Digagas, Koalisi Besar ”KIM Plus” untuk Pilkada Jakarta
Gagasan membentuk koalisi besar di Pilkada Jakarta ditengarai untuk mewujudkan kontestasi yang hanya diikuti satu calon.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah partai politik menggagas pembentukan koalisi besar untuk menghadapi Pemilihan Kepala Daerah Jakarta. Koalisi besar untuk mengusung satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur dinilai relevan dengan kebutuhan pembangunan Jakarta yang memerlukan kolaborasi antarpartai. Tren pembentukan koalisi besar ditengarai bakal diterapkan di banyak daerah dan bisa membahayakan demokrasi.
Gagasan pembentukan koalisi besar di Pilkada Jakarta awalnya dikemukakan Ketua Harian Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad. Menurut dia, partai-partai politik Koalisi Indonesia Maju (KIM) pengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pilpres 2024 akan kembali bekerja sama di Pilkada Jakarta. KIM terdiri dari Partai Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, PBB, Gelora, dan Garuda.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Koalisi besar itu nantinya tidak hanya beranggotakan partai-partai KIM, tetapi juga di luar koalisi pengusung Prabowo-Gibran.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Dito Ariotedjo membenarkan, wacana pembentukan koalisi besar yang kerap disebut KIM Plus itu juga telah disampaikan ke sejumlah parpol lainnya. Salah satunya saat perayaan Hari Lahir Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pada Juli lalu.
Ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (2/8/2024), Wakil Ketua Umum PKB Jazilul Fawaid mengaku telah berkomunikasi dengan partai-partai KIM dan mendukung gagasan pembentukan koalisi besar. Ia pun menginterpretasikan ide tersebut sebagai rencana untuk membentuk satu poros koalisi yang hanya akan mengusung satu pasangan kandidat gubernur dan wakil gubernur Jakarta.
”PKB akan mempertimbangkan (membentuk satu poros koalisi), untuk kebaikan Jakarta, kebaikan Indonesia,” ungkap Jazilul.
Menurut dia, langkah politik itu relevan untuk diterapkan di Jakarta. Sebab, pembangunan di Jakarta membutuhkan kolaborasi antarparpol.
Selain itu, jika kolaborasi telah terbentuk di Jakarta, dirinya meyakini bahwa hal yang sama bakal terwujud di tingkat nasional. Dalam konteks tersebut, tidak bisa dimungkiri, kompetisi antarcalon kepala daerah tidak akan terjadi.
Sejauh ini, Dewan Pengurus Pusat (DPP) PKB belum memberikan dukungan resmi kepada bakal calon gubernur Jakarta. Namun, Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKB telah menyampaikan aspirasi agar parpol pimpinan Muhaimin Iskandar itu memberikan rekomendasi kepada mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan.
Selain dari DPW PKB, Anies telah didukung secara resmi oleh PKS dan Partai Nasdem. Jika diakumulasi, dukungan dari PKS dan Nasdem sudah cukup untuk memenuhi syarat pencalonan di Pilkada Jakarta. Kedua parpol itu menguasai 29 kursi DPRD Provinsi Jakarta, di atas syarat minimal pencalonan gubernur dan wakil gubernur Jakarta sebanyak 22 kursi.
Namun, hingga saat ini komunikasi untuk menambah dukungan kepada Anies masih dilakukan.
Di luar Anies, partai-partai politik anggota KIM sempat mewacanakan beberapa tokoh lain, misalnya mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, pengusaha jalan tol Jusuf Hamka, dan Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep. Namun, hingga saat ini, parpol KIM masih menimang-nimang kandidat yang akan diusung di Pilkada Jakarta sembari mewacanakan pembentukan koalisi besar.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani mengatakan, Pilkada Jakarta memiliki karakteristik tersendiri. Kompleksitas variabel dan tarik-menarik kepentingan antarparpol membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih lama dibandingkan di daerah-daerah lainnya. Demokrat, sebagai bagian dari KIM, pun masih menunggu dan berkomitmen untuk menyelaraskan langkah dengan koalisi tersebut.
”Secara empiris, Pilgub Jakarta senantiasa ada elemen kejutan. Jadi, kami masih terus mencermati secara cermat dan seksama dinamika yang berkembang,” ujar Kamhar.
PKS-Nasdem bersama
Dihubungi terpisah, Ketua DPP PKS Ahmad Mabruri mengatakan, pihaknya tidak pernah berkomunikasi dengan parpol-parpol KIM terkait pembentukan satu poros koalisi. PKS fokus berkomunikasi dengan sesama parpol yang mendukung Anies, misalnya, Nasdem dan PKB. Bagi parpol peraih kursi terbanyak di DPRD Jakarta itu, koalisi dengan Nasdem dan PKS sudah cukup karena telah memenuhi syarat pengajuan calon di Pilkada Jakarta.
Ia melanjutkan, PKS juga terus memastikan agar langkah Anies maju di Pilkada Jakarta tetap terbuka. Hal ini terkait dengan beredarnya rumor bahwa Nasdem berpotensi membatalkan dukungan kepada Anies. ”Kami sudah konfirmasi ke pimpinan Nasdem. Insya Allah tetap bersama Anies,” kata Mabruri.
Menurut dia, kontestasi Pilkada Jakarta akan lebih baik jika diikuti oleh tiga pasangan kandidat. Keberadaan banyak pasangan merupakan sinyal baik bagi demokrasi karena memberikan alternatif bagi warga untuk menentukan pilihannya.
”Minimal dari KIM satu pasangan, PDI-P satu pasangan, dan pasangan AMAN (Anies-Sohibul Iman),” ujarnya.
Tak hanya Jakarta
Direktur Eksekutif Algoritma Research and Consulting Aditya Perdana menduga, fenomena pembentukan satu poros koalisi bakal terjadi di sejumlah daerah, tak hanya di Jakarta. Sebab, parpol cenderung mengincar kemenangan instan dengan cara membentuk koalisi besar yang menghimpun seluruh kekuatan politik. Oleh karena itu, pemungutan suara saat pilkada akan menjadi sekadar formalitas dan mengganggu praktik demokrasi lokal.
Dalam konteks Jakarta, menurut dia, tendensi untuk mewujudkan pertarungan tanpa lawan itu memang sudah bisa terendus. Saat ini, parpol-parpol pun sudah mulai saling melobi dan bertransaksi untuk merealisasikannya. ”Sebenarnya demokrasi kita mau dibawa ke mana, kan, tidak sehat. Masyarakat seolah dipaksa memilih pasangan yang sudah ditentukan elite partai politik,” ujar Aditya.
Fenomena pembentukan satu poros koalisi bakal terjadi di sejumlah daerah, tak hanya di Jakarta. Sebab, parpol cenderung mengincar kemenangan instan dengan cara membentuk koalisi besar.
Pengajar Ilmu Politik di Universitas Indonesia itu pun melihat, publik saat ini cenderung hanya menjadi penonton dalam praktik demokrasi elektoral. Proses pendidikan politik mengalami kemunduran dan lebih parah di ranah politik lokal. Sebab, parpol cenderung kian pragmatis dan mengupayakan terjadinya praktik politik transaksional.
Pembentukan koalisi besar KIM Plus sebenarnya sudah terlihat dalam Pilgub Banten. Sejumlah partai KIM ditambah Nasdem dan PKS berkoalisi untuk mengusung pasangan Andra Soni-Ahmad Dimyati Natakusumah.
Andra Soni merupakan Ketua DPD Partai Gerindra Banten yang kini menjabat sebagai Ketua DPRD Banten. Sementara Dimyati Natakusumah adalah mantan Bupati Pandeglang yang kini merupakan anggota Fraksi PKS DPR.
Pasangan Andra-Dimyati pertama kali mendapatkan rekomendasi dari Partai Gerindra. Deklarasi dukungan Andra-Dimyati di Tangerang Selatan, Banten, 30 Juni 2024, dihadiri oleh perwakilan PKS, Partai Nasdem, PSI, dan PAN.
Sejauh ini, Andra-Dimyati telah mengantongi rekomendasi pengusungan dari pengurus tingkat pusat Gerindra, Demokrat, PSI, PKS, dan Nasdem. DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga disebut bakal memberikan rekomendasi dukungan kepada pasangan ini.
Sementara itu, lawan politiknya, Airin Rachmi Diany, baru mendapatkan rekomendasi dukungan dari Partai Golkar. Padahal, partai pimpinan Airlangga Hartarto itu tidak bisa mengusung sendiri kandidat di Pilgub Banten karena hanya menguasai 14 persen kursi DPRD Banten.