MK: Penentuan Dapil dan Alokasi Kursi DPR/DPRD Provinsi Kewenangan KPU
MK menemukan penentuan dapil di Lampiran III UU Pemilu menghasilkan ketimpangan ”harga” suara yang signifikan antardapil. Selain itu, terjadi pula disproporsionalitas jumlah dan alokasi kursi.
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Sabtu (29/8/2020).
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi mengembalikan kewenangan penyusunan daerah pemilihan atau dapil dan penentuan alokasi kursi di dapil untuk pemilihan anggota DPR/DPRD provinsi menjadi kewenangan Komisi Pemilihan Umum. Pengaturan dapil dan jumlah alokasi kursi di tiap dapil dalam undang-undang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Selain itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menemukan fakta bahwa penyusunan dapil di Lampiran III UU Pemilu menyalahi atau tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam UU Pemilu.
Pada sidang terbuka yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, di Gedung MK, Jakarta, Selasa (20/12/2022), MK mengabulkan permohonan diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh pengurusnya Khoirunnisa Nur Agustyati dan Irmalidarti. Perludem mempersoalkan Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam pertimbangannya, MK mengingatkan prinsip penentuan dapil yang ada di Pasal 185 UU No 7/2017. Prinsip penentuan dapil yang dimaksud adalah kesetaraan nilai suara, ketaatan pada sistem pemilu proporsional, proporsionalitas, integritas wilayah, berada dalam cakupan wilayah yang sama, kohesivitas, dan kesinambungan.
Namun, MK menemukan bahwa penentuan dapil di Lampiran III UU Pemilu telah menghasilkan ketimpangan ”harga” suara yang signifikan antardapil. Selain itu, terjadi disproporsionalitas jumlah dan alokasi kursi serta terdapatnya dapil yang tidak memenuhi prinsip integritas wilayah di beberapa dapil.
”Dalam hal ini, ketimpangan “harga” kursi tidak boleh terjadi terutama jika ketimpangan tersebut menghasilkan standar deviasi yang sangat tinggi. Jika hal demikian terjadi, prinsip penentuan daerah pemilihan sesungguhnya telah terlanggar,” ujar Saldi.
Lebih lanjut ia mengatakan, pada saat alokasi atau penentuan dapil tersebut dicantumkan dalam lampiran undang-undang, hal tersebut akan berdampak pada ketidaksinkronan norma-norma yang mengatur prinsip dapil dengan lampiran undang-undang yang mencantumkan pembagian dapil. Ketidaksinkronan tersebut akan bermuara pada terjadinya ketidakpastian hukum dan berdampak pada kedaulatan rakyat serta prinsip negara hukum.
Selain itu, MK berpendapat pemuatan dapil dalam lampiran undang-undang justru menimbulkan ketidakpastian dalam memenuhi prinsip-prinsip penentuan dapil. Sebab, faktor utama yang memengaruhi eksistensi sebuah dapil adalah eksistensi daerah otonom dan jumlah penduduk yang sifatnya sangat dinamis. Ketika ada perubahan daerah otonom provinsi atau kabupaten/kota melalui kebijakan pemekaran atau penggabungan daerah, penentuan dapil akan terdampak. Padahal, politik legislasi UU Pemilu menuju pada titik di mana tidak dilakukan perubahan setiap periode pemilu, tetapi digunakan atau diberlakukan untuk beberapa periode pemilu.
”Oleh karena itu, demi menjaga kepastian hukum dalam penentuan atau penyesuaian daerah pemilihan, pencantuman dalam lampiran undang-undang pemilihan umum jelas memiliki masalah konstitusional yang berpotensi mengancam kedaulatan rakyat, kepastian hukum, dan asas-asas pemilihan umum yang diatur dalam UUD 1945,” kata Saldi.
Baca juga: Perludem Meminta Penetapan Dapil dan Alokasi Kursi DPR Diserahkan ke KPU
Dengan pertimbangan tersebut, MK pun mengembalikan kewenangan penetapan rincian dapil dan alokasi kursi DPR/DPRD provinsi kembali kepada KPU. Pasal 187 ayat (5) dan Pasal 189 ayat (5) UU No 7/2017 termasuk Lampiran III dan IV dinyatakan bertentangan dengan kedaulatan rakyat, prinsip negara hukum, dan asas-asas pemilu dan kepastian hukum yang adil.
”Tahapan penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan sudah dimulai sejak 14 Oktober 2022 dan akan berakhir 9 Februari 2023. Artinya, tahapan yang dimaksud belum berakhir. MK perlu menegaskan, agar dalam menetapkan daerah pemilihan dan jumlah kursi di setaip daerah pemilihan disusun sesuai dengan prinsip-prinsip penetapan daerah pemilihan seperti diatur di Pasal 185 No UU 7/2017. Selain itu, dalam penentuan dapil dan evaluasi penentuan jumlah kursi di setiap dapil dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan Pemilu 2024 dan pemilu selanjutnya,” kata Saldi.
MK juga memberikan batasan dalam evaluasi penerapan prinsip penentuan dapil. Terkait dengan prinsip kesetaraan nilai suara dan prinsip proporsionalitas antardapil misalnya, KPU diharapkan tidak hanya sekadar mempertimbangkan tinggi rendahnya ”harga” kursi dari aspek jumlah suara untuk setiap kursi di dapil. Akan tetapi, KPU juga mempertimbangkan aspek strategis lainnya, seperti tingginya nilai sebuah kursi yang yang ditanggung peserta pemilu.
”Sehingga, proporsionalitas kursi antara daerah pemilihan, terutama antara daerah pemilihan di Pulau Jawa dan daerah pemilihan di Luar Jawa tetap dapat dijaga secara proporsional,” kata Saldi saat membacakan pertimbangan putusan.
Dengan adanya putusan ini, Pasal 187 Ayat (5) UU No 7/2017 inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai ”Daerah Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jumlah kursi setiap daerah pemilihan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan KPU.”
Baca juga: Jurus Jitu Para Penghuni Senayan, Tak Tergoyahkan di Setiap Pemilu
Respons partai politik
Menanggapi putusan MK itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa partainya taat asas, termasuk terhadap putusan MK yang memberi kewenangan alokasi dapil DPR dan DPRD provinsi kepada KPU, yang bersifat final dan mengikat. Penetapan dapil berfungsi sebagai instrumen untuk memperkuat prinsip keterwakilan, kesetaraan nilai suara, dan proporsionalitas melalui konversi suara ke dalam jumlah kursi. Dengan begitu, anggota legislatif terpilih dapat mewakili masyarakat secara proporsional sesuai dengan jumlah penduduk.
Menurut dia, pembagian dapil hanyalah salah satu cara untuk memperkuat prinsip keterwakilan dan memudahkan rakyat untuk mengenal sosok yang akan menjadi wakilnya di parlemen. Namun, ketika seorang anggota DPR terpilih, ia akan menjadi wakil dari seluruh rakyat Indonesia.
”Atas dasar hal tersebut, dengan pemberian kewenangan pembagian dapil kepada KPU, maka DPR menjalankan fungsi pengawasan. Di situlah checks and balances berlangsung,” ujarnya.
Mengenai keterwakilan di setiap dapil, menurut Hasto, ada dapil yang memang setiap kursinya memiliki nilai keterwakilan penduduk lebih besar ketimbang dapil lainnya, yakni di dapil yang ada di Pulau Jawa jika dibandingkan dengan luar Jawa. Hal itu terjadi karena mempertimbangkan kondisi obyektif sebagai daerah padat penduduk dan semangat gotong royong untuk kepentingan nasional.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menambahkan, pemberian kewenangan alokasi dapil DPR dan DPRD provinsi kepada KPU tidak menjadi persoalan selama penyelenggara pemilu itu dapat melaksanakan kewenangannya dengan prinsip proporsionalitas dan keadilan dalam keterwakilan setiap daerah. Selama ini, ketika alokasi dapil diatur dalam lampiran UU Pemilu pun, KPU tetap dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait.
Selain itu, DPR tidak banyak menerima aspirasi menyangkut permasalahan proporsionalitas dapil. Jarang pula terjadi kesulitan dalam menjalankan fungsi representasi lantaran luasnya wilayah.
”Persoalan luas wilayah itu biasanya diatasi dengan mengatur dan membagi kunjungan antara reses yang satu dan yang berikutnya,” ujar Arsul.