Pihak Kejagung menyebutkan dugaan korupsi di BUMN yang dilaporkan terkait dengan keuangan. Namun, Kejagung masih enggan merinci, apakah itu tentang keuangan di BUMN atau menyangkut BUMN yang bergerak di bidang keuangan.
Oleh
NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kejaksaan Agung masih mendalami laporan dugaan kasus korupsi yang disampaikan Menteri Badan Usaha Milik Negara. Status hukum terhadap kasus tersebut juga belum ditentukan.
Sebagaimana diberitakan, Senin (6/3/2023), Menteri BUMN Erick Thohir bertemu dengan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Selain bersilaturahmi dan membicarakan beberapa kasus terkait BUMN, Erick juga menyampaikan laporan adanya dugaan korupsi di salah satu BUMN.
Namun, dalam kesempatan itu, baik Erick maupun Burhanuddin tidak menyebutkan detail kasus tersebut karena masih akan didalami. Burhanuddin hanya menyebut, kasus yang dilaporkan tersebut cukup menarik.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Febrie Adriansyah, Selasa (7/3/2023), mengatakan, laporan tersebut masih merupakan dugaan tindak pidana korupsi. Pihaknya masih mendalami kasus tersebut.
”Belum (naik penyelidikan). Masih dianalisis,” kata Febrie.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana juga masih enggan mengungkap perihal detail kasus tersebut. Ketut hanya mengatakan bahwa kasus tersebut terkait keuangan. Namun, Ketut tidak menjelaskan lebih lanjut yang dimaksud keuangan tersebut, apakah terkait dengan kasus tentang keuangan atau menyangkut BUMN yang bergerak di bidang keuangan.
Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch Lalola Easter berpandangan, sebagai sebuah laporan tentang dugaan korupsi, yang dilakukan Menteri BUMN juga bisa dilakukan oleh siapa pun. Laporan tersebut seharusnya juga dilengkapi dengan dokumen sebagai petunjuk bagi aparat penegak hukum untuk mendalaminya.
Penegakan hukum itu ada di ujung, yakni sebagai penindakan. Itu berarti mekanisme pencegahan di BUMN tidak berjalan.
Namun, kata Lalola, laporan yang akan berujung pada proses hukum tersebut seharusnya menjadi upaya terakhir. Hal itu menunjukkan bahwa mekanisme internal di dalam Kementerian BUMN dalam melakukan pengawasan terhadap BUMN tidak berjalan efektif.
”Penegakan hukum itu ada di ujung, yakni sebagai penindakan. Itu berarti mekanisme pencegahan di BUMN maupun yang dilakukan Kementerian BUMN itu tidak berjalan,” ujar Lalola.
Menurut Lalola, pengawasan di dalam BUMN sebenarnya bisa dilakukan oleh komisaris sebagai perwakilan pemerintah. Namun, sebagian besar dari komisaris BUMN juga duduk sebagai pejabat di berbagai kementerian dan lembaga.
Akibatnya, kata Lalola, hal itu membuat mereka tidak fokus dalam menjalankan tugasnya sebagai komisaris, termasuk menjalankan fungsi pengawasan. Meski demikian, di sisi lain, pertimbangan yang diberikan komisaris belum tentu akan dijalankan sepenuhnya oleh direksi BUMN.
”Praktik rangkap jabatan itulah yang seharusnya diminimalkan. Sebab, hal itu membuka ruang konflik kepentingan. Di sisi lain, performa mereka yang rangkap jabatan juga patut dipertanyakan. Tata kelola BUMN inilah yang juga perlu diperbaiki,” ujar Lalola.
Sementara itu, Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman mengatakan, dari informasi yang ia peroleh, kasus yang dilaporkan Menteri BUMN ke Kejagung tersebut diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan jumlah yang tidak signifikan. Boyamin menduga, kasus tersebut tidak akan ditangani Kejaksaan Agung.