Tepis Galaumu Bernadya, Mereka Janjikan Kota Ramah dan Mobil Curhat
Calon gubernur-wakil gubernur menjanjikan Jakarta ramah hingga mobil curhat. Omong kosong berlebihankah ini, Bernadya?
Dinamika menjelang pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur DKI Jakarta makin terasa. Pasangan calon kepala daerah Jakarta, yaitu Pramono Anung-Rano Karno, Ridwan Kamil-Suswono, dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana bermanuver dengan caranya masing-masing.
Saat berkunjung ke Redaksi Harian Kompas/Kompas.id di Menara Kompas, Jakarta, Sabtu (31/8/2024), Pramono Anung menegaskan bahwa dirinya dan Rano Karno mengusung tagline ”Jakarta Menyala”. Keduanya ingin warga Jakarta senang. Terlebih ketika Jakarta sudah tidak lagi menyandang status ibu kota dan menyongsong peran baru sebagai kota global.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pramono yang menyebut dirinya pesepeda itu suka berkeliling Jakarta. Saat ini, ia menjabat Sekretaris Kabinet di bawah Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, ia pernah menjadi Ketua DPR dan aktif berkarier di partai politik yang menaunginya.
Baca juga: Setelah ”Rawon” dan Roti Rp 400.000 Berlalu
Dari hobi dan pengalamannya itu, Pramono yakin memahami Jakarta. Ia memuji program gubernur sebelumnya, seperti Sutiyoso, Fauzi Bowo, Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dan Anies Baswedan. Ia menegaskan tak sungkan meneruskan kerja mereka dan tidak terlalu pusing dengan ”jualan” program baru.
Meminjam judul lagu Bernadya, ”Kata Mereka Ini Berlebihan”, cocok menggambarkan teriakan sebagian warga lainnya yang geram dengan kata-kata manis para politisi itu.
Pramono-Rano berniat memperpanjang jalur MRT Jakarta dan bus Transjakarta. Faktanya, kedua moda milik DKI Jakarta itu memang tengah berproses memperbaiki kualitas dan cakupan layanannya.
Pasangan ini mencoba meraup tambahan simpati publik dengan wacana membangun jalan layang khusus sepeda dan sepeda motor. Jakarta International Stadium (JIS) dimaksimalkan pemanfaatannya sekaligus sebagai markas klub sepak bola Persija.
Dengan semua tawaran itu, Pramono-Rano ingin menjadikan Jakarta kota ramah yang melayani semua kalangan. Rano mendukung dengan memaksimalkan pesonanya sebagai sosok populer yang dikenal lewat perannya sebagai Si Doel dalam sinetron berseri dan film layar lebar sejak ia masih kanak-kanak.
Mantan Gubernur Banten itu menggaet pemain pasangan mainnya sebagai Si Doel sebagai tim sukses. Romantisasi Si Doel demi meyakinkan masyarakat bahwa ia orang Betawi, orang Jakarta asli.
Baca juga: Setelah Enam Dekade Jakarta Menjadi Ibu Kota Negara
Ridwan Kamil-Suswono mengambil langkah tak jauh beda dari Pramono-Rano.
Mantan Gubernur Jawa Barat yang biasa dipanggil Kang Emil ini senang jika disapa Bang Emil. Ia menggandeng Fauzi "Bang Foke" Bowo mengunjungi Perkampungan Budaya Betawi Setu Babakan di Jakarta Selatan. Ia memasak kerak telur dan mengagumi kultur Betawi.
Terkait beberapa unggahan lamanya di Twitter (sekarang ”X”) yang terkesan seksis memojokkan Jakarta, Emil, seperti halnya Pramono, mengakuinya sebagai jejak semasa kurang bijak. Setelah belasan tahun menjadi pejabat publik, Emil dan Pramono mengaku telah belajar dan menjadi lebih baik.
Dalam wawancara di harian Kompas, Senin (2/9/2024), ia menjawab pertanyaan Presiden Joko Widodo tentang bagaimana Jakarta setelah ibu kota pindah ke Nusantara. Emil melihat Jakarta sangat tepat dikembangkan menjadi kota layanan jasa.
“Orang-orang korporasi jangan ngantor ke Singapura. Kantornya di kawasan Monas (Monumen Nasional) karena kota global. Semua harus direformasi, perpajakannya, kenyamanannya, livability (kepuasan hidup)-nya,” katanya.
Baca juga: Sejarah Ibu Kota Negara: Simbol Representasi Bangsa yang Cenderung Elitis
Bersama Suswono, Emil mendapat titipan dari presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengatasi permukiman kumuh dan memperbanyak perumahan publik di Jakarta. Perumahan publik ini dimaksudkan pula untuk mengurangi pergerakan komuter dari aglomerasi Bodetabek ke Jakarta atau sebaliknya.
Menurut dia, setiap hari, ada sekitar 3 juta orang bolak-balik ke Jakarta dari Bodetabek untuk bekerja dan keperluan lain. Baru sebagian kecil yang menggunakan angkutan umum. Akibatnya, penggunaan kendaraan bermotor pribadi melimpah ruah dan memicu kemacetan.
Untuk itu, pembangunan perumahan publik di atas pasar, terminal, bahkan di atas sungai disodorkan Ridwan Kamil dan Suswono.
Pada kenyataannya, program tersebut telah dirintis selama beberapa periode gubernur sebelumnya. Membangun rumah susun sederhana sewa sampai rumah dengan uang muka Rp 0 secara massal terbukti tidak dapat dicapai dalam 5 tahun atau satu periode menjabat gubernur-wakil gubernur.
Di sisi lain, sungai-sungai di Jakarta membutuhkan revitalisasi. Isu banjir jauh dari teratasi karena sungai dan drainase kota masih buruk, parkir air dan ruang terbuka hijau belum mencukupi. Diharapkan, gagasan perumahan di atas sungai mempertimbangkan kepentingan revitalisasi sungai, bukan sekadar lontaran menggaet dukungan di awal dan kemudian berakhir dengan satu atau dua program percontohan.
Terkait penataan area kumuh, semua gubernur terbatas langkahnya pada pengentasan di area tertentu saja. Itu pun terhitung hasilnya baru secuil kecil dibandingkan dengan 450 RW kumuh di Jakarta sesuai data Badan Pusat Statistik 2023.
Baca juga: Agenda Tersembunyi dan Argumen terhadap Kritik Pemindahan Ibu Kota
Tawaran wacana lain yang ramai dibahas publik adalah fasilitas mobil keliling berisi pemuka agama dan psikolog. Fasilitas mobil curhat itu untuk mendekatkan orang yang tepat sebagai teman, pendengar, sekaligus penyumbang saran pereda stres warga kota.
Jikalau memang tidak ada yang benar-benar baik, setidaknya kita bisa memilih yang terbaik di antara yang terburuk secara logis dan sadar atas konsekuensinya.
Warganet sigap menanggapi. Mereka menyatakan tekanan yang dihadapi kaum urban dipicu hal berbeda-beda. Jika dikaitkan dengan isu besar kota, di antaranya, warga stres karena kemacetan parah yang dipicu angkutan umum belum tertata baik dan belum bisa diandalkan dari semua sisi. Warga tertekan karena pekerjaan berupah memadai makin sulit didapat, pemutusan hubungan kerja pun tinggi.
Muncul pertanyaan, mengapa tidak langsung saja mengatasi penyebab stres? Seberapa banyak pemerintah daerah mampu mengadakan mobil curhat untuk 10 juta lebih warganya? Bagaimana jika mobil curhat justru terjebak macet? Bisa-bisa malah ikutan stres.
Mari beralih ke pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana.
Publik belum terlalu mengenal keduanya. Namun, Dharma-Kun menarik perhatian kala timnya mencatut nama dan nomor induk kependudukan banyak warga Jakarta dan non-Jakarta sebagai pendukung mereka maju sebagai calon gubernur-wakil gubernur lewat jalur independen.
Sampai saat ini, belum ada kelanjutan penanganan kasus yang disinyalir bisa masuk ranah pidana tersebut. Dalam pernyataan resmi ke media massa, Dharma menyatakan pencatutan nama dan NIK itu di luar sepengetahuannya.
Baca juga: Hidup ”Ojol”, yang Dulu Sampingan Kini Sandaran
Kini, Dharma-Kun tetap melenggang menjadi calon pemimpin Jakarta dengan mengusung tiga program utama. Seperti dikutip dari Kompas.com, Dharma-Kun akan menggratiskan pemakaian JIS dengan syarat jika ada dana membuat warga Jakarta aman dan tak terintimidasi alias aman jiwa perut kenyang serta menyejahterakan pekerja.
Menyimak janji-janji para calon tersebut, sebagian warga jatuh hati dan sebagian lagi apatis.
Meminjam judul lagu Bernadya, ”Kata Mereka Ini Berlebihan”, cocok menggambarkan teriakan sebagian warga lainnya yang geram dengan kata-kata manis para politisi itu. Mereka menggugat calon pemimpin Jakarta agar lebih natural, jujur, mau belajar memahami duduk perkara isu-isu berat, dan menawarkan solusi.
Omong kosong
Dalam tulisan opininya di The Guardian, kolumnis Aditya Chakrabortty menyatakan bahwa publik atau warga pemilik suara selama ini terbiasa menjadi sasaran politisi yang berbohong dan yang berkata omong kosong.
”Ada (politisi) yang tidak pernah berkata yang sebenarnya karena memang tidak tahu. Ada yang berbohong walaupun ia tahu yang sebenarnya,” kata Chakrabortty.
Sosok Donald Trump dan Boris Johnson adalah salah dua dari banyak politikus menurutnya suka bicara yang tidak sebenarnya. Mantan Presiden Amerika Serikat yang kini mencalonkan diri kembali bersama mantan Wali Kota London dan sempat menjadi Perdana Menteri Inggris itu tokoh politikus populer dunia yang banyak mengundang kontroversi publik dengan sikap maupun perkataannya.
Baca juga: ”Gak Bisa Yura”, Bersepeda Listrik di Jalan Raya Itu Berbahaya
On Bullshit, buku karya filsuf Harry G Frankfurt, menjelaskan, teori omong kosong adalah merangkai ide ke dalam kata-kata dengan konsep atau strategi tertentu kemudian diterapkan dalam komunikasi massa untuk memuluskan tujuan seseorang. Menurut Frankfurt, omong kosong yang disiapkan dengan cerdas itu bertujuan persuasif tanpa mempertimbangkan kebenaran ataupun kepentingan publik.
Politisi, selebritas, pemengaruh, dan tokoh masyarakat biasa, menggunakan teknik ini untuk memanipulasi serta memastikan kelompok pendukungnya terjaga loyalitasnya.
Mereka peduli hanya pada kepentingannya, seperti pemimpin yang terus korupsi dan mengabaikan pembangunan fasilitas publik mendasar yang dibutuhkan warga. Atau, sengaja menggunakan program populer yang tak menyelesaikan masalah akut, tetapi ampuh sebagai umpan pengikat pendukungnya.
Baca juga: Anne Hidalgo yang Dihujat karena Menghijaukan Paris dan Olimpiade
Agar tidak terus tertipu dan menjadi loyalis yang terbutakan kata-kata manis penuh kebohongan, pemilik suara mau tak mau harus menjadi lebih cerdas. Mari telisik sendiri segala sisi calon-calon pemimpin.
Jikalau memang tidak ada yang benar-benar baik, setidaknya kita bisa memilih yang terbaik di antara yang terburuk secara logis dan sadar atas konsekuensinya. Tak perlu tinggi-tinggi melambungkan harapan, apalagi sampai berseteru dengan sesama warga.
Ingat saja senandung Bernadya, ”Untungnya, kupilih yang lebih susah//Untungnya, kupakai akal sehat//Untungnya, hidup terus berjalan//Untungnya, ku bisa rasa//Hal-hal baik yang datangnya belakangan".
Baca juga: Catatan Urban