Refleksi Dua Tahun Kejagung, Mendorong Penindakan Perkara Korupsi ”Big Fish”
Selama dua tahun Kejaksaan Agung tangani 2.855 perkara pidana korupsi dan selamatkan uang negara Rp 35,6 triliun. Namun, dari segi uang pengganti yang dikabulkan majelis hakim, menurut ICW, masih belum maksimal.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perkara tindak pidana korupsi dengan jumlah kerugian keuangan negara yang besar menjadi fokus kinerja kejaksaan selama dua tahun ini. Kejaksaan mencatat 1.813 kasus pidana khusus telah dieksekusi dengan penyelamatan keuangan negara Rp 35,6 triliun.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Leonard Eben Ezer Simanjuntak dalam diskusi publik ”Refleksi 2 Tahun Kejagung; Kinerja Pemberantasan Korupsi di Indonesia” yang diselenggarakan Lembaga Studi Anti Korupsi (LSAK), secara daring, Selasa (26/10/2021), dalam paparannya, mengatakan, kegiatan pencegahan korupsi tidak serta-merta menafikan kegiatan penindakan.
”Dari latar belakang tersebut, Jaksa Agung mengeluarkan kebijakan. Pertama, mendorong pada penindakan perkara korupsi yang memiliki kerugian yang besar atau big fish,” kata Leonard.
Penindakan tipikor, lanjut Leonard, juga difokuskan pada korporasi sebagai pelaku tindak pidana. Selain itu, penindakan tipikor juga dilakukan terhadap perkara yang bersentuhan dengan sektor penerimaan negara serta mulai menginisiasi penindakan perkara korupsi yang merugikan perekonomian negara.
Leonard mengatakan, selama Oktober 2019 sampai September 2021 terdapat 2.855 perkara pidana khusus terkait dengan korupsi yang dilakukan penyelidikan. Dari jumlah itu, 96,46 persen atau 2.754 perkara dinaikkan ke tahap penyidikan dan sebanyak 2.772 kasus di antaranya diajukan ke penuntutan. Dari jumlah tersebut, sebanyak 1.813 kasus atau 65,40 persennya telah dieksekusi.
”Lalu, soal pertanggungjawaban pidana tidak hanya subyek hukum perorangan, tetapi juga subyek hukum korporasi,” ujar Leonard.
Selama 2 tahun, lanjut Leonard, penyelamatan keuangan negara berjumlah Rp 35,6 triliun ditambah dengan mata uang asing, yakni 138.816,47 dollar AS, 1.532,30 dollar Singapura, 80 euro, dan 305 poundsterling.
Beberapa kasus dengan jumlah kerugian keuangan negara yang besar adalah kasus Asuransi Jiwasraya dengan kerugian sebesar Rp 16,8 triliun, kasus Asabri dengan kerugian keuangan negara sebesar Rp 22,78 triliun, dan kasus importasi tekstil pada Direktorat Jenderal Bea Cukai dengan kerugian negara Rp 1,6 triliun. Di dalam kasus Asuransi Jiwasraya dan Asabri, terdapat korporasi yang juga dijadikan tersangka.
Selama dua tahun, lanjut Leonard, penyelamatan keuangan negara berjumlah Rp 35,6 triliun ditambah dengan mata uang asing, yakni 138.816,47 dollar AS, 1.532,30 dollar Singapura, 80 euro, dan 305 poundsterling.
Menurut Leonard, penindakan dalam perkara tipikor juga ditekankan ke jajaran kejaksaan di daerah. Karena disadari belum semua daerah bebas korupsi, Jaksa Agung telah memerintahkan agar dilakukan evaluasi terhadap kepala kejaksaan negeri dan kepala kejaksaan tinggi yang tidak menangani perkara korupsi di wilayahnya.
”Untuk melihat agar jangan sampai ada penanganan perkara korupsi di lembaga lain, tapi tidak ada penanganan perkaranya (yang sama) di kejaksaan negerinya. Nanti akan dilihat kajari dan kajati yang terlambat atau tidak melaksanakan pemberantasan tindak pidana korupsi,” tutur Leonard.
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mengatakan, karena korupsi merupakan kejahatan ekonomi, titik tekan penanganan perkara mesti dititikberatkan pada aspek pemulihan keuangan negara. Jika hendak dibandingkan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi, memang penanganan perkara korupsi oleh kejaksaan terkait dengan jumlah kerugian keuangan negara yang lebih besar.
”Namun, itu belum cukup. Harus bisa membuktikan kepada masyarakat, berapa aset yang sudah dimasukkan ke kas negara, baru kita melihat efektivitas pemberantasan korupsi,” kata Kurnia.
Menurut Kurnia, masalah pemberantasan korupsi saat ini adalah penanganan korupsi yang tidak sebanding dengan biaya yang sudah dikeluarkan oleh negara bagi penegak hukum khususnya dalam lingkup penindakan. Sementara itu, pemidanaan dengan pasal uang pengganti sebagaimana diatur Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga masih belum maksimal diterapkan.
Dalam laporan ICW ”Tren Vonis Korupsi 2020” disebutkan, Korps Adhyaksa sepanjang 2020 telah menyidangkan perkara dengan kerugian negara sejumlah Rp 56,7 triliun, sedangkan KPK Rp 114,8 miliar. Berdasarkan pemantauan, jumlah uang pengganti yang dikabulkan majelis hakim hanya berjumlah Rp 19,6 triliun.
Demikian pula terkait dengan pengenaan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) juga dinilai masih minim. Sepanjang 2020, dari 1.298 terdakwa, hanya 20 orang terdakwa yang dikenakan pasal TPPU. Demikian pula mengenai denda. Dari 1.298 orang terdakwa, yang dijatuhi hukuman denda hanya 6 orang dengan jumlah maksimal denda Rp 1 miliar.
Dalam laporan ICW ”Tren Vonis Korupsi 2020” disebutkan, Korps Adhyaksa sepanjang 2020 telah menyidangkan perkara dengan kerugian negara sejumlah Rp 56,7 triliun, sedangkan KPK Rp 114,8 miliar. Berdasarkan pemantauan, jumlah uang pengganti yang dikabulkan majelis hakim hanya berjumlah Rp 19,6 triliun.
Terkait dengan kinerja kejaksaan yang memprioritaskan perkara korupsi dengan nilai kerugian besar, menurut Kurnia, hal itu memang harus dilakukan. Penegak hukum memang diharapkan memiliki skala prioritas berupa skala kerugian dan aspek menyentuh hajat hidup orang banyak.
Namun, sekali lagi, hal itu belum cukup selama uang pengganti dari kerugian keuangan negara belum masuk ke kas negara. Terlebih, eksekusi terhadap suatu putusan memerlukan waktu yang panjang.