Kritik Pengamat soal Pemilu Serentak: Caleg Ambil Jalan Pintas
DPR harus ubah desain keserentakan sehingga pemilu bisa lebih sederhana dan mudah. Caleg tak ambil jalan pintas.
JAKARTA, KOMPAS — Digelarnya pemilu serentak secara nasional, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, menyisakan masalah yang begitu besar, rumit, dan kompleks. Pemilu serentak disarankan dikaji lebih mendalam dengan membagi dua tahap, yakni tingkat nasional dan daerah.
Dewan Perwakilan Rakyat juga diminta merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum karena sistem yang digunakan juga tidak optimal. Meski demikian, perubahan sistem pemilu tidak boleh dilakukan tergesa-gesa.
Menurut pengajar hukum pemilu dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, Pemilu 2024 yang saat ini masih menerapkan model keserentakan sulit untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas dan berorientasi pada politik gagasan. Dari sudut pandang pemilih, mereka telah kesulitan memahami prosedur teknis pemilihan legislatif dan kurang mengenali calon anggota legislatif, serta rentan pada politik uang.
Bahkan, para pemilih cenderung lebih fokus pada pemilihan presiden daripada pileg. Akibatnya, banyak caleg yang mengambil jalan pintas melakukan tindakan ilegal, yakni politik uang untuk membeli suara pemilih, bahkan menyogok penyelenggara untuk memastikan perolehan suara dan kursi.
”Digelarnya pemilu serentak secara nasional sejak 2019 dan Pemilu 2024 saat ini, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden serta kombinasi sistem proporsional terbuka, sangat tidak memadai dalam membentuk pemilih, penyelenggaraan, dan kualitas kompetisi pemilu yang kredibel,” ujar Titi saat dihubungi pada Minggu (24/3/2024).
Baca juga: Gugatan Sengketa Hasil Pemilu 2024 Lebih Banyak daripada Pemilu 2019
Menurut Titi, digelarnya pemilu serentak banyak sekali masalah yang muncul, mulai dari sisi teknis penyelenggaraan tahapan, seperti surat suara tertukar, logistik terlambat datang, salah hitung dan catat suara oleh para petugas TPS, hingga ratusan petugas yang meninggal karena kelelahan.
Hal ini harus dikoreksi serius oleh pembentuk undang-undang, yakni DPR. DPR harus melakukan perubahan desain keserentakan sehingga pemilu bisa lebih sederhana, murah, dan memudahkan pelaksanaan ataupun pengawasan.
Digelarnya pemilu serentak secara nasional sejak 2019 dan Pemilu 2024 saat ini, yakni pemilihan legislatif dan pemilihan presiden serta kombinasi sistem proporsional terbuka, sangat tidak memadai dalam membentuk pemilih, penyelenggaraan, dan kualitas kompetisi pemilu yang kredibel.
Titi melanjutkan, pemilu serentak bisa dibagi menjadi dua, yakni tingkat nasional dan daerah. Secara nasional meliputi pemilihan presiden dan pemilihan legislatif DPR/DPD. Selanjutnya, pemilihan legislatif untuk DPRD dapat digabungkan dengan pemilihan kepala daerah (pilkada) agar ada koherensi antara keterpilihan eksekutif dan legislatif di daerah.
”Secara prosedur, Pemilu 2024 banyak masalah dan catatan, apalagi dari sisi kualitas kompetisi dan representasi,” katanya.
Caleg terpilih
Belum lagi terkait pada posisi calon anggota legislatif terpilih. Meskipun caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak dalam penerapan sistem proporsional terbuka, kekuasaan partai politik tetap berpeluang menentukan keterpilihan mereka. Padahal, penerapan sistem pemilu dengan mekanisme proporsional terbuka bertujuan membangun kedekatan pemilih dengan anggota legislatifnya.
Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan dan menetapkan hasil perolehan suara setiap partai pada Rabu (20/3/2024). Proses selanjutnya yang akan dilakukan KPU ialah menentukan jumlah kursi dari setiap partai. Penentuan jumlah kursi akan berimplikasi pada jumlah kursi partai yang akan mendudukkan wakilnya di DPR dan nama caleg yang akan lolos sebagai anggota DPR.
Titi, yang juga pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), melihat dengan belum ditetapkannya jumlah kursi dan caleg yang lolos ke DPR, partai politik masih terbuka untuk mengutak-atik para caleg terpilih. Karena itu, pemilu di Indonesia dinilai sangat anomali.
Dalam sistem proporsional terbuka, tetapi kendali partai terhadap caleg masih sangat dominan dan hegemonik. Hal itu akibat pencalonan yang tidak dilakukan secara demokratis. Kaderisasi tidak berjalan dan rekrutmen partai lebih berorientasi pada perolehan kursi sebesar-besarnya sehingga mengabaikan eksistensi kaderisasi.
Misalnya minimal tiga tahun sebagai kader sebelum pendaftaran calon untuk calon anggota legislatif DPR, dan dua tahun untuk caleg DPRD.
Titi menyarankan harus ada persyaratan minimal sebagai kader untuk dapat menjadi calon anggota legislatif. Menurut Titi, hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi 114/PUU-XIX/2022 MK yang menyebutkan pencalonan dilakukan secara demokratis.
”Misalnya minimal tiga tahun sebagai kader sebelum pendaftaran calon untuk calon anggota legislatif DPR, dan dua tahun untuk caleg DPRD,” kata Titi.
Tak hanya, itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah menuntut perubahan penentuan ambang batas minimal parlemen 4 persen untuk pemilu selanjutnya. Titi menjelaskan, ambang batas parlemen telah membuat belasan juta suara pemilih terbuang sia-sia karena tidak bisa dihitung menjadi kursi. Hal itu merupakan problem dalam sistem pemilu proporsional yang dianut di Indonesia.
”Ke depan, pembentuk undang-undang harus mengevaluasi ambang batas untuk mencegah besarnya suara rakyat yang terbuang (wasted votes). Penyederhanaan partai bisa dilakukan tanpa menerapkan ambang batas yang tinggi,” kata Titi menambahkan.
Menurut Titi, harus ada terobosan pada pemilu ke depan. Namun, ia juga mengingatkan perubahan sistem pemilu tidak boleh dilakukan tergesa-gesa.
Panduan MK
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati sepakat sistem pemilu harus dievaluasi total. Evaluasi itu juga harus dilakukan dengan mendengarkan permasalahan yang dialami atau pengalaman dari para calon anggota legislatif.
”Bukan hanya masalah sistem pemilu proporsional terbuka atau tertutup, tetapi juga soal keserentakan pemilunya serta ambang batas parlemen hingga penyederhanaan partai politik,” katanya.
MK sudah membuat panduannya dan bisa diikuti oleh DPR. Ini harus menjadi prioritas.
Menurut Khoirunnisa, sudah ada beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang terkait dengan sistem pemilu. Meskipun MK tidak menentukan sistem pemilu yang seperti apa yang mesti diterapkan, MK telah membuat panduan yang bisa digunakan pembentuk undang-undang.
”MK sudah membuat panduannya dan bisa diikuti oleh DPR. Ini harus menjadi prioritas. Memang waktunya menuju Pemilu 2029 masih panjang, tetapi dari konteks revisi UU Pemilu waktunya cenderung singkat, mungkin hanya dua tahun, yakni 2024-2025,” ucapnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan, sebelum ada berbagai desakan, Komisi II sudah sejak awal sepakat untuk merevisi UU Pemilu agar lebih sempurna. Putusan MK soal ambang batas minimal parlemen kian menambah alasan untuk perbaikan aturan.
Menurut dia, waktu untuk merevisi UU Pemilu bakal lebih panjang apabila dikerjakan oleh anggota DPR periode yang baru. Meskipun begitu, kalau semua pemimpin partai politik dan pemerintah setuju, perubahan UU Pemilu bisa dilakukan pada akhir periode sekarang (Kompas.id, 20/3/2024).