemerintahan sekarang. Sebanyak 20,4 persen responden bahkan menyatakan jumlah kementerian sebaiknya dikurangi.
Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara, dalam artikelnya di kolom Opini, menyampaikan, dengan jumlah kementerian yang akan dirancang tanpa batas, hal itu bisa membuat efisiennya dipertanyakan. Selain itu, ia mengingatkan, ada potensi penggunaan hak tak berbatas untuk memperbesar ”kue kekuasaan” untuk mengurangi kekuatan penyeimbang.
Di sisi lain, menurut dia, sempitnya waktu pembahasan revisi UU Kementerian Negara yang berlangsung di ujung masa jabatan DPR dan presiden membuat warga bahkan nyaris tak sempat mencerna apa yang tengah direncanakan oleh empunya kekuasaan.
Menurut Bivitri, saat ini pembuat undang-undang pun tengah mengalami periode lame duck atau masa transisi, yaitu saat eksekutif dan legislatif baru sudah terpilih, tetapi belum resmi menjabat. Secara politik, ini berarti eksekutif dan legislatif yang masih menjabat saat ini sebenarnya sudah tidak memiliki legitimasi. Karena itu, secara etik, petahana tidak boleh lagi membuat kebijakan yang berdampak signifikan pada sistem bernegara. Ibarat penghuni sebuah rumah, mereka tidak boleh merusak rumah yang akan segera mereka tinggalkan untuk penghuni baru.
Memanfaatkan masalame duck untuk mengubah sistem ketatanegaraan secara signifikan ini ibarat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Hal ini hanya mungkin dilakukan oleh politikus tak peduli etik bernegara dan demokrasi, yang memang mempunyai kepentingan pragmatis belaka.
Baca juga: Desain Besar Kementerian Negara
Baca juga: Ingin Kebut Bahas Tiga RUU Kontroversial, DPR Dianggap Cari Kesempatan dalam Kesempitan
Baca juga: Perlu Pertimbangan Matang Menambah Jumlah Kementerian
Baca juga: Kejar Tayang Legislasi Bermasalah
Baca juga: Abaikan Partisipasi Publik Bermakna, DPR Diminta Hentikan Bahas RUU Kementerian Negara dan RUU DPA