Kotak Kosong Menang, Komisi II DPR Dorong Pilkada Ulang 2025
Komisi II DPR telah menjadwalkan rapat konsultasi bersama KPU dan pemerintah pada Selasa mendatang.
Oleh
HIDAYAT SALAM
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat mendorong bagi daerah yang nantinya menang kotak kosong untuk kembali menggelar pilkada pada tahun berikutnya, yaitu 2025. Usulan ini akan dibahas bersama dengan Komisi Pemilihan Umum dan pemerintah pada Selasa (10/9/2024).
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan, Komisi II sudah menerima permohonan dari KPU untuk menjawab situasi ketika di daerah yang ada calon tunggal justru yang menang adalah kotak kosong. Dalam Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak disebutkan secara rinci mekanisme penyelenggaraan pilkada untuk daerah yang dimenangi oleh kotak kosong. UU Pilkada tersebut hanya mengatur bahwa pemilihan berikutnya bisa diulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Karena itu, Komisi II DPR telah menjadwalkan rapat konsultasi membahas penafsiran Pasal 54D UU Pilkada tersebut bersama KPU dan pemerintah pada Selasa (10/9/2024) atau pekan depan.
”Ini, kan, masalah penafsiran dalam Undang-Undang Pilkada saja. Kita sudah atur jadwal konsultasi KPU dengan Komisi II DPR pada Selasa depan. Dan bisa langsung kita ketahui juga kesimpulan dari hasil rapatnya nanti,” ujar Doli saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (5/9/2024).
Doli mengusulkan, untuk daerah yang nantinya menang kotak kosong dapat kembali menggelar pilkada pada tahun berikutnya, yaitu 2025. Dengan demikian, tidak perlu menunggu sampai Pilkada 2029. Jika opsi dilakukan pilkada ulang pada 2029 ini yang dipilih, justru akan berdampak pada tata kelola pemerintah daerah.
Sebab, daerah tersebut akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah dengan periode yang sangat lama, bisa mencapai lima tahun. Padahal, kewenangan penjabat sangat terbatas.
Ketika opsi yang dipilih menunggu Pilkada 2029, sementara daerah diisi oleh penjabat. (Maka itu bisa) terlalu lama. Ini akan mendistorsi kedaulatan rakyat.
Sebelumnya, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati juga mengungkapkan, regulasi dalam Pasal 54D UU Pilkada memang bisa diartikan dengan dua tafsir. Pelaksanaan pilkada berikutnya bisa diartikan pada 2029 ketika ada keserentakan pilkada lagi. Namun, bisa juga hal itu ditafsirkan pilkada pada tahun berikutnya, yaitu pada 2025.
”Ketika opsi yang dipilih menunggu Pilkada 2029, sementara daerah diisi oleh penjabat. (Maka itu bisa) terlalu lama. Ini akan mendistorsi kedaulatan rakyat dan membuat daerah tidak memiliki kepemimpinan definitif jika harus menunggu lima tahun kemudian,” kata Neni.
Keberadaan penjabat kepala daerah yang menjabat sangat lama, apalagi lima tahun, tentu akan kontraproduktif dan menciptakan permasalahan. Sebab, kewenangan penjabat sangat terbatas. Hal itu bisa berdampak pada kegagalan tata kelola pemerintahan daerah jika berlangsung terlalu lama.
”KPU perlu mengatur mekanisme khusus untuk daerah yang nantinya menang kotak kosong dengan kembali menggelar pilkada pada tahun berikutnya, yaitu 2025. Tidak perlu menunggu sampai Pilkada 2029,” katanya (Kompas.id, 3/9/2024).
Hingga Kamis, setelah dilakukan perpanjangan masa pendaftaran calon kepala daerah, jumlah daerah dengan calon kepala daerah tunggal berkurang dari 43 daerah menjadi 41 daerah. Dua daerah yang muncul kandidat baru adalah Pilkada Kabupaten Puhowato, Gorontalo, dan Pilkada Kabupaten Kepulauan Sitaro, Sulawesi Utara.
Terkait dengan maraknya calon tunggal, Doli mengatakan, aturan saat ini sudah cukup memfasilitasi muncul banyak calon kepala daerah. Apalagi, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan 20 Agustus lalu, yang menyatakan aturan ambang batas pencalonan kepala daerah sebesar 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah hasil pemilu tak berlaku. MK lantas memberlakukan ambang batas yang lebih rendah atau disetarakan dengan syarat dari jalur perseorangan, yakni berkisar 6,5-10 persen suara sah pada pemilu lalu.
”Ambang batasnya, kan, sudah diturunkan walaupun memang putusan itu sudah sangat mepet pada saat penutupan pendaftaran. Namun, dari segi regulasi, menurut saya sudah sangat cukup sekali memungkinkan untuk munculnya banyak calon di daerah itu,” kata Doli.
Namun, Doli melihat bahwa masalah yang menyebabkan maraknya calon tunggal di Pilkada 2024 karena memang tidak banyak tokoh atau figur yang dianggap kompeten untuk bisa maju menjadi calon kepala daerah di daerah tersebut.
”Jadi, punya keterbatasan figur yang mau muncul. Ke depan saya kira PR-nya adalah memang harus diciptakan situasi bagaimana daerah-daerah yang memang minim figur itu harus didorong supaya muncul politisi-politisi yang kompeten,” ucap Doli.
Fenomena calon tunggal merupakan tanggung jawab semua pihak untuk mengatasinya.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera, berpandangan, fenomena calon tunggal merupakan tanggung jawab semua pihak untuk mengatasinya. Hal ini agar iklim demokrasi di pilkada dapat berjalan dengan baik. ”Fenomena kotak kosong menyedihkan. Tanda kaderisasi di parpol atau masyarakat melemah,” katanya.
Ia menyarankan mesti ada formula hukuman jika fenomena calon tunggal ini terus berlangsung, bahkan kian banyak jumlah daerah yang terdapat kotak kosong. Namun, Mardani enggan mendetail sanksi seperti apa yang mesti diterapkan. Hal ini perlu dibahas lebih lanjut. ”Pekan depan sudah dijadwalkan DPR dan KPU bahas anggaran final dan perkembangan pilkada,” ucapnya.
Sebelumnya, Neni Nur Hayati juga menyampaikan, agar calon tunggal tak kembali muncul di pilkada berikutnya, dibutuhkan penguatan regulasi. Regulasi itu harus dapat menciptakan pilkada yang diikuti minimal dua pasang calon kepala daerah sehingga kotak kosong pun tak lagi muncul.
Ia pun mengungkapkan, putusan Mahkamah Konstitusi yang melonggarkan ambang batas minimal bagi partai sebagai syarat mengusung calon kepala daerah itu sudah ideal. Namun, agar tak muncul calon kepala daerah tunggal di pilkada, perlu pula diatur ambang batas maksimal bagi partai gabungan sebagai syarat mengajukan calon kepala daerah.
”Untuk maksimal ambang batas, saya kira 40 persen kursi. Ketika sudah mentok (sampai 40 persen), mau tidak mau partai politik atau gabungan parpol membentuk poros baru (untuk mengusung calon kepala daerah),” ujarnya.