Sistem Proporsional Terbuka Hadirkan Wajah Kebinekaan di Parlemen
I Gusti Putu Artha, mantan anggota KPU, menyarankan agar MK memutus perkara pengujian sistem pemilu sebelum 26 Juni atau sebelum tahapan pengajuan perbaikan dokumen persyaratan bakal caleg.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sistem pemilu proporsional terbuka dinilai mampu menghadirkan wajah parlemen yang Bhinneka Tunggal Ika. Parlemen lokal tidak hanya akan diisi, bahkan dipimpin, oleh putra daerah tetapi juga orang yang berasal dari luar daerah tetapi amanah dan berprestasi dalam melayani masyarakat. Selain itu, sistem proporsional terbuka memberi jaminan yang lebih baik dalam pengembangan karier para pemimpin-pemimpin lokal.
”Tidak pernah terjadi setelah reformasi bahwa orang Bali bisa jadi anggota DPR di Lampung, bahwa orang Madura bisa menjadi anggota DPR di Kotawaringin Barat, bahwa Ketua DPR Keerom adalah orang Jawa dari PKS atau bahwa Ketua DPRD Badung Bali adalah orang Kristen. Kemudian Ketua DPRD di Malang adalah orang Bali. Ini taman sari Indonesia,” kata I Gusti Putu Artha, mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, di hadapan sembilan hakim konstitusi saat menjadi ahli uji materi sistem pemilu proporsional terbuka di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/5/2023).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Putu Artha dihadirkan sebagai ahli oleh pihak terkait Partai Nasdem. Selain mendengar keterangan Putu Artha, sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu khususnya terkait dengan sistem pemilu itu, juga menghadirkan Abdul Chair Ramadan, pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi’iyah yang merupakah ahli yang dihadirkan Partai Garuda. Kemarin menjadi sidang terakhir bagi pengujian sistem pemilu proporsional terbuka.
Pengujian sistem pemilu tersebut diajukan oleh sejumlah kader partai seperti Demas Brian Wicaksono, Yuwono Pintadi, Fahrurrozi, Ibnu Rachman Jaya, Riyanto, dan Nono Marijono. Persidangan untuk perkara ini sudah digelar hingga 16 kali.
Dalam pemaparannya, Putu Artha mengungkapkan, persoalan tentang wajah parlemen yang dihasilkan dari sistem pemilu proporsional terbuka jarang sekali dibahas di ruang persidangan MK. Padahal, persoalan adanya keberagaman hidup di parlemen lokal sangatlah esensial. Oleh karena itu, ia meminta MK untuk memperhatikan bagaimana merawat keindonesiaan dengan sistem proporsional terbuka.
Selain itu, Putu Artha melihat bahwa sistem proporsional terbuka telah merangsang mekarnya kepemimpinan dan jenjang karir kepemimpinan lokal.
”Para kepala dusun yang amanah dan melayani rakyat akan terpilih menjadi kepala desa, kades yang amanah dan berprestasi dalam melayani rakyat banyak yang kemudian dinominasikan menjadi anggota DPR dan terpilih. Hari ini ada 7 anggota DPRD Tabanan yang adalah mantan kades. Mereka berhasil berangkat dari bawah,” katanya.
Menurut dia, hal tersebut sulit terjadi di era sebelumnya. Sebab, ketika pencalonan anggota legislatif dilakukan dengan nomor urut, orang-orang tersebut sulit untuk mendapatkan nomor urut jadi. ”Kalau di sistem proporsional tertutup, boro-boro kades punya power yang luar biasa. Dia dipotong sama partainya sebab merasa orang tersebut saingannya. Tidak bisa, orang lain yang dikirim ke sana (DPR),” katanya.
Terkait dengan teknis pemilu, Putu Artha menyarankan agar MK memutus perkara pengujian sistem pemilu tersebut sebelum 26 Juni-9 Juli atau tahapan pengajuan perbaikan dokumen persyaratan bakal calon anggota legislatif. Hal itu penting untuk mengantisipasi konflik yang sangat dalam apabila nantinya MK mengabulkan permohonan perubahan sistem pemilu dari proporsional terbuka menjadi tertutup.
”Kalau jadi tertutup, saya berani memastikan akan terjadi konflik politik yang sangat hebat di bawah. Karena ada orang yang dapat nomor bawah tetapi massanya besar akan cabut. Akibatnya apa? Misalnya jika yang cabut itu perempuan, ini akan memengaruhi DCT (daftar calon tetap). Kalau DCT kemudian (tidak memenuhi) kerwakilan 30 persen permpuan, akan dicoret oleh KPU. Di situ kemudian kosong, ribut,” kata Putu Artha.
Lebih lanjut dia mengatakan, ”Kenapa saya menganjurkan sebelum 26 Juni diputuskan? Agar ruang konflik dan manajemen konflik masih ada di partai politik sehingga dia nyebar di tiap-tiap partai. Konflik itu dialokasikan ke sana. Tapi kalau setelah 26 Juni-9 Juli ketika pengembalian berkas, maka menjadi ranah KPU. Maka, konflik di sekian belas partai ini akan numpuk di KPU masing-masing. Jadi, KPU akan menjadi palu godam untuk memutus dan pasti akan demo habis-habisan.”
Pada prinsipnya, Putu Artha mengatakan, baik sistem proporsional terbuka maupun tertutup sebenarnya sama-sama konstitusional. Hanya saja derajat konstitusionalitasnya berbeda.
Sementara itu, Abdul Chair juga mencoba memberi perspektif lain terhadap sistem pemilu proporsional terbuka. Menurut dia, sistem ini sejalan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia. Kewajiban memilih calon yang beriman, bertakwa, jujur (shiddiq), tepercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunyai kemampuan (fathanah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam hanya dapat dijalankan dengan sistem proprosional terbuka. Berdasarkan kaidah fikih Ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajib, maka sistem proporsional terbuka bersifat wajib.
Terkait dengan sistem proporsional tertutup, menurut Abdul Chair, hal itu didalilkan sebaliknya (mafhum mukhalafah) atau argumentum a contrario sehingga sistem proporsional tertutup adalah haram. Disebutkan demikian sebab umat Islam selaku konstituen tidak dapat memilih calon secara langsung yang sesuai dengan kriteria yang ada di dalam fatwa MUI seperti diuraikan di atas.
Ketua MK Anwar Usman yang memimpin sidang mengungkapkan, sidang ke-16 kemarin merupakan sidang terakhir pengujian sistem pemilu proporsional terbuka. Setiap pihak, baik pemohon, DPR, pemerintah, dan pihak terkait, diharapkan untuk menyerahkan kesimpulannya atas perkara tersebut paling lambat pada Rabu (31/5/2023) mendatang. Agenda sidang berikutnya adalah pembacaan putusan.