Menggagas Penguatan Parpol Pascaputusan MK
Penerapan ambang batas perlu dikontekstualisasi sebagai peluang penyederhanaan sistem kepartaian yang efektif.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengamanahkan agar pembuat undang-undang, yakni DPR, mengubah norma ambang batas 4 persen bagi partai politik sebagai syarat perolehan kursi DPR (Kompas, 1/3/2024) menimbulkan pertanyaan terkait masa depan desain penyederhanaan parpol.
Argumen bahwa konsekuensi penerapan ambang batas menyebabkan puluhan juta suara pemilih tak terkonversi atau tak terakomodasi dalam sistem perwakilan menjadi titik tolak peninjauan penerapan ambang batas tersebut (Kompas, 2/3/2024). Konsekuensi penerapaan ambang batas menghasilkan kuantitas suara pemilih terbuang (abandoned votes) karena tidak terakomodasi akibat norma ambang batas.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dalam beberapa kajian, pro dan kontra soal penerapan ambang batas cenderung dikorelasi dengan kebutuhan ideal untuk menghasilkan sistem kepartaian stabil disertai pilihan sistem pemilu yang sederhana (Taagepera, 2007; Norris, 2004).
Dua faktor tersebut tampaknya tak mudah diimplementasikan di Indonesia pasca-Orde Baru selama hasrat elite untuk mendirikan parpol tetap tinggi setiap menjelang pemilu. Melalui parpol yang didirikan, elite mengonversi infrastruktur partai, seperti massa dan jaringan, sebagai struktur oportunitas menggapai posisi kekuasaan dan melakukan tawar-menawar kekuasaan.
Baca juga: Rekayasa Ambang Batas Parlemen
Sebagai ancangan argumentasi, layak dikutip Lipjhart (1995) bahwa setiap sistem politik memiliki otonomi dalam menentukan pilihan sistem pemilu untuk menghasilkan representasi politik perwakilan yang ”paling demokratis”. Pilihan sistem pemilu tersebut mengandung empat elemen, yaitu sistem pemilihan (electoral formula) dengan pola mayoritas atau proporsionalitas; besaran alokasi kursi dalam distrik pemilihan (district magnitude), ambang batas (threshold), dan penyuaraan (balotting).
Dalam konteks pasca-Orba, keempat elemen tersebut hadir dalam eksperimen demokrasi multipartai. Pada Pemilu 1999 dipilih formula pemilihan proporsional daftar tertutup, dengan pemilih memilih tanda gambar parpol.
Model proporsional ini menawarkan banyak wakil dalam daerah pemilihan. Pemilih mencoblos lambang parpol dan perolehan kursi parpol didelegasikan kepada calon teratas dalam daftar nomor urut calon. Begitu pula soal norma ambang batas, ditentukan 2 persen (1999), 3,5 persen (2004), dan 4 persen (2009, 2014, 2019, dan 2024).
Selain penerapan ambang batas, penyederhanaan kepartaian dapat juga melalui penataan jumlah alokasi kursi pada daerah pemilihan.
Prinsipnya, ambang batas dimaknai sebagai upaya untuk menghasilkan efektivitas sistem kepartaian sederhana. Namun, jika dimaknai menghasilkan negative democracy karena adanya suara terbuang, dapat dicari norma baru untuk menghasilkan representasi bagi akomodasi suara terbuang.
Misalnya diterapkan metode penggabungan suara bagi parpol minoritas. Selain penerapan ambang batas, penyederhanaan kepartaian dapat juga melalui penataan jumlah alokasi kursi pada daerah pemilihan. Namun, penataan ini akan kompleks karena dibutuhkan kajian dan penataan total besaran kursi di seluruh daerah pemilihan.
Tulisan ini mengkaji konsekuensi elektoral pascaputusan MK dalam tiga aspek, yaitu arah kompetisi kepartaian, kualitas pengelolaan organisasi partai, dan alternatif penyuaraan baru. Tiga aspek ini ditempatkan sebagai cost of electoral dari suatu penerapan ambang batas tertentu.
Arah kompetisi kepartaian
Putusan MK soal pengubahan norma ambang batas 4 persen sebagaimana tertulis pada Pasal 414 butir 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2027 tentang Pemilu justru akan menyandera DPR. Konstelasi politik DPR yang terdiri atas wakil-wakil parpol hasil Pemilu 2024, beberapa di antaranya berada pada margin kritis di atas ambang batas 4 persen.
Tantangan-tantangan Pemilu 2024 akan menjadi titik tolak parpol kecil dan menengah untuk mendukung norma ambang batas yang lebih kecil sehingga membuat mereka dapat terwakili di DPR pada Pemilu 2029. Sebaliknya, parpol mapan akan berada dalam posisi konservatif dengan mempertahankan ambang batas tertentu demi kemapanan transaksional mereka dalam proses legislasi.
Jika arah legislasi dalam pembahasan norma ambang batas membuka opsi adanya norma ambang batas di bawah 3 persen, akan terjadi tiga kemungkinan. Pertama, arah kompetisi elektoral semakin inklusif terhadap partai-partai minoritas. Kedua, parpol mapan atau besar akan menghadapi arena pasar bebas transaksional politik legislasi yang lebih kompleks seiring kehadiran partai minoritas. Ketiga, akan terjadi aliansi dalam format faksi-faksi politik baru di DPR yang dilandasi kepentingan politik pragmatis.
Artinya, jika DPR membuat norma baru ambang batas di bawah 4 persen atau bahkan ekstremnya membuat norma ambang batas 0 persen, akan menambah kuantitas parpol dalam representasi kursi di DPR. Dalam konteks demokrasi inklusif, pengurangan ambang batas akan menguntungkan partai-partai minoritas. Partai besar dan kecil akan sama kedudukannya dalam mengakses sumber-sumber politik yang selama ini dikuasai partai-partai mapan.
Baca juga: Utak-atik Ambang Batas Parlemen
Dari aspek representasi demokrasi, ambang batas kecil akan membuka kesempatan parpol kecil terwakili dalam DPR. Formasi fraksi dan faksi politik baru akan muncul. Sistem kepartaian akan bergerak menuju interaksi elektoral yang makin plural pada tingkat nasional, tetapi dengan risiko akan mempersulit desain penyederhanaan sistem pemilu yang efektif.
Karena itu, penerapan ambang batas tidak harus dipandang dari aspek negative democracy. Penerapan ambang batas perlu dikontekstualisasi bukan sebagai metode penyiasatan pengabaian hak-hak politik parpol minoritas. Sebaliknya, ambang batas sebagai peluang kelembagaan bagi penyederhanaan sistem kepartaian yang stabil dan efektif.
Kesimetrisan antara ambang batas tertentu dan stabilitas interaksi dalam sistem kepartaian juga akan memberi efek kompetisi elektoral yang lebih pasti. Selain itu, pemenang pemilu akan percaya diri membentuk pemerintahan yang solid tanpa berupaya menggalang koalisi besar dengan parpol-parpol lain.
Jika pembuat UU, yaitu DPR, menurunkan persentase pada batas yang ekstrem, jelas akan memberi insentif bagi parpol-parpol kecil untuk menempatkan wakil di DPR. Data rekapitulasi nasional hasil suara Pemilu 2024 dari KPU menunjukkan partai yang perolehan suaranya di bahwa 4 persen adalah Partai Buruh, Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Garda Republik Indonesia (PGRI), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Ummat.
Besaran norma ambang batas sangat bergantung kepada konstelasi dan proyeksi untung rugi kekuatan politik parpol di DPR.
Apakah mereka akan diuntungkan pada Pemilu 2029 dengan adanya perubahan norma ambang batas sebagaimana direkomendasi oleh putusan MK? Hal ini tentu bergantung pada transaksi-transaksi kepentingan soal besaran ambang batas yang akan dibuat DPR mendatang.
Besaran norma ambang batas sangat bergantung pada konstelasi dan proyeksi untung rugi kekuatan politik parpol di DPR. Jika DPR ”menyepakati” norma baru ambang batas di kisaran 3–3,5 persen, artinya tidak menyalahi putusan MK karena MK hanya meminta agar pembuat UU, yaitu DPR, meninjaunya kembali.
Namun, demi desain penyederhanaan kepartaian dan strategi untuk menghasilkan pengorganisasian partai yang lebih kuat dan melembaga, ambang batas tetap diperlukan. Dalam konteks ini dibutuhkan peran wakil rakyat di DPR yang konsisten memperjuangkan desain penguatan dan penyederhanaan parpol.
Kualitas pengelolaan partai
Parpol yang bakal tidak lolos mendapatkan kursi di DPR masih punya kesempatan untuk eksis sebagai parpol lokal. Artinya, tanpa ambang batas, kompetisi elektoral pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota bisa menjadi opsi bagi parpol kecil untuk meraih kursi. Tentu saja hal ini harus didukung budaya pengelolaan organisasi parpol yang mampu menghasilkan raihan simpati pemilih.
Dari kasus parpol yang tidak lolos ambang batas 4 persen, dapat dipelajari betapa jaminan nama tenar dan modal pendanaan dalam pemilu tidaklah cukup menjamin parpol mampu menanamkan pengaruhnya pada benak pemilih. Di luar faktor ini dibutuhkan kepiawaian elite parpol untuk fleksibel dan adaptif dalam menjalin relasi dengan sumber-sumber kekuasaan lokal informal.
Kekuasaan lokal informal merupakan riil politik yang ada pada aras lokal. Misalnya, caleg harus sigap dalam memanfaatkan sumber-sumber informal guna menunjang kemenangannya, mulai dari sumber ketokohan, jaringan tim sukses, media sosial, hingga oportunitas politik transaksional ekonomi material.
Adaptasi terhadap sumber-sumber nonparpol ini menandaskan bahwa parpol tidak digerakkan oleh rasionalitas organisasinya, tetapi digerakkan oleh respons aktor personalnya dalam konteks semata untuk kemenangan personal. Artinya, jika nanti DPR membuat norma ambang batas yang berdampak pada kuantitas parpol, bisa diprediksi budaya modernisasi berparpol tidak serta-merta muncul.
Baca juga: Ambang Batas Parlemen yang Tak Terbatas
Prinsip common resource akan makin sengit, semua parpol akan memperebutkan sumber-sumber politik bersama. Hal ini disebabkan tidak ada yang benar-benar pemilih sejati atau pemilih ideologis. Dengan mudahnya pemilih berpindah ke tokoh personal elite, justru makin menegaskan parpol jauh dari institusi yang mengusung konstruk isu-isu yang berasal dari masyarakat.
Fenomena di atas menunjukkan konstestasi elektoral makin berbasis elite superpragmatis. Budaya demokrasi dalam parpol yang seharusnya menjadi penghubung aspirasi rakyat mengalami regresi atau kemunduran karena yang berjalan adalah konstruk elite.
Hal ini berarti parpol tidak menunjukkan jati dirinya sebagai konstruk paradigmatik ideologi yang dibangun atas dasar ide komunal dari apa yang dirasakan publik bangsa. Tak mengherankan prapilpres terjadi koalisi saling mendekat (aligment) dan pecah kongsi (de-aligment).
Penyuaraan baru
Jika norma ambang batas diserahkan ke DPR, ini sudah tepat. DPR akan leluasa memperhitungkan segala aspek guna konsisten memperkuat desain penyederhanaan sistem kepartaian. Bisa saja dalam pembahasan muncul hal-hal baru yang tak terikat dengan norma soal besaran ambang batas. Misalnya, DPR menggagas soal perlunya norma baru terkait penyederhanaan penyuaraan dari coblos partai dan calon ke coblos tanda lambang partai.
Hal ini mengacu kepada kompleksitas implementasi Sirekap sebagai alat bantu informasi penghitungan perolehan suara parpol dan calon yang diunggah ke server KPU. Artinya DPR pun perlu mengevaluasi elemen penyuaraan (balotting) yang ada saat ini, apakah telah menghasilkan kepastian hukum mengingat penghitungan suara berdasarkan rekap suara parpol dan calon membutuhkan akurasi, akuntabilitas, dan transparansi yang otentik dari penyelenggara di TPS. Potensi kerawanan malapraktik sangat terbuka jika mendasarkan pada penghitungan suara hasil coblos parpol dan calon saat ini.
Pembenahan-pembenahan dalam desain penguatan pelembagaan kepartaian tetap harus menjadi prioritas pembuat UU.
Jadi, senyampang nanti DPR akan membuat norma baru soal ambang batas, perlu juga dievaluasi tidak saja desain penyederhanaan partai secara konsisten dipertahankan, tetapi juga perlu dievaluasi potensi-potensi malapraktik model coblos parpol atau calon. Ada dua peluang yang dapat ditempuh.
Pertama, norma pemilihan DPR dilakukan dengan coblos lambang partai dan penetapan calon terpilih berdasarkan nomor urut. Adapun penetapan calon DPRD provinsi, kabupaten/kota tetap berdasarkan suara terbanyak. Hal ini diskemakan untuk mengurangi kerumitan teknis penyelenggaraan penghitungan suara yang rawan malapraktik. Kedua, sebagai konsekuensinya, norma Pasal 422 UU 7/2017 dicabut.
Tanpa mengurangi esensi menuju demokrasi elektoral yang bermartabat dengan pengedepanan pada aspek keterwakilan politik inklusif, pembenahan-pembenahan dalam desain penguatan pelembagaan kepartaian tetap harus menjadi prioritas pembuat UU. Artinya, jangan sampai pembuat UU terjebak dalam kolusi politik yang semata untuk tujuan mengamankan kepentingan-kepentingan politik personal dan oligark elite.
DPR mendatang perlu konsisten berperan sebagai kontrol atas jalannya kekuasaan sehingga adanya opisisi menjadi keniscayaan. Untuk itu, konstruk politik yang perlu diperkuat adalah mengawal agar proses legislasi terkait norma elektoral berjalan transparan.
Kris Nugroho, Kepala Program Studi Magister Ilmu Politik Fisip Universitas Airlangga, Anggota Konsorsium Magister Tata Kelola Pemilu Kerja Sama dengan KPU