Perjuangan Keadilan Global
Peringatan Hari Keadilan Internasional menjadi momentum untuk membangun solidaritas kemanusiaan pada korban-korban hilangnya keadilan sosial, seperti korban pelanggaran HAM yang berlangsung selama republik ini berdiri.
Maria Catarina Sumarsih atau Bu Sumarsih selama 16 tahun konsisten melakukan Aksi Kamisan di depan Istana Negara. Hingga Juli ini, aksi yang dilakukannya sudah mendekati yang ke-780 sejak pertama kali dimulai pada 18 Januari 2007.
Aksi Kamisan dilakukan oleh Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) yang menuntut negara menuntaskan berbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia, seperti Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari 1989, Tragedi Semanggi, Tragedi Trisaksi, dan Tragedi 13-15 Mei 1998.
Konsistensinya Bu Sumarsih melakukan Aksi Kamisan untuk memperjuangkan keadilan bagi anaknya yang menjadi korban Tragedi Semanggi 1998 pernah ditulis oleh harian Los Angeles Times edisi 3 Februari 2022 dengan judul ”An Indonesian mother’s unending-and inspiring-protest to find her son’s killer”. Perjuangan Bu Sumarsih belum juga membuahkan hasil, tetapi dia tak pernah surut untuk terus menyuarakan tuntutan keadilan bagi anaknya dan juga bersolidaritas bagi korban-korban pelanggaran HAM lainnya.
Bu Sumarsih hanyalah salah satu contoh warga negara yang memperjuangkan keadilan di negeri ini. Perjuangan Bu Sumarsih bisa jadi merupakan fenomena gunung es dari menumpuknya kasus pelanggaran HAM dan fenomena maraknya ketidakadilan bagi warga negara di berbagai pelosok republik ini.
Baca juga: Menanti Keadilan Itu Diwujudkan
Bu Sumarsih sedikit beruntung karena aksinya berada di Jakarta dan mendapatkan eksposur yang luas dari media nasional dan bahkan internasional. Sulit membayangkan jika kasus-kasus pelanggaran HAM dan ketidakadilan di tingkat lokal tanpa bantuan media memublikasikannya. Mereka akan menghadapi ancaman ketidakpastian dari hegemoni negara dengan dukungan aparat memperkusi dan mendiskriminasi mereka.
Penulis mengambil sebuah contoh kasus penangkapan 14 aktivis masyarakat adat di Kampung Dingin, Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, pada awal April 2023. Mereka ditangkap polisi karena mempertahankan tanah, sungai, dan ruang hidup mereka dari proyek industri ekstraktif. Kasus seperti ini sesungguhnya banyak terjadi di tingkat lokal, beberapa menjadi isu nasional tetapi lebih banyak menjadi konsumsi pemberitaan lokal saja.
Sebagai fenomena gunung es, Aksi Kamisan merepresentasikan korban-korban ketidakadilan di negeri ini yang tidak bisa bersuara dan terjal dalam memperjuangkan keadilan. Aksi Kamisan ibarat menjadi artikulasi dari suara rakyat yang memperjuangkan keadilan. Bu Sumarsih menjadi corong dan simbol perjuangan keadilan.
Kesadaran global
Setiap 17 Juli diperingati sebagai Hari Keadilan Internasional (World Day for International Justice). Tujuan peringatan ini adalah untuk mempromosikan keadilan kriminal international (international criminal justice). Peringatan ini diawali dengan sebuah konferensi diplomatik di Roma pada 17 Juli 1998 yang kemudian melahirkan Statuta Roma. Statuta Roma mengategorikan empat inti kejahatan internasional, yaitu genosida, kejahatan melawan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
Dalam pandangan penulis, Hari Keadilan Internasional memiliki tiga makna. Pertama, untuk mempersatukan seluruh warga negara global yang ingin mendukung keadilan serta mempromosikan hak-hak korban. Kedua, hal ini sekaligus juga membantu mencegah kejahatan serius dan yang membahayakan perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia. Ketiga, peringatan tersebut kemudian dirayakan dengan menghormati individu yang bekerja untuk mengadvokasi hak asasi manusia para korban yang terkena dampak tindakan kriminal.
Kisah Bu Sumarsih yang gigih selama 16 tahun dengan Aksi Kamisan menjadi contoh bahwa perjuangan menuntut keadilan adalah cermin dari lorong gelap keadilan.
Apa yang menjadi strategis dari berbagai kasus yang terjadi di Indonesia? Kisah Bu Sumarsih yang gigih selama 16 tahun dengan Aksi Kamisan menjadi contoh bahwa perjuangan menuntut keadilan adalah cermin dari lorong gelap keadilan. Rakyat harus berjuang dan berkontestasi mendapatkan keadilan, sementara negara abai dengan hak-hak rakyatnya yang justru seharusnya ditunaikan negara.
Pertanyaan reflektifnya adalah di mana keadilan sosial yang diagung-agungkan kita selama ini? Apakah keadilan sosial hanya sebatas slogan tanpa makna? Apakah keadilan sosial hanya dimiliki kelas oligarki yang berlimpah sumber daya?
Sepanjang Indonesia merdeka, kita kembali mempertanyakan makna keadilan sosial sebagaimana ada dalam Pancasila. Kita perlu meninjau ulang definisi sekaligus praksis keadilan sosial dalam konteks Indonesia saat ini. Jangan-jangan memang kita terjebak dalam mitos dan belenggu sloganisme selama puluhan tahun kita merdeka.
Keadilan sosial menjadi sesuatu yang absurd dan problematik dalam keseharian masyarakat Indonesia. Hal itu menjadi problematik karena beberapa argumen. Pertama, keadilan sosial belum menyentuh pada lapisan masyarakat akar rumput yang menjadi korban kesewenang-wenangan aparatur negara.
Keadilan sosial harus diakui masih didominasi oleh kalangan yang memiliki surplus sumber daya seperti ekonomi. Mereka yang memiliki kapital ekonomi berlebih bisa dengan lebih mendapatkan keadilan. Namun ceritanya akan berbeda jika kaum papa dan renta di pelosok negeri harus menghadapi bagaimana represifnya aparat negara. Keadilan sosial berlangsung secara semu dan rakyat akar rumput belum merasakannya.
Kita menemukan bagaimana rapuhnya keadilan sosial bagi rakyat di negeri ini. Keadilan sosial adalah milik publik tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial ekonomi. Keadilan sosial mengedepankan akses yang adil dan setara terhadap sumber daya untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan bermartabat. Misalnya kita melihat bagaimana fenomena kemiskinan, penderitaan, dan kesulitan hidup rakyat Papua yang terusir dari tanah dan rumah mereka di wilayah pesisir hingga pegunungan akibat konflik bersenjata.
Baca juga: Menagih Janji Keadilan Sosial
Kedua, negara dengan segala otoritas dan sumber daya yang dimilikinya menjadi aktor yang sering kali berhadap-hadapan (vis-à-vis) dengan rakyat jelata yang memperjuangkan hak keadilan mereka. Negara justru yang mendegradasikan perjuangan tersebut dengan praktik-praktik represif seperti penangkapan, kriminalisasi, hingga pemenjaraan. Negara ikut andil dalam merebaknya krisis keadilan.
Harusnya negara berkomitmen untuk perjuangan keadilan rakyatnya tetapi justru malah menyebabkan ketidakadilan semakin akut. Peringatan Hari Keadilan Internasional adalah bagian dari membangkitkan kembali perjuangan dan kesadaran keadilan global sekaligus mendorong negara terus berkomitmen pada keadilan rakyatnya.
Jalan terjal
Keadilan adalah perjuangan kolektif yang menjadi tuntutan global. Di tengah krisis keadilan dan krisis global di negara-negara berkembang, kita memang suram membayangkan keadilan akan terpenuhi dan negara menunaikan tanggung jawabnya. Keadilan menjadikan jalan terjal bagi masyarakat akar rumput mendapatkannya. Masyarakat akar rumput adalah cermin paling mudah sebagai kelompok rentan dan tidak berdaya untuk mendapatkan keadilan bagi diri dan komunitasnya.
Krisis keadilan global ini tecermin dari laporan yang tertuang dalam the Global Risks Report 2023 yang diluncurkan awal tahun 2023. Laporan ini menyajikan hasil survei termutakhir dari Global Risks Perception Survey (GRPS) yang menggunakan tiga kerangka waktu untuk menjelaskan risiko global. Pertama, menggunakan kerangka waktu krisis saat ini, yaitu risiko global yang sudah terungkap pada risiko global yang paling parah yang diperkirakan akan terjadi dalam jangka pendek selama dua tahun.
Kedua, menggunakan kerangka waktu yang mungkin paling parah dalam jangka waktu panjang yaitu 10 tahun. Kerangka waktu ini mengeksplorasi risiko ekonomi, lingkungan, sosial, geopolitik dan teknologi yang baru muncul atau yang berakselerasi dengan cepat yang dapat menjadi krisis di masa depan.
Kita menghadapi dunia yang tidak pasti, bergejolak, jalan terjal, dan dalam bayang-bayang ancaman yang menakutkan.
Ketiga, menggunakan kerangka waktu masa depan jangka menengah. Kerangka waktu ini mengeksplorasi bagaimana hubungan antara risiko yang muncul yang diuraikan di bagian sebelumnya dapat secara kolektif berkembang menjadi ‘’polikrisis’’ yang berpusat pada kekurangan sumber daya alam pada tahun 2030.
Dalam laporan itu disampaikan, dunia menghadapi serangkaian risiko global yang berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Risiko lama yaitu inflasi, krisis finansial, perang dagang, krisis pasar modal, kerusuhan sosial, konfrontasi geopolitik, dan ancaman perang nuklir. Risiko lama ini kemudian diperparah dengan munculnya risiko baru dalam lanskap global seperti ketidakpastian level utang negara, era baru rendahnya pertumbuhan, rendahnya investasi global dan deglobalisasi, penurunan indeks pembangunan manusia, pembangunan yang cepat, dualisme sipil-militer dan meningkatnya dampak perubahan iklim.
Kedua tipologi risiko global bermuara pada satu kata kunci: krisis global keadilan sosial. Kita menghadapi dunia yang tidak pasti, bergejolak, jalan terjal dan dalam bayang-bayang ancaman yang menakutkan.
Peringatan Hari Keadilan Internasional saatnya untuk kita membangun solidaritas kemanusiaan kepada korban-korban hilangnya keadilan sosial seperti korban pelanggaran HAM yang berlangsung selama republik ini berdiri. Kita membangun empati dan mewakili kerapuhan suaranya untuk merapatkan barisan bersama mereka. Bahwa mereka tidak merasa kesepian dalam ruang gelap. Seraya kita memberikan respek dan dukungan kepada mereka yaitu aktor-aktor yang bekerja untuk mengadvokasi dan menyuarakan perjuangan keadilan tanpa lelah.
Baca juga: Keadilan dan Korban Pelanggaran HAM Masa Lalu
Kita perlu memperkuat jemaah ideologis dan sosiologis bahwa mereka melakukan kerja-kerja kemanusiaan lintas ideologi, etnis, dan latar belakang apa pun. Mereka berjuang penuh kemuliaan, mengangkat martabat kelompok-kelompok tertindas meskipun taruhannya adalah nyawa yang bisa menghilangkan sumber kehidupan mereka.
Almarhum Munir adalah sosok yang paling tepat mewakili perjuangan ini. Saatnya suara mereka kita tingkatkan volumenya mewakili kelompok tertindas. Waktunya juga untuk semakin merapikan dan memperkuat jamaah ideologis kita untuk sama-sama memperjuangkan keadilan sosial.
Rakhmat Hidayat, Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dan Visiting Scholar di National Taiwan University (NTU)