Jika Kotak Kosong Menang di Pilkada, Apa Saja yang Perlu Diperhatikan?
Jika yang menang kotak kosong, dibutuhkan penguatan regulasi supaya tak lagi muncul calon tunggal di pilkada berikutnya.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Sebuah spanduk yang mengajak warga untuk mencoblos kolom kosong atau kotak kosong jika tidak setuju dengan calon tunggal yang ada di Pilkada 2020 Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (26/9/2020). Belum ada aturan detail terkait kampanye kolom kosong, KPU Balikpapan menyarankan warga melakukan sosialisasi.
JAKARTA, KOMPAS – Hingga Selasa (3/9/2024), dengan dibukanya kembali pendaftaran calon kepala daerah daerah 2-4 September 2024 di daerah-daerah dengan calon tunggal, jumlah daerah dengan calon tunggal yang sebelumnya mencapai 44 daerah, kini jadi 43 daerah. Jika pada pemungutan suara pada 27 November 2024, daerah-daerah dengan calon tunggal itu ada yang dimenangi oleh kotak kosong, setidaknya ada beberapa permasalahan yang akan dihadapi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Permasalahan pertama terkait dengan waktu pelaksanaan pilkada berikutnya. Hal ini menjadi krusial karena selama menunggu pilkada berikutnya, pemerintahan daerah akan dipimpin oleh penjabat kepala daerah.
Selanjutnya, untuk mencegah calon tunggal kembali muncul di pilkada berikutnya, dibutuhkan penguatan pada regulasi. Dengan demikian, di pilkada berikutnya dapat menghadirkan minimal dua pasang calon kepala daerah.
Berdasarkan catatan Komisi Pemilihan Umum (KPU), 43 daerah dengan calon kepala daerah tunggal itu tersebar di 1 provinsi, 37 kabupaten, dan 5 kota. Untuk memenangi kontestasi di pilkada, tiap calon tunggal harus mengantongi suara lebih dari 50 persen suara sah.
Anggota Komisi Pemilihan Umum Idham Holik saat dihubungi dari Jakarta, Selasa (3/9/2024), menuturkan, sekiranya pasangan calon tunggal tidak memperoleh suara sah lebih dari 50 persen sesuai syarat yang ditentukan, atau kotak kosong menang, maka akan diadakan pilkada kembali.
”Kapan pemilihan berikutnya itu? Masih ada dua alternatif yang akan kami konsultasikan ke DPR. Selama periode pemerintahan pascapilkada tahun 2024 ini, (daerah) akan dipimpin oleh penjabat sementara,” kata Idham.
Sejak calon kepala daerah tunggal di pilkada muncul pertama kali pada Pilkada 2015, calon tunggal hampir selalu menang. Terkecuali di Pilkada Makassar 2018, kotak kosong yang menang. Akibatnya, pilkada di Makassar, Sulawesi Selatan, itu harus diulang.
Di Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, mekanisme penyelenggaraan pilkada untuk daerah yang dimenangi oleh kotak kosong diatur di Pasal 54D.
Pasal 54D Ayat (1) di antaranya mengatur tentang KPU Provinsi atau KPU kabupaten/kota menetapkan pasangan calon terpilih pada pemilihan satu calon jika mendapatkan 50 persen dari suara sah. Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari 50 persen, pasangan calon yang kalah tersebut boleh mencalonkan kembali dalam pemilihan berikutnya.
Pemilihan berikutnya bisa diulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Adapun pemilihan berikutnya bisa diulang pada tahun berikutnya atau dilaksanakan sesuai dengan jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 54D Ayat (3) mengatur, jika belum ada hasil dari pemilu yang diikuti calon tunggal, pemerintah menugaskan penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota. Selanjutnya, ketentuan lebih lanjut jika kotak kosong dinyatakan menang dalam pemilu itu akan diatur di Peraturan KPU.
Saat ini, KPU sedang mengkaji dua alternatif untuk penyelenggaraan pilkada kembali, dan juga akan dikonsultasikan kepada DPR. Hal itu akan dilakukan sebelum Peraturan KPU (PKPU) tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dan PKPU tentang Rekapitulasi Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan disusun.
Dua alternatif itu adalah pertama, pilkada diulang kembali pada berikutnya yaitu 2025. Hal ini untuk memberikan kesempatan daerah segera memiliki kepala daerah dan wakil kepala daerah definitif, tanpa menunggu jeda terlalu lama.
Kedua, pilkada berikutnya dilaksanakan sesuai jadwal yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan, yaitu Pasal 3 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada di mana pilkada dilaksanakan setiap lima tahun sekali secara serentak. Alternatif kedua ini lebih mengedepankan desain keserentakan penyelenggaraan pilkada.
”KPU akan berkomunikasi dengan pembentuk UU untuk menyampaikan permohonan konsultasi berkenaan dengan norma di Pasal 54D Ayat (3) UU Pilkada,” kata Idham.
Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia Neni Nur Hayati berpendapat regulasi di Pasal 54D UU Pilkada memang bisa diartikan dengan dua tafsir. Pelaksanaan pilkada berikutnya bisa diartikan pada 2029 atau ketika ada keserentakan pilkada lagi. Namun, bisa juga hal itu ditafsirkan pilkada di tahun berikutnya, yaitu pada 2025.
”Ketika opsi yang dipilih menunggu Pilkada 2029, sementara daerah diisi oleh penjabat. (Maka itu bisa) terlalu lama. Ini akan mendistorsi kedaulatan rakyat dan membuat daerah tidak memiliki kepemimpinan definitif jika harus menunggu lima tahun kemudian,” kata Neni.
Keberadaan penjabat kepala daerah yang menjabat sangat lama, apalagi lima tahun, tentu akan kontraproduktif dan menciptakan permasalahan. Sebab, kewenangan penjabat sangat terbatas. Hal itu bisa berdampak pada kegagalan tata kelola pemerintahan daerah, jika berlangsung terlalu lama.
”KPU perlu mengatur mekanisme khusus untuk daerah yang nantinya menang kotak kosong dengan kembali menggelar pilkada di tahun berikutnya yaitu 2025. Tidak perlu menunggu sampai Pilkada 2029,” katanya.
Agar calon tunggal tak kembali muncul di pilkada berikutnya, menurut Neni, maka dibutuhkan penguatan regulasi.
Pembenahan regulasi
Dengan menggelar kembali pilkada karena kotak kosong menang, menurut Neni, adalah pertimbangan yang sangat rasional untuk menjaga kedaulatan rakyat terhadap pemimpin yang dipilih secara langsung. KPU memiliki tugas untuk menyelenggarakan pilkada karena ada hak rakyat untuk memiliki pemimpin hasil pemilu atau pemimpin definitif.
Agar calon tunggal tak kembali muncul di pilkada berikutnya, menurut Neni, maka dibutuhkan penguatan regulasi. Regulasi itu harus dapat menciptakan pilkada yang diikuti minimal dua pasang calon kepala daerah sehingga kotak kosong pun tak lagi muncul.
Ia pun mengungkapkan, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi yang melonggarkan ambang batas minimal bagi partai sebagai syarat mengusung calon kepala daerah, itu sudah ideal. Namun, agar tak muncul calon kepala daerah tunggal di pilkada, maka perlu pula diatur ambang batas maksimal bagi partai gabungan sebagai syarat mengajukan calon kepala daerah.
”Untuk maksimal ambang batas saya kira 40 persen kursi. Ketika sudah mentok (sampai 40 persen) maka mau tidak mau partai politik atau gabungan parpol membentuk poros baru (untuk mengusung calon kepala daerah),” ujarnya.
Hasil pemantauan DEEP di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, menunjukkan terdapat calon tunggal yang diusung oleh 18 parpol. Elite partai setempat menyatakan jika sampai kotak kosong yang menang, mereka sepakat mengusung kembali calon yang sama di pilkada berikutnya. Alasannya, adalah karena calon kepala daerah dan wakilnya tidak mau dipisahkan.
”Kondisi ini anomali dan preseden buruk bagi demokrasi, karena sama saja tidak menghadirkan calon alternatif. Menurut kami, untuk pilkada berikutnya di tahun 2025, perlu ada penguatan batas maksimal di ambang batas pencalonan pilkada agar koalisi tidak diborong seluruh parpol,” ujarnya.