Gugatan terhadap PKPU 23/2023 menambah ketidakpastian hukum dalam Pilpres 2024 setelah MK belum memutus pengujian ulang syarat capres-cawapres. Bagaimana lembaga peradilan harus bersikap?
Oleh
IQBAL BASYARI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun pasangan calon presiden dan wakil presiden telah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum, kontestasi Pilpres 2024 masih dibayangi ketidakpastian hukum. Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wapres digugat ke Mahkamah Agung. Sementara Mahkamah Konstitusi belum juga memutus pengujian ulang syarat capres-cawapres. Jika ada gugatan yang dikabulkan, hal itu berpotensi mengubah aturan main di tengah tahapan.
Ketua Tim Advokasi Amunisi Peduli Demokrasi Kurnia Saleh mengatakan, pihaknya telah mengajukan uji materiil Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 23 Tahun 2023 tentang Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden ke Mahkamah Agung (MA). Uji materiil didaftarkan pada Jumat (10/11/2023) atau tiga hari sebelum penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ia meminta MA membatalkan PKPU 23/2023, khususnya Pasal 13 Ayat (1) huruf q.
”Judicial review kami ke MA tidak dalam konteks mengoreksi PKPU 23/2023, tetapi untuk menguji apakah MA turut terlibat dalam pembusukan demokrasi,” ujarnya saat konferensi pers di Kantor Badan Pengawas Pemilu, Jakarta, Senin (13/11/2023).
Menurut Kurnia, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat calon presiden dan wapres bukan sesuatu yang final. Masih banyak cara untuk mencegah putusan yang melegitimasi dinasti politik tersebut, salah satunya melalui uji materiil PKPU di MA. Namun, MA harus bersikap independen dalam memutus gugatan agar aturan pelaksana dari putusan MK yang kontroversial bisa dibatalkan.
Judicial review kami ke MA tidak dalam konteks mengoreksi PKPU 23/2023, tetapi untuk menguji apakah MA turut terlibat dalam pembusukan demokrasi.
Menambah ketidakpastian
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, uji materiil PKPU 23/2023 ke MA menambah ketidakpastian hukum dalam kontestasi Pilpres 2024. Sebab, saat ini, pengujian ulang syarat capres-cawapres di MK juga belum diputuskan. Jika ada gugatan yang dikabulkan, aturan kontestasi bisa kembali berubah di tengah jalan. Sebab, sejak awal ada putusan MK yang sangat kontroversial yang akhirnya terbukti dihasilkan dari proses yang melanggar etik berat.
Meski demikian, harus dipastikan bahwa setiap putusan harus memperhitungkan kerangka waktu tahapan pemilu serentak, di mana pileg dan pilpres wajib diselenggarakan pada satu waktu yang sama. Selain itu, aturan bahwa capres terpilih harus sudah dilantik pada 20 Oktober 2024. Kerangka waktu ketatanegaraan tersebut tidak boleh idabaikan oleh semua pihak, termasuk aparat penegak hukum, khususnya pengadilan.
”Ketidakpastian akan selalu jadi tantangan di tengah mekanisme hukum yang tersedia untuk menguji ke MK dan MA. Oleh karena itu, kemampuan menahan diri dari hakim dan peradilan menjadi sangat penting dalam situasi ini. Kemerdekaan hakim dalam memutus perkara juga harus mempertimbangkan kerangka waktu tahapan pemilu serta tidak melampaui kompetensi absolut yang dimiliki pengadilan,” tuturnya.
Ketidakpastian akan selalu jadi tantangan di tengah mekanisme hukum yang tersedia untuk menguji ke MK dan MA.
Titi mengatakan, di banyak negara demokrasi maju, putusan pengadilan yang mengubah aturan main diputuskan berlaku untuk pemilu berikutnya. Pertimbangannya agar ada adaptasi pemilih, peserta, dan penyelenggara dengan baik terhadap aturan yang baru tersebut. Sebab, idealnya aturan main pemilu berlaku stabil selama tahapan berlangsung, mengingat penyelenggara, peserta, dan pemilih butuh kepastian dan adaptasi untuk memahami dan mengimplementasikannya.
Selain itu, perubahan aturan main di tengah proses kompetisi merupakan sesuatu yang tidak sehat bagi proses pemilu. Perubahan aturan di tengah jalan bisa menimbulkan spekulasi, konspirasi, kebingungan, bahkan menyulut disinformasi di tengah masyarakat.
”Situasi hari ini tak lepas dari upaya para pihak yang memanfaatkan MK untuk menjawab kebuntuan hukum akibat tidak direvisinya UU Pemilu. Akhirnya, proses pemilu berada dalam situasi aturan main yang tidak terlalu stabil. Ditambah lagi sikap penyelenggara pemilu yang kerap kali ambigu dan tidak konsisten dalam menyikapi kebutuhan aturan main teknis penyelenggaraan tahapan pilpres, misalnya revisi PKPU sebagai tindak lanjut putusan MK,” ungkap Titi.