Dokter hingga Komika, Mana Calon Pemimpin Daerah Pilihanmu?
Bakal calon pemimpin daerah bermunculan. Yang lucu, muda, profesional, dan berpendidikan pun bertarung.
Menjelang pemilihan kepala daerah, muncul sosok-sosok yang mulai menjadi perbincangan publik di tengah kancah perebutan kursi pemimpin kota, kabupaten, dan provinsi.
Di aglomerasi Jabodetabek, beberapa tokoh diisukan diusung menjadi bakal calon wali kota hingga gubernur. Ada yang memang politisi senior atau petahana. Ada pula wajah-wajah baru dari berbagai berprofesi, termasuk dokter, pebisnis, dan komedian.
Wajah-wajah tersenyum cerah para bakal calon itu kini berjejer di tepi jalan dalam poster, baliho, dan spanduk. Di media sosial, ”serdadu” berbekal jari mulai riuh mengangkat pembicaraan tentang sosok yang didukungnya.
Kota Tangerang Selatan di Banten sempat ramai dibicarakan di jejaring media sosial X pada Jumat (21/6/2024). Keramaian itu dipicu pengumuman salah satu partai politik yang mengusung seorang komika minim pengalaman politik sebagai bakal calon wali kota Tangsel.
Dari laman Kompas.com disebutkan alasan partai, di antaranya, karena yang bersangkutan mewakili generasi muda dan berdaya juang tinggi. Ia mampu merintis karier dari nol hingga berhasil saat ini.
Suara positif muncul mendukung sang komedian. Apalagi, sudah menjadi tren sejak lama bahwa selebritas lokal ataupun level nasional putar haluan menjadi wakil kepala daerah, kepala daerah, ataupun wakil rakyat di kota, kabupaten, provinsi, hingga tingkat pusat meskipun kontribusinya tidak menonjol. Bahkan, ada yang kemudian mundur dari posisinya sebelum tugasnya berakhir karena alasan ketidakcocokkan bekerja sama dengan pasangan politiknya. Di dunia internasional hal sama terjadi.
Volodymyr Zelensky adalah pelawak yang kini menjadi Presiden Ukraina. Pelawak Jimmy Morales menjadi Presiden Guatemala pada 2016. Di dalam negeri, pada pemilu legislatif yang baru saja berlalu, Komeng yang bernama asli Alfiansyah Bustomi lolos menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah mewakili Daerah Pemilihan Jawa Barat. Ada beragam analisis mengenai fenomena itu, di antaranya publik sudah sedemikian sumpek dan bosan dengan realitas politik sehingga memilih ”bercanda” dalam menentukan masa depan pemimpin layanan publik.
Baca juga: Ilusi Sukses di Masa Muda yang Menyuburkan Diskriminasi Umur
Atas fenomena saat ini, banyak pula yang menyayangkan munculnya bakal calon wali kota yang nihil pengalaman memimpin, apalagi mengelola kota. Ada yang dengan tegas meminta warga Tangsel tidak memilih komedian.
”Tangsel tidak sedagelan itu kawan untuk pilih pemimpin,” tulis salah satu akun di X lewat unggahannya.
Keramaian serupa muncul di Kota Bogor, Jawa Barat. Di sana, seorang dokter mendapat sokongan dari salah satu parpol untuk menjadi bakal calon wali kota Bogor.
Para pendukung melihatnya sebagai sosok berpendidikan tinggi, relatif masih muda, dan secara fisik dinilai menarik. Slogan yang diusung adalah menciptakan warga dan kota sehat yang merebut perhatian publik.
Kritik yang berkembang, di antaranya, mencermati ketidakjelasan strategi mencapai kota sehat karena penataan kawasan urban bukan sekadar membuatnya terlihat cantik. Realitasnya lebih rumit lagi.
Seperti para selebritas atau komedian, dokter dan kaum profesional lainnya yang banting setir menekuni dunia politisi bukan kali ini saja terjadi. Banyak dari mereka yang berhasil menerapkan ilmu dan keahliannya dalam mengelola kota, bahkan negara.
Baca juga: Jaket! Rata! Gelegar ”Thrifting” Tetap Menyala di Pasar Senen
Di sisi lain, tidak sedikit yang tidak berhasil mencoba peruntungan di dunia politik walaupun telah memiliki modal berupa ketenaran, keahlian, juga uang.
Jadi, apa sebenarnya modal utama agar seseorang bisa menjadi pemimpin daerah, lebih khusus mengelola kota yang berhasil?
Kompleksitas kota
Dalam ”City Leadership” bagian dari buku Public Values for Cities and City Policy (2021), Jari Stenvall dan keempat rekannya menjabarkan bahwa kota merupakan sebuah konteks yang majemuk dan kompleks. Ada beragam identitas di dalam suatu kota dengan makna dan tujuan hidup berdampingan sekaligus saling bergesekan satu sama lain setiap harinya. Ya, setiap hari!
Kota lebih jauh dijelaskan sebagai ruang di mana komunitas terbentuk, berkembang, dan melekat. Norma-norma terbentuk dan sering kali dibuat ulang. Mereka tersegmentasi secara spasial dalam kaitannya dengan kekayaan, ras, sejarah, dan dinamika antarbudaya. Pertumbuhan kawasan menghancurkan dan membentuk kembali struktur dan jaringan sosial. Legitimasi institusi terus ditantang merespons berbagai kompleksitas itu.
”Jika kita melihat kota sebagai sistem adaptif yang kompleks, terdiri dari berbagai ekosistem aktivitas ekonomi, sosial, dan politik, model administrasi publik dan tata kelola yang ada (sekarang) belum memenuhi kebutuhan itu,” tulis Stenvall dan timnya.
Baca juga: Oh Rocket Man, Ini ”Lanyard”-ku, Mana ”Lanyard”-mu
Apalagi, di dunia politik, nasional ataupun internasional, pemimpin kota sering kali dilihat sebatas batu pijakan untuk naik ke jenjang berikutnya. Menjadi gubernur atau bahkan presiden saat ini adalah target para wali kota selanjutnya. Warga kota amat dibutuhkan, terutama suaranya, guna memuluskan calon pemimpin mencapai tujuan.
Langkah praktis dan instan untuk meraup dukungan pun menjadi kecenderungan pilihan pemimpin yang memulai debutnya di tingkat kota. Mereka lebih banyak menggunakan slogan kampanye dan program kerja populis yang bisa mempercepat kenaikan popularitasnya.
Mereka, misalnya, mengklaim pro rakyat dengan menjamin harga bahan pokok tetap murah. Namun, yang dilakukan lebih banyak membuat bazar pangan murah yang berdampak sesaat ketimbang membangun dan mengelola sistem jaringan pasokan pangan dengan menjalin kerja sama lintas daerah secara lebih luas.
Mereka, misalnya, berteriak di atas panggung atau memasang spanduk dan poster bergambar dirinya yang bertuliskan pernyataan akan mewujudkan kota nyaman dan aman bagi warganya. Seakan-akan mewujudkan semua itu gampang.
Namun, sesuai data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, baru 5 persen dari 552 pemerintah daerah di Indonesia memulai membenahi transportasi publik. Dari 5 persen itu, bisa dihitung dengan jari yang benar-benar telah membangun jaringan angkutan umum memadai.
Jika kita melihat kota sebagai sistem adaptif yang kompleks, model administrasi publik dan tata kelola yang ada belum memenuhi kebutuhan itu.
Di kala kota-kota di Indonesia gencar mempercantik kotanya, penanggulangan bencana yang rutin datang, seperti banjir dan kekurangan air bersih, berjalan lambat di mana-mana. Bahkan, untuk mengelola sampah warga pun tidak semua daerah siap dan mampu. Ujung-ujungnya mengambinghitamkan anggaran. Haloo... di mana janji mewujudkan rasa nyaman warga?
Kompleksitas kota kerap kali digunakan sekedar untuk melihat kelompok-kelompok yang berseberangan. Bakal calon pemimpin kemudian berupaya untuk berdiri di kelompok mayoritas atau yang memiliki kantong suara besar agar terlihat memihak kepada masyarakat.
Lebih jeli
Lalu, di manakah peran kita, warga masyarakat? Agar kursi pemimpin daerah tak sekedar menjadi batu pijakan para pencari kekuasaan yang minim visi mewujudkan daerah yang semakin ideal, masyarakat perlu jeli memilih calon yang tepat.
Ada beberapa tips yang disarankan oleh Centre for Public Impact (CPI) terkait hal tersebut. Tips yang sebenarnya diperuntukkan agar pemimpin daerah berhasil membangun wilayahnya menjadi lebih baik ini cocok pula menjadi acuan masyarakat untuk menilai calon ataupun mereka yang telah menduduki kursi wali kota, bupati, hingga gubernur.
Hal paling dasar yang bisa dilakukan adalah memahami bahwa di masa sekarang dan ke depannya ada peningkatan kebutuhan atas infrastruktur kota seiring urbanisasi bergerak cepat dan dalam waktu dekat lebih dari 50 persen penduduk dunia tinggal di perkotaan.
Baca juga: Di Balik Antre Bahagia ”Salt Bread” hingga ”Merchandise” BTS
Sebagai dampak ikutan dari membesarnya kota, pelayanan publik mendesak untuk diperluas dan makin beragam jenisnya. Ada penanganan sampah, tata ruang, hunian untuk masyarakat kelas menengah ke bawah, ketersediaan bahan pokok, transportasi publik, air bersih, sistem sanitasi, layanan kesehatan, pendidikan, dan banyak lagi. Seiring itu semua, tuntutan penyediaan lapangan kerja juga naik tajam.
Transportasi publik memainkan peran kunci karena membuat aliran orang dan barang dapat melaju lancar. Untuk itu, kota butuh dibangun pro pejalan kaki, pesepeda, dan pengguna angkutan umum. Lalu lintas kota berbasis mobil pribadi harus ditinggalkan jauh-jauh.
Selanjutnya, memastikan era keterbukaan dan transparansi berbasis data akurat dilakukan dengan benar yang dibantu digitalisasi di semua layanan publik. Sistem terpadu berbasis digital yang mudah diakses siapa saja dibutuhkan, bukan setiap badan atau instansi memiliki situs atau aplikasi terpisah.
Atasi tantangan
Demi mewujudkan hal-hal tersebut di atas, butuh pemimpin yang bisa menghilangkan sekat penghambat komunikasi dan koordinasi antarinstansi, antara pemerintah dan masyarakat, juga dengan pihak swasta. Mereka yang masih yakin menjadi partisan kelompok tertentu bakal lolos menjadi pemimpin, jelas bukan orang yang tepat sebagai orkestrator kota masa kini, apalagi kota masa depan.
Jangan pilih orang antiteknologi karena pemimpin yang baik dan berwawasan berpikiran terbuka, mau berdialog, mau mencoba, dan berproses untuk terus belajar.
Baca juga: Menikmati Hidup Tanpa Melakukan Apa-apa ala ”Niksen”
Siapa pun dan apa pun latar belakang calon pemimpin, mereka harus berani membuat target pembangunan yang bisa diawasi langsung masyarakat. Pembangunan 1.000 situ dan taman kota dalam lima tahun, misalnya, untuk menghijaukan kota, mengurangi polusi udara, sekaligus menanggulangi banjir dan menambah ketersediaan pasokan air bersih. Atau, pembangunan koridor bus kota di ruas jalan yang paling sering macet.
Terakhir, tentunya harus mampu mengimplementasikan programnya kala sudah meraih kursi pemimpin daerah. Untuk itu, jika janji-janjinya kepada warga sejak masa kampanye adalah program yang terukur, masyarakat bisa dengan mudah mengawasi dan menagih realisasinya. Jika normatif dan tak terukur, patut diduga tidak punya visi.
Jadi, mencari pemimpin kota bukan soal komika atau dokter, yang lucu dan berdaya juang atau berpendidikan tinggi, atau gantengnya selangit. Akan tetapi, para bakal calon yang memang ”menginjak bumi”, punya rekam jejak karya yang mencerminkan tanggung jawab dan kompetensi mengelola sebuah organisasi dengan menawarkan jawaban atas tantangan perkotaan melalui program-program realistis. Itu saja.
Persoalan perkotaan tidaklah seperti sebuah naskah skenario yang selesai di atas kertas atau panggung hiburan. Jelas bukan.
Baca juga: Catatan Urban