Putusan MK: Jeda 5 Tahun bagi Eks Napi untuk Jadi Caleg
Salah satu pertimbangan MK adalah fakta empirik bahwa kepala daerah yang pernah menjalani masa pidana dan tak diberi waktu cukup beradaptasi dan melebur dalam masyarakat ternyata kembali melakukan perbuatan pidana.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi atau MK menambahkan syarat masa tunggu selama lima tahun bagi mantan terpidana jika ingin mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. MK menyelaraskan persyaratan bakal caleg tersebut dengan semangat yang ada di dalam syarat kepala daerah di dalam Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah.
Dengan demikian, syarat seorang mantan terpidana menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menjadi: telah melewati masa tunggu lima tahun setelah selesai menjalani pidana penjara berdasar putusan yang berkekuatan hukum tetap dan bukan merupakan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Hal tersebut terungkap dalam putusan perkara Nomor 87/PUU-XX/2022 terkait pengujian Pasal 240 Ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh seorang advokat, Leonardo Siahaan. MK mengabulkan sebagian permohonan Leonardo dalam sidang pembacaan putusan yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman, Rabu (30/11/2022).
Sebelumnya, Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU No 7/2017 mengatur, mantan terpidana bisa mencalonkan diri sepanjang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya adalah mantan terpidana. Tidak ada pengaturan mengenai masa jeda bagi mantan terpidana jika mau maju sebagai caleg. Hal ini membuat Leonardo khawatir.
Kekhawatiran terutama soal potensi terjadinya penyalahgunaan wewenang, menciptakan angka golput yang tinggi, dan berpotensi menularkan bibit korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya.
Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan mengutip kembali putusan MK sebelumnya yang menegaskan bahwa tidak ada lagi perbedaan rezim pemilu dengan pilkada. Oleh karena itu, berkenaan dengan salah satu persyaratan menjadi calon pejabat publik yang dipilih melalui pemilu, perlu dilihat ada tidaknya keselarasan pengaturan.
MK menemukan adanya perbedaan perlakuan terhadap syarat pencalonan calon anggota legislatif dengan calon kepala daerah. Perbedaan yang fundamental adalah norma Pasal 240 Ayat (1) huruf g UU No 7/2017 mengatur seorang mantan terpidana dapat langsung mencalonkan diri sepanjang terbuka dan jujur mengemukakan statusnya kepada publik.
Sementara itu, Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU No 10/2016 tentang Pillkada mengatur syarat waktu tunggu lima tahun bagi mantan terpidana untuk maju dalam pilkada serta secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik statusnya sebagai mantan terpidana.
Menurut Suhartoyo, perbedaan syarat formal untuk menduduki rumpun jabatan yang dipilih (elected official) dapat menimbulkan disharmoni akan pemberlakuan norma-norma terhadap subyek hukum yang sesungguhnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu sama-sama dipilih oleh pemilih.
”Pembedaan atas syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah bagi mantan terpidana dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara sebagaimana diatur dalam Pasal 28J Ayat (1) UUD 1945,” kata Suhartoyo.
Mengacu pada putusan-putusan sebelumnya, MK menilai masa tunggu selama lima tahun setelah menjalani masa pidana merupakan waktu yang dipandang cukup untuk berintrospeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya bagi calon kepala daerah, termasuk calon anggota legislatif.
Sementara mengenai keharusan menjelaskan kepada publik tentang statusnya sebagai mantan napi untuk memberikan bahan pertimbangan kepada calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.
Adapun mengenai syarat berikutnya, yaitu bukan pelaku kejahatan berulang, MK mempertimbangkan hal tersebut sebagai bagian dari upaya untuk melindungi kepentingan yang lebih besar, yaitu kepentingan masyarakat akan pemimpin yang bersih, berintegritas, dan mampu memberikan pelayanan publik. Pemimpin yang demikian diharapkan mampu menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat kebanyakan.
MK juga mempertimbangkan fakta empirik bahwa seorang kepala daerah yang pernah menjalani masa pidana dan tidak diberi waktu yang cukup untuk beradaptasi dan membuktikan diri secara faktual telah melebur dalam masyarakat ternyata kembali terjebak dalam perilaku tak terpuji. Kepala daerah tersebut mengulang kembali tindakan sebelumnya, yakni korupsi.
”Dengan demikian, makin jauh dari tujuan menghadirkan pemimpin bersih, jujur, dan berintegritas,” kata Suhartoyo.