Publik Marah dengan Revisi UU Pilkada: ”Kami Dianggap Bodoh”
Ada standar ganda yang diberlakukan oleh parpol di parlemen dalam menindaklanjuti putusan MK.
Oleh
IQBAL BASYARI
·4 menit baca
Manuver cepat yang dilakukan DPR dan Pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah pasca-putusan Mahkamah Konstitusi menuai reaksi keras dari publik. Berbagai elemen masyarakat di sejumlah daerah menggelar demonstrasi untuk menolak revisi RUU Pilkada yang akan disahkan di Rapat Paripurna DPR, Kamis (22/8/2024).
Penolakan itu tak lepas dari intrik yang dilakukan legislatif dan eksekutif yang ingin menghidupkan kembali ketentuan ambang batas pencalonan kepala daerah yang diatur di Pasal 40 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Padahal, ambang batas pencalonan sebesar 20 persen kursi atau 25 persen suara sah dari parpol pemilik kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (20/8/2024).
Dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang dimohonkan oleh Partai Buruh dan Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), MK membuat norma baru tentang ambang batas pencalonan kepala daerah. Untuk mengajukan pasangan kepala daerah, parpol atau gabungan parpol peserta pemilu harus harus memperoleh suara sah berkisar 6,5-10 persen, bergantung pada jumlah daftar pemilih tetap di daerah tersebut.
Namun, kurang dari 24 jam sejak putusan dibacakan, Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) langsung mengadakan rapat untuk membahas revisi UU Pilkada, Rabu (21/8/2024). Hasilnya, hanya dalam waktu sekitar tujuh jam, delapan fraksi di DPR serta pemerintah sepakat terhadap materi merevisi UU Pilkada. Hanya Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menyatakan tidak sependapat.
Dalam revisi UU Pilkada yang akan disahkan ke paripurna, Baleg DPR memang memasukkan norma soal ambang batas pencalonan kepala daerah sesuai putusan MK. Namun, aturan itu hanya diberlakukan untuk parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD. Sementara bagi parpol yang memiliki kursi di DPRD tetap menggunakan ketentuan pasal ambang batas yang telah dinyatakan inkonstitusional.
”Baleg DPR penakut. Ngapain dia ngurus-ngurusin tafsir terhadap putusan MK. Kalau memang berani, ikuti saja putusan MK, kan nanti rakyat yang akan memilih,” ujar Presiden Partai Buruh Said Iqbal dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertajuk ”Ambang Batas Pilkada Diubah, Siapa Jadi Gerah?” di Kompas TV, Rabu (21/8/2024) malam.
Dalam acara yang dipandu wartawan senior Budiman Tanuredjo itu, hadir pula sebagai narasumber Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Gerindra Hendarsam Marantoko, mantan Hakim Mahkamah Konstitusi Maruarar Siahaan, pengajar Hukum Tata Negara di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti, serta pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia Titi Anggraini.
Menurut Said Iqbal, revisi kilat yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang menunjukkan ada kekhawatiran terhadap kontestasi Pilkada 2024 mendatang. Elite parpol yang ingin mengembalikan lagi syarat ambang batas pencalonan kepala daerah sesuai ketentuan awal khawatir kandidat yang telah diusung kalah dalam pilkada.
Hal itu lantaran peluang untuk menambah jumlah kontestan semakin besar seiring syarat ambang batas pencalonan yang diturunkan. Terlebih, sejumlah tokoh yang punya elektabilitas tinggi masih belum dapat diusung karena parpol pendukung tak mencukupi syarat 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah sebagai syarat pencalonan.
Menurut Hendarsam, putusan MK telah melampaui apa yang dimohonkan atau ultra petita. Permohonan dari Partai Buruh dan Gelora hanya berkaitan dengan hak parpol yang tidak memiliki kursi DPRD agar dapat mengusung calon kepala daerah. Namun, MK justru mengatur ambang batas yang berlaku pada parpol pemilik kursi DPRD. Bahkan, ambang batas kepada seluruh parpol disamakan dengan angka yang jauh lebih rendah.
Di sisi lain, MK juga dinilai terlalu ikut campur dengan kontestasi Pilkada 2024. Sebab dalam pertimbangannya, MK turut melihat potensi munculnya calon tunggal. Apalagi, putusan itu dibacakan seminggu sebelum pendaftaran bakal pasangan calon kepala daerah ketika sudah muncul potensi calon tunggal di beberapa daerah.
”Norma yang diputus MK ada yang menunggangi karena ada atau tidaknya kotak kosong bukan urusan MK untuk mencampuri. Bahkan, di pilkada-pilkada sebelumnya juga sudah ada,” kata Hendarsam.
Menurut Titi, materi revisi UU Pilkada secara terang benderang tidak mengindahkan putusan MK. Dalih bahwa revisi dilakukan untuk mengakomodir putusan MK juga tidak benar. Sebab, pasal yang direvisi justru bertentangan dengan putusan dan pertimbangan MK.
Di sisi lain, revisi UU Pilkada hanya terkait pasal-pasal yang dianggap penting bagi elite parpol. Revisi lebih berfokus mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah. Padahal, ada putusan MK Nomor 69/PUU-XXII/2024 yang menghapus larangan kampanye pilkada di kampus.
”Mengapa tidak ada pembicaraan soal itu dalam rapat Baleg? Karena memang orientasinya jelas, ada kepentingan yang terganggu dan itu kepentingan dari mayoritas partai di parlemen,” ucap Titi.
Lebih jauh, pengaturan ambang batas 6,5-10 persen untuk parpol yang tidak punya kursi DPRD akan sangat sulit dilaksanakan. Sebab, gabungan parpol yang tidak punya kursi tidak akan mampu memenuhi 10 persen suara. Lagi pula, tidak diatur ketentuan bagi parpol pemilik kursi dengan parpol yang tidak punya kursi apabila ingin berkoalisi.”Ini menunjukkan bahwa intensi untuk tidak melaksanakan putusan MK sangat terlihat,” tuturnya.
Menurut Titi, ada standar ganda yang diberlakukan oleh parpol di parlemen dalam menindaklanjuti putusan MK. Sebagian putusan ultra petita, seperti terkait verifikasi parpol, syarat usia calon presiden dan wakil presiden diterima dengan senang hati. Bahkan, mereka tidak merevisi Undang-Undang Pemilu pasca-putusan MK karena memahami bahwa putusan bisa langsung dilaksanakan tanpa harus merevisi undang-undang.
Sementara terkait ambang batas pencalonan kepala daerah dan penghitungan syarat usia calon kepala daerah, DPR dan Pemerintah cenderung reaktif. Revisi dilakukan dengan menghidupkan kembali pasal yang inkonstitusional sesuai dengan kepentingan mereka masing-masing.
”Sebagai pengajar hukum pemilu, saya kehilangan motivasi untuk mengajarkan prinsip dan asas pemilu bebas adil. Karena, apa yang dipertontonkan oleh Baleg DPR membuat publik menjadi tidak percaya soal moralitas hukum, soal bagaimana hukum harus ditegakkan dalam bingkai rule of law,” kata Titi.
Menurut Bivitri, DPR dan pemerintah telah melakukan pembangkangan konstitusi. Sebab, setelah putusan MK dibacakan, norma tersebut langsung berlaku. Juga tidak ada ketentuan lain dalam putusan tersebut sehingga tidak boleh ditafsirkan secara berbeda, apalagi diputarbalikan. Putusan MK itu juga tidak perlu ditindaklanjuti dengan merevisi undang-undang, layaknya putusan soal syarat usia calon presiden-wakil presiden.
”Yang akhirnya memunculkan kemarahan publik sebenarnya adalah, kami dianggap seperti bodoh semua. Seenaknya aturan dan akal sehat diputar-balikkan. Itu kan seperti menganggap warga bodoh-bodoh sehingga membuat publik sakit hati dan banyak orang yang marah,” ucapnya.
Maruarar mengatakan, MK dibentuk untuk mengawal konstitusi yang menjadi sumber dari keabsahan seluruh kebijakan ataupun peraturan legislasi. Jika ada aturan yang bertentangan, sudah menjadi tugas MK untuk meluruskan kembali sesuai dengan ukuran konstitusi.
Keberadaan MK juga menjadi bentuk check and balance terhadap pembentuk undang-undang agar tidak ada yang bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, seluruh pihak harus terus mengingatkan apabila produk hukum pembentuk undang-undang melenceng dari konstitusi.
”Kalau ada suatu sikap hendak mengesampingkan prinsip demokrasi, maka tugas MK harus mengembalikan demokrasi,” ucap Maruarar.