Pulihkan Hak Korban, Komnas HAM Rekomendasikan Perpanjangan Keppres Tim PPHAM
Komnas HAM usulkan program penyelesaian nonyudisial korban pelanggaran HAM berat berlanjut meski keluarga korban tolak.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun ditolak oleh sebagian keluarga korban pelanggaran HAM berat, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tetap mengusulkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Nonyudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu atau PPHAM diperpanjang untuk keberlanjutan program pemulihan korban. Komnas HAM juga merekomendasikan agar program penyelesaian nonyudisial itu dikoordinasikan secara lebih baik untuk pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM berat.
Anggota Komnas HAM, Anis Hidayah, saat diwawancarai, Selasa (14/5/2024) di Jakarta, menuturkan, beberapa waktu lalu Komnas HAM sudah bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto. Salah satu rekomendasi yang disampaikan adalah soal keberlanjutan pemulihan hak bagi pelanggaran HAM berat. Komnas HAM mendorong agar keppres tersebut diperpanjang untuk memberikan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM berat.
“Kemarin, jangka waktu kinerja Tim PPHAM itu sangat pendek karena hanya sampai Desember 2023. Kami berharap itu bisa diperpanjang pemerintah sehingga menjadi harapan bagi korban yang selama puluhan tahun ini mengalami trauma yang sangat panjang dan kehilangan hak-hak dasar mereka seperti hak ekonomi, sosial budaya, dan diskriminasi selama bertahun-tahun,“ ujar Anis.
Sesuai dengan Pasal 12 Keppres No 17/2022, masa kerja Tim PPHAM mulai berlaku sejak September 2022 sampai Desember 2023. Setelah itu, kelanjutan program itu masih gelap, apalagi sejak pergantian menteri dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD ke Hadi Tjahjanto. Program tersebut dijalankan di era Menko Polhukam Mahfud MD 2019-2024.
“Kemarin, jangka waktu kinerja Tim PPHAM itu sangat pendek karena hanya sampai Desember 2023. Kami berharap itu bisa diperpanjang pemerintah sehingga menjadi harapan bagi korban yang selama puluhan tahun ini mengalami trauma yang sangat panjang dan kehilangan hak-hak dasar mereka. “
“Komnas HAM tidak hanya merekomendasikan agar program penyelesaian nonyudisial itu dikoordinasikan dengan lebih baik, tetapi juga bagaimana Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM tentang pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat itu juga digunakan pemerintah,“ kata Anis.
“Komnas HAM tidak hanya merekomendasikan agar program penyelesaian nonyudisial itu dikoordinasikan dengan lebih baik, tetapi juga bagaimana Standar Norma dan Pengaturan Komnas HAM tentang pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat itu juga digunakan pemerintah. “
Payung hukum baru
Mantan anggota Komnas HAM, yang tergabung dalam Tim Pemantau PPHAM Beka Ulung Hapsara, mengungkapkan, tim pemulihan korban dan pencegahan pelanggaran HAM berat seyogianya memang dilanjutkan lagi dengan payung hukum baru, yaitu keppres baru. Alasannya antara lain masih banyak korban yang menunggu kepastian pemulihan tersebut dilakukan oleh negara. Selain itu, masih ada inisiatif yang belum selesai dikerjakan pada tahun lalu, seperti pembangunan memorabilia Rumoh Geudong di Aceh dan pemberian layanan untuk korban 1965 di Palu, Sulawesi Tengah.
”Alasan lainnya mengapa keppres harus diperpanjang adalah memastikan komitmen presiden tahun lalu dijalankan sampai selesai, serta memberikan rekomendasi untuk pemerintahan selanjutnya,” katanya.
Sebelumnya diberitakan, Wakil Ketua Komnas HAM 2007-2012 Stanley Adi Prasetyo menyampaikan bahwa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat nonyudisial ditolak korban, organisasi korban, dan sejumlah lembaga karena upaya di luar hukum itu dinilai memelihara impunitas para pelaku, tidak sesuai dengan norma HAM, dan tidak memenuhi rasa keadilan para korban serta keluarga korban (Kompas.id, 13/5/2024).
”Alasan lainnya mengapa keppres harus diperpanjang adalah memastikan komitmen presiden tahun lalu dijalankan sampai selesai, serta memberikan rekomendasi untuk pemerintahan selanjutnya. ”
Hormati yang menolak
Beka mengungkapkan, pihaknya menghormati mereka yang menolak dengan alasan apa pun. Sebab, penyelesaian nonyudisial berfokus pada pemulihan korban dan upaya-upaya pencegahan supaya peristiwa yang sama tidak terulang kembali. Adapun, untuk pencegahan impunitas atau penyelesaian yudisial tetap menjadi ranah Komnas HAM, Jaksa Agung, dan Presiden.
”Sesuai SOP (prosedur standar operasi) penyelesaian pro yustisia di Komnas HAM memang pemeriksaan saksi-saksi, korban pelanggaran HAM berat itu memang dilakukan secara tertutup.”
Anis menambahkan, untuk penyelesaian yudisial atau penyelesaian hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat, pihaknya masih menyelidiki dua kasus, yaitu kasus pembunuhan aktivis HAM Munir dan satu kasus di Aceh. Keduanya masih dalam proses penyelidikan, yaitu pemanggilan saksi dan korban untuk didengar keterangannya. Ia menargetkan proses penyelidikan dua kasus itu bisa segera selesai tahun ini.
”Sesuai SOP (prosedur standar operasi) penyelesaian pro yustisia di Komnas HAM memang pemeriksaan saksi-saksi, korban pelanggaran HAM berat itu memang dilakukan secara tertutup,” katanya.
Dalam penyelidikan kedua perkara itu, beber Anies, komunikasi yang lebih baik dengan Kejaksaan Agung juga didorong dengan menandatangani nota kesepahaman (MOU). Ia berharap MOU itu bisa menjadi modal sosial untuk koordinasi yang lebih intensif antara penyelidik Komnas HAM dan penyidik di Kejagung. Ia berharap hal itu bisa menjadi pola baru sehingga ketika Komnas HAM selesai menyelidiki, berkasnya bisa ditindaklanjuti Kejagung hingga dilimpahkan ke pengadilan.