Sastra (Tak) Masuk Kurikulum
Program Sastra Masuk Kurikulum adalah keniscayaan. Sayangnya, Kemendikbudristek hanya merekomendasikan buku.
Ilustrasi
Pada 2020, saya mengikuti Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia (Munsi 3) yang diselenggarakan oleh Badan Bahasa. Adapun saran saya saat itu pada pleno dan pematangan rekomendasi adalah mendekatkan sastra pada pembelajaran, khususnya Bahasa Indonesia.
Saran itu muncul sebab pada Kurikulum 2013 (K-13), topik kesusastraan dalam bahasa Indonesia dibuat sangat minim. Dari delapan bab dalam satu tahun pelajaran untuk tiap tingkatan di kelas SMA (X, XI, XII), misalnya, hanya satu bab yang berkaitan dengan sastra. Materi ini kiranya mesti diperbarui supaya berliterasi di sekolah kita makin berdenyut.
Akan tetapi, seperti K-13, pada Kurikulum Merdeka, tampaknya sastra pun belum didekatkan pada pembelajaran. Kenyataan ini merupakan sebuah ironi. Betapa tidak? Sejak era Merdeka Belajar dibuat, kita ingin fokus mengembangkan literasi. Bahkan, pada Asesmen Nasional, literasi dibuat menjadi salah satu fokus utama.
Hal itu sebagai jawaban singkat supaya geliat literasi kita semakin deras. Pasalnya, berbagai fakta buram literasi kita sudah tak bisa dibantah. Pada 2016, The World’s Most Literate Nations 2016 menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara. Kita hanya unggul atas Botswana, negara kecil yang tertinggal di Afrika.
Baca juga: Meningkatkan Literasi dengan Fiksi
Sekaitan dengan itu, menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization/UNESCO), indeks membaca kita adalah 0,001. Artinya, dari 1.000 masyarakat Indonesia, hanya satu orang yang membaca secara serius. Maka itu, dikutip dari Agus Fitrianto, budaya membaca siswa kita (khususnya SMA) tampak begitu menggetirkan, yaitu hanya nol judul buku setiap tahun (Kompas, 10 Agustus 2021).
Hal ini jauh berbeda dengan siswa-siswa sederajat dari negara-negara maju: Jerman (indeks membacanya 32), Belanda (30), Rusia (12), dan Jepang (15). Dengan negara tetangga sesama Melayu, kita juga kalah dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia (6).
Membenihkan
Seharusnya Merdeka Belajar melalui Kurikulum Merdeka mesti mendekatkan sastra pada pelajaran. Nyatanya, Kurikulun Merdeka kelihatan belum mengerti apa kegunaan sastra pada anak didik. Hingga kemudian, pada 20 Mei 2024, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) meluncurkan program bertajuk ”Sastra Masuk Kurikulum”.
Saya mengikuti kegiatan ini atas nama antusiasme. Saya pun mengunduh buku panduannya setebal 768 halaman. Pada kata pengantar, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan memulai dengan kalimat berikut: salah satu tujuan Kurikulum Merdeka adalah menumbuhkan literasi membaca murid.
Dijelaskannya kemudian tentang tingkatan literasi membaca. Konon, tingkatan paling puncak literasi adalah munculnya dialog kritis dan reflektif. Di tingkat ini, sang pembaca menempatkan tafsir yang diajukan oleh penulis sebagai satu versi dari sekian banyak alternatif yang mungkin diajukan tentang tema bahasan.
Membaca pada tingkat ini bisa menjadi pengalaman transformatif. Yang diperoleh pembaca tidak hanya pengetahuan, tetapi juga pemahaman akan beragam perspektif, pengalaman emosional, dan nilai-nilai (values) yang baru. Dengan kata lain, membaca pada tingkat ini dapat mengasah empati dan menjadi bagian dari pendidikan karakter.
Seharusnya Merdeka Belajar melalui Kurikulum Merdeka mesti mendekatkan sastra pada pelajaran.
Secara filosofis, memang begitulah adanya hakikat membaca: menanamkan dan menajamkan pola pikir kritis, bahkan rasa. Dengan begitu, tidak ada yang instan dalam membaca karena akan mencakup aktivitas pengenalan kata, pemahaman literal, interpretasi, membaca kritis, dan pemahaman kreatif (Rahim, 2008).
Dalam istilah David Mc Clelland, sebagaimana terangkum dalam buku Arief Budiman yang berjudul Teori Pembangunan Dunia Ketiga, membaca itu bagaikan membenihkan ”virus prestasi”. Virus inilah, menurut David Mc Clelland, yang membuat Inggris jauh lebih maju daripada Spanyol sejak abad ke-6 meski pada saat itu mereka sama-sama maju.
Diketahui, sejak abad ke-16, kedua negara ini (Inggris dan Spanyol) memang menjadi berbeda. Sebagai seorang psikolog, David Mc Clelland sangat penasaran sehingga akhirnya membuat penelitian tentang mengapa ada bangsa tertentu yang rakyatnya bekerja keras untuk maju, sementara bangsa lain tidak.
David Mc Clelland akhirnya mengetahui bahwa faktor penentu terletak pada muatan buku. Pasalnya, muatan buku di Inggris pada awal abad ke-16 mengandung, mengutip bahasa Agus M Irkham (Tempo, 2/9/2014), semacam virus yang menyebabkan pembacanya terjangkiti penyakit ”butuh berprestasi”.
Sementara itu, cerita anak dan dongeng yang ada di Spanyol didominasi oleh cerita romantis, lagu-lagu melodramatis, dan tarian yang justru membuat penikmatnya lunak hati, meninabobokan. Dalam hal ini, muatan cerita pada buku sangat menginspirasi sebuah bangsa.
Menariknya, penelitian tentang pengaruh muatan buku terhadap kemajuan bangsa tidak hanya terjadi pada Inggris dan Spanyol. Dari pengalaman David Mc Clelland mengumpulkan 1.300 cerita anak-anak dari banyak negara dari era 1925 dan 1950 disimpulkan bahwa cerita anak-anak sangat menginspirasi kemajuan suatu negara.
Secara lebih spesifik, cerita yang mengandung nilai achievement yang tinggi pada suatu negeri akan diikuti oleh adanya pertumbuhan yang tinggi pula pada negeri itu dalam kurun waktu 25 tahun kemudian. Hal inilah yang semestinya menjadi perhatian bangsa kita.
Fakta bahwa sejak 2016, kita telah resmi mendenyutkan gerakan literasi. Hal itu menyusul pada buruknya hasil survei literasi dari skor Programme for International Student Assessment atau Program Penilaian Pelajar Internasional (PISA) sejak 2009, 2012, hingga 2015. Pada 2009, skor literasi kita berada pada angka 402. Saat itu, rerata global adalah 493. Pada 2012, hasil PISA kategori literasi kita adalah 396, di bawah rerata global (492).
Baca juga: Melek Literasi, Dobrak Jendela Dunia
Pada saat itu, siswa kita dimasukkan sebagai siswa paling bahagia di dunia. Melihat realitas itu, Elisabeth Pisani, peneliti berkebangsaan AS, tanpa ragu menyebut bahwa siswa-siswa kita adalah manusia bodoh yang bahagia.
Sementara itu, pada 2015, skor kita adalah 397, hampir 100 poin dari rerata global (493). Hasil tahun 2015 bisa menjadi titik krusial karena pada tahun tersebut akan menjadi tahun terakhir sebelum Gerakan Literasi Nasional (GLN) digalakkan pada 2016. Idealnya, kita mesti mendapatkan peningkatan indeks literasi pada periode berikutnya. Faktanya, hasil PISA pertama setelah GLN digalakkan (2018), skor literasi kita justru menurun menjadi 371, di bawah rata-rata perolehan dunia (487).
Miris
Artinya, ada kecenderungan bahwa setelah GLN digalakkan yang tentu tidak menghabiskan sedikit biaya, justru menghasilkan kemunduran. Apalagi pada periode berikutnya, kita semakin intens melakukan gerakan literasi. Celakanya, pada 2022, skor literasi kita juga menurun 12 poin dari hasil periode sebelumnya dan global 18 poin. Jarak poin kita dengan rerata global tetap tinggi.
Jika harus dirunut lebih dalam, kita akan melihat berbagai fakta buruk tentang literasi, baik dari data PISA, PIRLS, maupun TIMS. Hal itu masuk akal saja sebenarnya karena gerakan literasi kita tidak benar-benar mengajak anak didik untuk membaca, apalagi berdiskusi.
Alih-alih siswa, bahkan guru pun demikian. Menurut penelitian Anita Lie (Kompas, 5/3/2019), hampir separuh sampel guru bahasa Indonesia tak bisa menulis tiga paragraf esai. Bahkan, masih ada guru yang tak mengerti apa itu ”paragraf”. Dengan logis tentu kita bisa mengkritik: jika profil gurunya saja masih jauh dari semangat berliterasi, konon lagi siswanya?
Jadi, tak bisa dibantah, program ”Sastra Masuk Kurikulum” adalah keniscayaan. Sayangnya, setelah membaca buku panduan dari program tersebut, penjabaran teknis ”Sastra Masuk Kurikulum” terasa hambar dan tidak aplikatif. Kemendikbudristek hanya merekomendasikan buku.
Baca juga: Rujukan Buku Sastra Masuk Kurikulum Dinilai Ada yang Tidak Layak
Pertanyaannya: seberapa efektif rekomendasi ini jika kemudian sastra tak benar-benar masuk pada jam pelajaran? Pertanyaan ini sangat logis. Sebab, dari dulu, rekomendasi seperti itu sudah ada. Bahkan, sudah ada kewajiban membaca 15 menit sebelum belajar. Namun, gerakan membaca ini sangat kering dan bahkan tak terukur sama sekali.
Kini, dengan adanya program ”Sastra Masuk Kurikulum”, pemerintah hanya berhenti pada sensasi dan jauh dari esensi. Betapa tidak? Kemendikbud hanya membuat daftar buku yang direkomendasikan. Kemendikbud hanya sebatas agen penjual buku bukan?
Percayalah, tanpa ada ketegasan, hampir bisa dipastikan buku itu tak akan pernah dibeli sekolah melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), apalagi dibaca. Dalam kacamata berpikir seperti inilah, maka dengan berat hati saya akan membuat klaim lebih awal bahwa program ini tidak akan berjalan dengan baik untuk tidak mengatakan tak akan berguna sama sekali.
Selama tidak ada intervensi pada jam mata pelajaran sastra, percayalah, anak didik kita tak akan melek literasi. Kita hanya mengulang peristiwa sensasi di mana gerakan literasi berhenti sebatas pameran gerobak baca atau lomba hias mading: sensasional. Dan, akhirnya, sastra tetap tak masuk kurikulum. Miris!
Riduan Situmorang, Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Doloksanggul; Guru Pengajar Praktik PGP Humbang Hasundutan; Koordinator P2G Humbang Hasundutan