Ada sejumlah pelanggaran kampanye dalam pemilu tidak dapat ditindak hukum karena kekosongan atau ketidakjelasan aturan.
Oleh
DENTY PIAWAI NASTITIE
·3 menit baca
Sejumlah pelanggaran kampanye dalam Pemilihan Umum 2024 diprediksi akan kembali terulang dalam pemilihan kepala daerah. Pelanggaran-pelanggaran itu terjadi dan disengaja karena adanya ketidakjelasan aturan dan definisi kampanye. Menjelang pilkada, Komisi Pemilihan Umum diharapkan dapat merevisi aturan sosialisasi dan kampanye.
Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat Nurlia Dian Paramita mengatakan, terdapat sejumlah pelanggaran kampanye dalam pemilu yang tidak dapat ditindak hukum karena kekosongan atau ketidakjelasan aturan kampanye.
Misalnya, menjelang Pemilu 2024 terdapat deklarasi dukungan dari organisasi perangkat desa kepada pasangan calon presiden-calon wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
”Ini jelas-jelas melanggar, tetapi kemudian instrumen negara yang digerakkan untuk mendukung paslon dianggap tidak melanggar aturan dengan alasan belum memasuki masa kampanye,” kata Nurlia dalam diskusi daring bertajuk ”Urgensi Perbaikan Aturan Kampanye Menuju Pilkada 2024” yang diselenggarakan oleh The Indonesian Institute, Kamis (27/6/2024).
Hadir pula sebagai pembicara, peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Felia Primaresti, serta Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono.
Nurlia mengatakan, selama Pemilu 2024 terdapat praktik kampanye yang tidak mencerminkan nilai-nilai demokrasi. Aktivitas Gibran, calon wakil presiden yang merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo, membagikan susu di lokasi car free day, misalnya, dinilai curang karena dilakukan sebelum dimulainya masa kampanye.
Namun, oleh Badan Pengawas Pemilu, aktivitas Gibran dinyatakan tidak melanggar aturan kampanye karena dalam aktivitasnya tidak menunjukkan citra diri berupa logo dan nomor urut. “Secara substansi, tindakan Gibran itu memengaruhi pemilih. Sempitnya definisi kampanye membuat aktivitas dinilai tidak memenuhi unsur pelanggaran,“ ujar Nurlia.
Menurut dia, pelanggaran-pelanggaran kampanye dalam Pemilu 2024 kemungkinan besar akan kembali terulang di pilkada. Apalagi, pilkada dilaksanakan pada tahun yang sama dengan pemilu sehingga duplikasi pelanggaran—seperti penyalahgunaan kekuasaan, netralitas aparatur sipil negara (ASN), kampanye di luar jadwal, dan politik uang—sangat mungkin terjadi.
Nurlia mengusulkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat merevisi aturan dan definisi kampanye. Tanpa adanya aturan dan definisi yang jelas, termasuk untuk membedakan aktivitas sosialisasi dan kampanye, maka pelanggaran kampanye akan terus terjadi dan sulit ditindak oleh Badan Pengawas Pemilu sekalipun masyarakat sudah melapor.
Manajer Riset dan Program The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono mengatakan, ada beberapa potensi pelanggaran kampanye dalam pilkada, yaitu penggunaan perangkat birokrasi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat desa untuk mendukung pasangan calon tertentu.
Selain itu, terdapat aktivitas-aktivitas kampanye terselubung, hingga penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong melalui media sosial yang dapat memicu konflik di antara masyarakat.
Arfianto Purbolaksono mengatakan, Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilihan Umum punya banyak kelemahan karena ketidakjelasan definisi dan pengertian pada sejumlah istilah.
Misalnya, dalam Pasal 55 Ayat (1) dan (2) PKPU Nomor 15 Tahun 2023 disebutkan, peserta pemilu dapat melakukan kegiatan deklarasi atau konvensi, pentas seni, olahraga, bazar, perlombaan, dan/atau bakti sosial selama tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
”Kegiatan-kegiatan yang disebutkan dalam pasal itu bisa memunculkan multitafsir dalam praktik di lapangan. Misalnya, apakah harga-harga bazar sudah ditentukan? Jangan sampai ketika ada kegiatan bazar, yang terjadi justru bagi-bagi sembako. Ketidakjelasan ini menimbulkan pelanggaran,” kata Arfianto.
Peneliti Bidang Politik The Indonesian Institute, Felia Primaresti, mengatakan, ketidakjelasan aturan dan definisi kampanye dalam PKPU Nomor 15 Tahun 2023 terjadi karena minimnya partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan aturan. Partisipasi masyarakat pun belum maksimal.
Misalnya, kelompok disabilitas tidak dilibatkan dalam pembahasan aturan yang berkaitan dengan diri mereka sendiri. Selain itu, penyusunan aturan dilakukan secara tidak transparan dan akuntabel serta banyak sekali tahapan birokrasi yang menyulitkan KPU dalam merespons masukan dari masyarakat.
Saat dimintai tanggapan, Jumat (28/6/2024), anggota KPU, Idham Holik, menuturkan, pada prinsipnya KPU akan menyempurnakan aturan teknis yang dibutuhkan untuk memastikan pilkada yang lebih berkualitas atau berintegritas. Hal ini diawali dari legal drafting yang berorientasi pada prinsip berkepastian hukum sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 Ayat (2) huruf d Peraturan KPU Nomor 2 Tahun 2024.
Menurut Idham, ada perbedaan yang jelas antara pengertian kampanye dan sosialisasi. Bawaslu telah diberikan kewenangan atributif oleh UU Pilkada untuk melakukan pengawasan.
”Saya mengapresiasi Bawaslu memiliki kebijakan pengawasan partisipatif, di mana masyarakat atau pemilih pada umumnya dapat melaporkan dugaan pelanggaran aturan teknis kampanye pilkada oleh peserta pilkada dan tim kampanyenya,” ujar Idham.