JAKARTA, KOMPAS — Partai Demokrat menilai Komisi Pemilihan Umum tidak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi terkait sengketa hasil Pemilu Legislatif 2024. Partai pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono itu pun memutuskan untuk menggugat hasil tindak lanjut putusan MK untuk pemilihan anggota DPR dari Daerah Pemilihan Banten II. Gugatan itu mengakibatkan KPU belum dapat menetapkan perolehan kursi dan calon anggota DPR terpilih.
Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (31/7/2024) pukul 19.00, ada tujuh gugatan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) yang terdaftar. Salah satu gugatan diajukan oleh Partai Demokrat untuk hasil pemilihan anggota DPR Dapil Banten II.
Sementara itu, enam perkara lainnya merupakan sengketa hasil untuk tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota. Salah satu gugatan yakni diajukan Partai Nasdem untuk hasil pemilu anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta Dapil DKI Jakarta II. Adapun putusan MK yang dikabulkan dan telah ditindaklanjuti sebanyak 44 perkara.
Deputi Badan Pemenangan Pemilu Partai Demokrat Andi Nurpati mengungkapkan, gugatan diajukan karena KPU tidak menindaklanjuti putusan MK dengan benar. MK memerintahkan agar KPU melakukan penyandingan suara antara C.Hasil dari tempat pemungutan suara (TPS) dengan D.Hasil dari rekapitulasi suara tingkat kecamatan di Dapil Banten II.
Namun, pada pelaksanannya, KPU tidak menyandingkan suara dari semua TPS yang diperintahkan MK. Dari 125 TPS, KPU hanya menyandingkan suara di 105 TPS. Sedangkan di 20 TPS, KPU justru melaksanakan penghitungan ulang surat suara. Alasannya, C.Hasil di 20 TPS hilang. Bahkan, segel di 20 kotak suara yang dilakukan penghitungan ulang surat suara juga tidak steril.
”Saksi kami sempat memprotes kenapa tidak menyandingkan C.Hasil dengan yang dimiliki partai, kan semua partai punya C.Hasil salinan, tetapi tidak digubris,” ujar Andi Nurpati di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (31/7/2024).
Adapun perolehan suara Demokrat di Dapil Banten II setelah pelaksanaan putusan MK sebanyak 142.129 suara. Sementara kursi terakhir di dapil tersebut kemungkinan tetap diperoleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang mendapatkan 142.154 suara. Dengan demikian, selisih perolehan suara di antara kedua parpol hanya 25 suara.
Gugatan diajukan karena KPU tidak menindaklanjuti putusan MK dengan benar.
Jika nantinya MK mengabulkan gugatan yang diajukan Demokrat dan terjadi perubahan suara secara signifikan, kursi terakhir yang kemungkinan diperoleh PDI-P akan beralih ke Demokrat.
Andi melanjutkan, gugatan ke MK hanya terkait hasil perolehan suara di 20 TPS yang tidak sesuai dengan perintah MK. Gugatan itu dinilai sangat signifikan mengubah perolehan kursi karena selisih suara 25. Demokrat optimistis MK akan mengabulkan gugatan karena ada bukti yang kuat.
Koordinator Juru Bicara Demokrat Herzaky Mahendra Putra menambahkan, KPU tidak patuh terhadap putusan MK. Menurut dia, ada kejanggalan yang dilakukan jajaran KPU mulai tingkat kabupaten/kota hingga KPU RI terhadap tindak lanjut putusan MK tersebut. Apalagi, formulir C.Hasil yang disebut hilang sempat ditunjukkan saat sidang PHPU di MK.
Menurut dia, gugatan ke MK akan terus dilakukan jika KPU tidak menjalankan tindak lanjut sesuai perintah MK. Oleh karena itu, Demokrat meminta seluruh jajaran KPU patuh melaksanakan putusan yang diperintahkan.
”Kalau kinerja KPU seperti ini, maka bisa muncul ketidakpercayaan publik terhadap hasil pemilu,” kata Herzaky.
Segera diputus
Selain Demokrat, salah satu perkara lain yang masuk ke MK adalah gugatan sengketa hasil pemilihan anggota DPRD DKI Jakarta. Wakil Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Dedy Ramanta mengatakan, KPU tidak melaksanakan rekapitulasi ulang sesuai tenggat yang ditetapkan MK, yakni maksimal 15 hari sejak putusan dibacakan. KPU baru melaksanakan rekapitulasi ulang setelah tenggat maksimal 15 hari tersebut.
Nasdem berharap MK bisa segera memutus perkara ini secepatnya. Sebab, perolehan kursi perlu segera ditetapkan sebagai dasar untuk mengusung calon kepala daerah di Pilkada 2024. Terlebih, masa pendaftaran akan dimulai pada 27-29 Agustus mendatang.
Hakim MK, Enny Nurbainingsih, mengatakan, MK tidak boleh menolak perkara PHPU yang telah diajukan. Kedua perkara tersebut akan diputus sebagaimana layaknya perkara yang masuk ke MK. Perkara itu nantinya akan segera dibawa ke rapat permusyawaratan hakim.
”Besar kemungkinan dipercepat sehingga tidak menghambat pelantikan,” tutur Enny.
Wajar
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengatakan, permohonan Demokrat tersebut wajar diajukan karena KPU tidak melakukan penyandingan data berbasis C.Hasil. Apalagi, dalih dokumen hilang menimbulkan keraguan yang lebih besar terkait integritas hasil pemilu di Dapil Banten II.
”Hal tersebut jadi beralasan untuk dipersoalkan di MK. C.Hasil yang hilang jelas mengindikasikan kejanggalan dan potensi manipulasi dalam pemilu,” kata Titi.
Menurut Titi, penyelenggara pemilu harus mempertanggungjawabkan soal hilangnya C.Hasil tersebut. KPU mesti melakukan pemeriksaan internal untuk mengetahui penyebab hilangnya dokumen dan pihak yang bertanggung jawab. Peristiwa itu juga dibawa ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) agar ada penegakan etika kepada penyelenggara pemilu yang melakukan pelanggaran.
Di sisi lain, Titi mengingatkan agar KPU dan Bawaslu tidak berlaku curang dalam menindaklanjuti seluruh putusan MK. Sebab, ada kemungkinan tindak lanjut putusan MK akan kembali digugat jika ada penyimpangan dalam pelaksanaannya.
”Kredibilitas serta integritas KPU dan Bawaslu sungguh-sungguh diuji dalam perkara ini. Semestinya KPU juga lakukan audit dan pemeriksaan internal atas hilangnya dokumen C.Hasil dan memberikan sanksi tegas kepada pihak-pihak yang teribat. Bukannya membiarkan dan mengabaikan adanya fakta tersebut,” ucap Titi.