Dibayangi Kasus Pencatutan KTP, Legitimasi Pencalonan Dharma-Kun Dipertanyakan
Legitimasi pencalonan Dharma-Kun di Pilkada Jakarta dipertanyakan akibat kasus pencatutan KTP. Polisi diminta selidiki.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencatutan nomor induk kependudukan ratusan warga Jakarta untuk mendukung calon gubernur dan wakil gubernur Dharma Porengkun-Kun Wardhana di Pilkada Jakarta harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Setiap warga selaku subyek data berhak menuntut, mencabut dukungan, bahkan meminta ganti rugi apabila data pribadinya diproses tanpa izin. Jika kasus ini dibiarkan, selain pencalonan gubernur dan wakil gubernur Dharma-Kun tidak legitimate, mereka juga melanggar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi.
Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Parasurama Pamungkas saat dihubungi dari Jakarta, Jumat (30/8/2024), mengatakan, kasus pencatutan nomor induk kependudukan (NIK) warga untuk kepentingan Dharma-Kun di Pilkada Jakarta bisa menerapkan Pasal 65 Ayat (1) Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Ketentuan itu menyebutkan, antara lain, setiap orang dilarang memperoleh atau mengumpulkan data pribadi yang bukan miliknya dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain yang dapat mengakibatkan kerugikan subyek data pribadi.
Pasal 65 Ayat (3) juga mengatur, setiap orang juga dilarang secara melawan hukum menggunakan data pribadi yang bukan miliknya. ”Ada dugaan pemrosesan data pribadi tanpa persetujuan dari subyek data secara langsung. (Untuk itu) Polda Metro Jaya bisa menggunakan Pasal 65 Ayat (1) di UU PDP untuk menjerat yang bersangkutan,” kata Parasurama.
Hasil temuan koalisi masyarakat sipil, setidaknya 471 warga menyatakan data KTP mereka dicatut oleh Dharma-Kun. Akan tetapi, Dharma-Kun, pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan itu dapat melenggang mendaftarkan diri sebagai kandidat di Pilkada Jakarta 2024 ke KPU Jakarta, Kamis (29/8/2024) malam.
Soal dugaan pencatutan NIK warga Jakarta oleh Dharma-Kun, Bawaslu Jakarta menyatakan, pasangan calon kepala daerah itu tak memenuhi unsur pidana pemilihan kepala daerah. Walakin, dugaan pencatutan data KTP oleh Dharma-Kun itu akan tetap diteruskan oleh Bawaslu Jakarta ke Polda Metro Jaya karena memenuhi unsur pelanggaran hukum seperti diatur dalam UU PDP.
Akan tetapi, Dharma-Kun, pasangan calon kepala daerah dari jalur perseorangan itu dapat melenggang mendaftarkan diri sebagai kandidat di Pilkada Jakarta.
Akan tetapi, sebelumnya pun, Polda Metro Jaya telah menghentikan penyelidikan kasus dugaan pencatutan NIK yang dipakai untuk Dharma-Kun dalam Pilkada Jakarta. Alasannya, pelanggaran yang dilaporkan itu termasuk dalam tindak pidana pemilu yang penanganannya harus melalui Badan Pengawas Pemilu terlebih dahulu sebelum diteruskan ke pihak kepolisian (Kompas.id, 19 Agustus 2024).
Faktor politik
Parasurama menduga mandeknya penyelidikan dugaan pencatutan NIK warga Jakarta untuk kepentingan pencalonan Dharma-Kun di Polda Metro Jaya itu terkait dengan faktor politik yang kental dalam kasus ini. Selain itu, aparat penegak hukum juga belum memahami seutuhnya regulasi UU PDP sehingga terkesan menganggap kasus itu sebagai sesuatu yang tidak relevan.
Namun, hal itu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebab, jika tidak diproses hukum kasus pencatutan KTP bisa akan muncul di setiap pemilu atau pilkada. Tanpa pertanggungjawaban hukum, praktik-praktik serupa bisa muncul di masa yang akan datang karena tidak ada efek jera.
”Polda Metro jangan sampai melakukan pembiaran yang justru akan membuka potensi-potensi keberulangan terkait dengan pencatutan data pribadi di proses elektoral lain,” katanya.
Parasurama pun mengaku kecewa dengan sikap dari Bawaslu Jakarta yang tidak bisa bersikap tegas dalam kasus ini. Padahal, hasil temuan koalisi masyarakat sipil, setidaknya 471 warga menyatakan data KTP mereka dicatut. Bawaslu seharusnya bisa merekomendasikan kepada KPU Jakarta untuk melakukan verifikasi ulang pencalonan Dharma-Kun.
”Seharusnya kemarin verifikasi faktual sebagai syarat pencalonan dari Dharma-Kun itu harus diulang. Sekarang, dampaknya pencalonan mereka tidak legitimate karena proses pengumpulan syarat-syarat dukungannya secara ilegal,” ungkapnya.
Bawaslu seharusnya bisa merekomendasikan kepada KPU Jakarta untuk melakukan verifikasi ulang pencalonan Dharma-Kun.
Koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Elsam, dan sebagainya pun sudah melakukan somasi kepada KPU, tetapi tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ia pun berencana melaporkan kembali kasus ini, baik secara etik maupun pidana.
Harus peroleh izin subyek data
Guru Besar Hukum Pelindungan Data Pribadi Universitas Padjajaran Sinta Dewi Rosadi berpandangan, pemrosesan data pribadi harus mendapatkan persetujuan dari subyek data. Tanpa ada izin dari subyek data bisa disebut hal itu adalah perbuatan melawan hukum yang diatur di Pasal 65 UU PDP.
”Jadi, sebetulnya itu (pencatutan KTP untuk dukungan calon independen), sudah bisa dianggap kriminal atau pidana,” kata Sinta.
Jika memang pencatutan data pribadi itu telah merugikan banyak orang, hal itu harus ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Apalagi, jika subyek hukum merasa sudah dirugikan dari pencatutan itu. Namun, jika jumlah kebocoran datanya tidak masif atau dalam skala besar, menurutnya, aparat penegak hukum bisa melakukan mediasi seperti mencabut dukungan dari paslon gubernur dan wakil gubernur tersebut.
”UU PDP lebih bersifat pada pencegahan kebocoran data pribadi sehingga jika aparat penegak hukum tidak mau direpotkan dengan berbagai macam tuntutan, bisa ditempuh langkah mediasi dulu,” katanya.
Selain bisa mencabut dukungannya kepada paslon Dharma-Kun, pihak yang merasa KTP-nya dicatut juga bisa menuntut ganti rugi apabila merasa telah dirugikan atas kejadian tersebut. Hal itu diatur di Pasal 12 UU PDP.
Kasus pencatutan KTP itu membuat pencalonan Dharma-Kun tidak legitimate karena ada pelanggaran hukum di dalamnya.
Sinta juga mengungkapkan pandangan senada dengan Paramasura bahwa kasus pencatutan KTP itu membuat pencalonan Dharma-Kun tidak legitimate karena ada pelanggaran hukum di dalamnya. Jika kasus ini tidak diproses hukum, ia khawatir akan semakin banyak pelanggaran karena tidak ada efek jera. Orang bisa seenaknya memanfaatkan data pribadi orang lain.
”Harus ada pembelajaran kepada masyarakat bahwa dengan adanya Undang-undang PDP ini kita tidak bisa lagi seenaknya,” katanya.