Masyarakat Sipil Desak Kejagung Segera Bentuk Penyidik ”Ad Hoc”
Masyarakat sipil mendesak Kejagung membentuk penyidik ad hoc penanganan pelanggaran HAM berat. Jika penyidik ad hoc terbentuk, hal ini akan mengikat Jaksa Agung guna memastikan penyidikan selesai dalam waktu tertentu.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat dinilai jalan di tempat karena berkas penyelidikan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia selalu dikembalikan Kejaksaan Agung. Kelompok masyarakat sipil mendorong Kejagung lebih serius menangani kasus tersebut dengan membentuk tim penyidik ad hoc sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM.
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid yang dihubungi, Selasa (11/5/2021), mengatakan, penuntasan kasus HAM berat yang menjadi janji pemerintah sangat dipengaruhi kehendak baik dari Jaksa Agung, DPR, maupun Presiden. Ketiganya memiliki peran signifikan yang menentukan jalan penyelesaian pelanggaran HAM berat melalui mekanisme pengadilan HAM ad hoc.
Sebagai penyelidik, Komnas HAM telah membentuk penyelidik ad hoc yang terdiri dari Komnas HAM dan melibatkan unsur masyarakat sipil. Berkas penyelidikan telah dirampungkan, termasuk untuk peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II. Namun, berkas itu berkali-kali dikembalikan Kejagung karena dianggap tidak lengkap, baik formil maupun materiil.
”Berkas bolak-balik dikembalikan dari Kejagung ke Komnas HAM. Pertanyaannya apakah Kejagung sudah melakukan penyidikan? Siapa saja tim penyidiknya? Ini tidak pernah dijawab secara komprehensif,” kata Usman.
Sesuai Pasal 21 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ujarnya, kewenangan penyidikan perkara pelanggaran HAM berat ada di Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya, Jaksa Agung dapat mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri dari unsur pemerintah dan masyarakat.
Menurut Usman, pelibatan unsur non-kejaksaan diperlukan untuk memperoleh penilaian yang obyektif, independen, karena tidak terikat secara hierarkis dengan Kejagung. Penyidik ad hoc ini juga berwenang memberikan penilaian apakah hasil penyelidikan Komnas HAM layak dilanjutkan ke tingkat penyidikan atau tidak.
Jika tim penyidik ad hoc telah terbentuk, hal ini juga akan mengikat Jaksa Agung untuk memastikan kerja penyidikan selesai dalam kerangka waktu tertentu. Di dalam UU Pengadilan HAM disebutkan, penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik.
Jangka waktu itu dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 hari oleh ketua pengadilan HAM. Apabila jangka waktu tidak cukup, penyidikan dapat diperpanjang kembali dalam waktu 60 hari. Terakhir, apabila dalam jangka waktu tersebut tidak diperoleh bukti yang cukup, Jaksa Agung wajib mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
”Selama ini, Jaksa Agung yang membuat penyelesaian perkara berlarut-larut. Bukannya membentuk penyidik ad hoc, melainkan malah membentuk Tim Khusus atau Satuan Tugas Penuntasan Dugaan Pelanggaran HAM Berat yang tidak dikenal dalam UU Pengadilan HAM,” kata Usman.
Menurut Usman, komitmen Jaksa Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dipertanyakan. Sebab, pihak kejaksaan juga kerap memakai alasan belum dibentuknya pengadilan HAM ad hoc oleh pemerintah dan DPR. Pengadilan HAM ad hoc dibutuhkan untuk memperpanjang masa penahanan tersangka dan jangka waktu penyidikan perkara.
”Sekarang tinggal patokannya apa, kalau pada kelengkapan berkas solusinya adalah pembentukan penyidik ad hoc oleh Jaksa Agung. Tetapi tidak menjadi jaminan juga kalau berkas itu lengkap, Jaksa Agung mau melimpahkan perkaranya. Karena ada alasan lain, yaitu tidak ada pengadilan HAM ad hoc-nya,” kata Usman.
Ketua Tim Tindak Lanjut Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan, bola penyelesaian kasus HAM berat kini berada di Kejagung. Sebab, petunjuk yang diberikan Jaksa Agung kepada Komnas HAM untuk memperbaiki berkas penyelidikan masih sama dengan 15 tahun yang lalu. Petunjuk itu, katanya, tak masuk akal dan tidak bisa dilakukan.
Misalnya dalam kasus pelanggaran HAM di Aceh, Komnas HAM diminta meminta KTP korban dan membuktikan apakah korban adalah anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau bukan. Selain itu, Komnas HAM juga diminta meminta dokumen kepada instansi terkait, misalnya surat tugas atau perintah operasi TNI. Hal itu, menurut dia, adalah kewenangan dari Jaksa Agung selaku penyidik.
”Petunjuk-petunjuk yang diminta Jaksa Agung itu adalah kewenangan penyidik yang diatur dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Mereka punya otoritas untuk meminta itu, tetapi malah melempar ke Komnas HAM sebagai penyelidik. Kami menolak itu,” kata Amiruddin.
Amiruddin pun mengatakan, pada sekitar April 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD pernah memanggil Komnas HAM dan Kejagung untuk melakukan klarifikasi perkara pelanggaran HAM berat. Saat itu, yang hadir dari pihak Jaksa Agung adalah Wakil Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus).
Dalam kesempatan itu, Mahfud meminta Jaksa Agung untuk menindaklanjuti penyelidikan dari Komnas HAM. Sebab, Komnas HAM menolak melengkapi petunjuk yang diminta Jaksa Agung karena dianggap bukan lagi kewenangan mereka sebagai penyelidik.
”Sesuai UU, tugas Komnas HAM untuk menyelidiki sudah selesai. Sekarang, tinggal kemauan dari Jaksa Agung untuk menindaklanjuti itu ada atau tidak?” kata Amiruddin.
Amiruddin juga mengatakan, jika ada komitmen dan kemauan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat, tidak sulit bagi Komnas HAM. Sebab, dalam berkas penyelidikan dari Komnas HAM sudah ada peta jalan yang bisa dipakai untuk tahapan penyidikan.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Fatia Maulidiyanti, berpandangan, dengan bolak-baliknya berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat, Presiden semestinya langsung memberikan komando agar Jaksa Agung segera melakukan penyidikan.
Jika berkas tidak lengkap, hal itu dapat dibuka ke publik secara transparan sehingga publik mengetahui kendala yang menghambat selama ini. ”Jadi tidak ada alasan lain untuk menunda penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme-mekanisme yang sebenarnya tidak diatur dalam UU,” kata Fatia.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono menuturkan, Kejagung telah mengevaluasi berkas perkara kasus pelanggaran HAM berat. Kemudian telah melaporkan hal itu kepada Menko Polhukam Mahfud MD.
”Kami laporkan bahwa tidak ada yang bisa ditindaklanjuti sebelum petunjuk itu dipenuhi Komnas HAM. Nah, ini mau diapakan? Kami menunggu dari Menko Polhukam,” kata Ali.
Mahfud pada akhir April 2021 mengatakan, untuk dilimpahkan ke pengadilan, penyidik membutuhkan bukti yang cukup. Sebab, dari tiga perkara yang sebelumnya disidangkan, yaitu perkara Tanjung Priok, Timor Timur, dan Abepura, sebagian besar divonis bebas lepas.
Hanya ada satu yang divonis bersalah, yaitu mantan Wakil Panglima Pejuang Integrasi (PPI) Timor Timur Eurico Gutteres. Awalnya Gutteres dinyatakan bersalah karena perbuatan kejahatan melawan kemanusiaan yang dilakukan anak buahnya dalam konteks komando sipil pada penyerangan terhadap pengungsi di rumah Manuel Viegas Carascalao di Liquisa pada 17 April 1999.
Insiden itu menewaskan 12 pengungsi. Oleh pengadilan, Gutteres divonis 10 tahun penjara. Kemudian di tingkat PK, Guterres dibebaskan oleh Mahkamah Agung. ”Kalau bicara di pengadilan itu kan harus jelas siapa melakukan apa, korbannya siapa, semua harus teridentifikasi. Kalau bukti tidak cukup, akhirnya diajukan ke pengadilan pun divonis bebas lepas,” ujar Mahfud.