Survei Indikator: Anies, Ahok, dan Kamil Paling Diminati di Pilkada Jakarta
Indikator Politik memotret, Anies, Ahok, dan Kamil tak hanya memiliki elektabilitas tinggi, tetapi juga pemilih fanatik.
Oleh
KURNIA YUNITA RAHAYU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebulan sebelum tahap pendaftaran peserta Pemilihan Kepala Daerah 2024 dibuka, mayoritas warga Jakarta sudah menetapkan pilihan kepada Anies Rasyid Baswedan, Basuki Tjahaja Purnama, dan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur. Kuatnya dukungan kepada ketiga tokoh itu berdampak pada tidak adanya pengaruh signifikan secara elektoral dari siapa pun tokoh yang akan dipasangkan.
Pilihan warga Jakarta terhadap tiga nama calon gubernur (cagub) DKI Jakarta 2024 terekam dalam survei Indikator Politik Indonesia yang digelar pada 18-26 Juni 2024. Survei dilakukan terhadap 800 responden yang diwawancarai secara tatap muka. Adapun margin of error survei sebesar 3,5 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi dalam jumpa pers secara daring, Kamis (25/7/2024), mengungkapkan, pilihan warga Jakarta pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 sudah mengerucut pada tiga sosok. Ketiga sosok dimaksud adalah mantan Gubernur DKI Jakarta yang juga calon presiden 2024 Anies Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil.
Indikator Politik Indonesia juga memotret, ketiga tokoh itu sudah memiliki pemilih fanatik (strong voters) yang sudah jelas bakal memilih mereka kendati pemilihan gubernur masih akan digelar pada November mendatang.
Keberadaan strong voters itu terlihat dari tingginya keterpilihan Anies (39,7 persen), Ahok (23,8 persen), dan Kamil (13,1 persen) dalam simulasi top of mind atau pilihan bebas kandidat gubernur yang diinginkan. Di luar tiga sosok itu, ada 21 tokoh lain yang elektabilitas seluruhnya di bawah 2 persen.
Tak hanya pada simulasi top of mind, Anies, Ahok, dan Kamil juga konsisten berada di tiga besar dengan posisi berurutan pada simulasi 40 nama, 16 nama, 11 nama, 9 nama, hingga 4 nama. Saat ketiganya disimulasikan, urutan keterpilihan pun tidak berubah. Anies memimpin dengan elektabilitas 43,8 persen, diikuti Ahok (32,1 persen) dan Kamil (18,9 persen).
”Dengan data seperti ini, saya berani mengatakan bahwa kemungkinan munculnya kuda hitam dari tiga nama teratas ini sangat kecil, karena pilihan warga sudah sedemikian mengerucut,” kata Burhanuddin.
Kuatnya dukungan warga terhadap Anies, Ahok, dan Kamil juga terlihat saat ketiganya disimulasikan berpasangan dengan sejumlah tokoh yang sempat diwacanakan sejumlah partai politik untuk menjadi calon pendamping mereka. Sejumlah tokoh itu di antaranya adalah Wakil Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman, mantan Panglima TNI Andika Perkasa, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Budisatrio Djiwandono, serta Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Dari banyak nama calon pasangan itu, tidak ada yang mampu menambah elektabilitas Anies, Ahok, ataupun Kamil secara signifikan.
”Artinya, konstelasi elektoral Jakarta sudah sangat mengerucut ke tiga nama itu. Jadi, siapa pun pasangannya itu belum dapat menambah suara. Penentuan calon wakil gubernur nanti benar-benar bergantung pada ijtihad para elite politik,” kata Burhanuddin.
Kelompok pemilih berbeda
Dalam pertarungan ketiga tokoh itu, kata Burhanuddin, elektabilitas Anies unggul signifikan ketimbang Ahok dan Kamil karena didukung oleh kelompok pemilih yang berbeda. Adapun Ahok dan Kamil memiliki pendukung dengan karakter yang relatif serupa, sehingga jika salah satunya dikeluarkan dari pertarungan, salah satu yang tersisa bakal mendapatkan limpahan suara terbesar.
Konstelasi elektoral Jakarta sudah sangat mengerucut ke tiga nama itu. Jadi, siapa pun pasangannya itu belum dapat menambah suara.
Contohnya, dalam simulasi yang menghadapkan Anies dengan Ahok, suara Ahok naik menjadi 42 persen dari 32,1 persen. Sementara jika Anies dihadapkan dengan Kamil, elektabilitas Kamil melejit dari 18,9 persen menjadi 38,8 persen.
”Ini menunjukkan, walaupun Ridwan Kamil ada di posisi ketiga, dia mampu menyerap suara Anies dan Ahok dengan lebih baik, karena dia dianggap lebih inklusif oleh warga Jakarta. Jika berhadapan dengan Anies, Ridwan Kamil juga lebih kompetitif ketimbang Ahok,” tutur Burhanuddin.
Meski memiliki bekal elektabilitas yang tinggi, belum ada satu pun di antara ketiga tokoh tersebut yang menjadi calon gubernur secara definitif. Anies memang sudah mendapatkan dukungan resmi dari PKS dan Partai Nasdem, tetapi belum ada kesepakatan paket pasangan cagub dan cawagub.
Sementara itu, Ahok yang merupakan Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan masih menjadi salah satu tokoh yang dipertimbangkan untuk diusung di Pilkada Jakarta oleh parpolnya. Begitu pula Kamil yang menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Golkar justru didorong oleh partainya untuk maju di Pilkada Jawa Barat.
Ketua DPP Partai Nasdem Willy Aditya yang turut hadir secara daring dalam acara tersebut mengatakan, hasil survei menunjukkan bahwa masih terjadi polarisasi yang tajam di tengah masyarakat karena pilihan politik di Jakarta. Pemilih yang mendukung Ahok dan Kamil merupakan orang-orang yang memang tidak menyukai Anies. Sebaliknya, pemilih Anies tidak menyukai Ahok dan Kamil. Hal ini merupakan pekerjaan rumah yang masih harus dibenahi karena pilkada semestinya bisa dilaksanakan secara riang gembira tanpa polarisasi.
Menurut Willy, persoalan itu akan menjadi bahan diskusi dengan partai-partai politik lain dalam menentukan bakal cawagub, khususnya bagi Anies. Bagi Nasdem, perbedaan ideologi dengan tokoh yang bakal menjadi bakal cawagub pendamping Anies bukanlah persoalan berarti. Sebab, hal yang perlu diprioritaskan adalah tujuan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menciptakan kontestasi yang tak menimbulkan polarisasi.
”Bagaimana kita berkontestasi tanpa kebencian, itu hal yang penting,” ujar Willy.
Upaya untuk mewujudkan kontestasi tanpa polarisasi, lanjut Willy, sudah pernah dilakukan Nasdem bersama PKB dan PKS para Pilpres 2024 lalu. Langkah memasangkan Anies dengan Muhaimin Iskandar merupakan eksperimen yang berhasil menghentikan polarisasi seperti yang terjadi pada Pilpres 2019.
”Political exercise ini penting, jangan hanya memikirkan menang dan kalah, karena masyarakat itu, kan, juga subyek yang hidup. Bagaimana (mewujudkan) masyarakat yang beradab dari masa ke masa, itu jadi catatan kita bersama,” tuturnya.
Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Cheryl Tanzil sepakat, Pilkada Jakarta tidak boleh kembali membelah masyarakat karena pilihan politik. Oleh karena itu, ia pun menyambut baik kehadiran tokoh yang bisa diterima oleh berbagai ceruk pemilih, contohnya Kamil. Namun, pihaknya hingga saat ini belum memutuskan dukungan kepada salah satu tokoh untuk maju di Pilkada Jakarta.
Cheryl tidak memungkiri, Ketua Umum PSI Kaesang Pangarep juga sempat diwacanakan oleh parpol-parpol lain untuk maju sebagai calon gubernur atau wakil gubernur Jakarta. Akan tetapi, hingga saat ini putra Presiden Joko Widodo itu belum menentukan sikap apakah akan mengikuti pilkada dan di daerah mana. Tingkat elektabilitas Kaesang di Jakarta juga masih jauh jika dibandingkan dengan Anies, Ahok, dan Kamil.
”Kita harus akui bahwa dia (Kaesang) itu wajah baru dalam politik. Namun, paling tidak, masuk 10 besar top of mind itu juga sesuatu banget. Untuk anak muda, belia, dan sempat dicibir saat masuk PSI, itu sesuatu,” kata Cheryl.