Menagih tanggung jawab partai untuk tidak mencalonkan mantan terpidana korupsi bukan hanya teramat penting, tetapi sebuah keniscayaan yang kita tidak boleh permisif atasnya.
Oleh
TITI ANGGRAINI
·6 menit baca
Menarik dan mencerahkan membaca opini pada harian Kompas (19/10/2022) yang berjudul ”Hak Mantan Terpidana Korupsi dan Hak Politik Pascapemidanaan”. Opini tersebut ditulis Humphrey Djemat, Advokat dan Chairman pada Kantor Gani Djemat & Partners. Informasi yang termuat di dalamnya sangat padat dan mencerdaskan. Pada pokoknya menjelaskan bahwa berdasar telaah hukum, mantan terpidana korupsi dapat mencalonkan diri sebagai caleg pada Pemilu 2024.
Hal itu salah satunya sebagai konsekuensi adanya Putusan Mahkamah Agung No 46 P/HUM/2018 tanggal 13 September 2018 yang membatalkan pelarangan pencalonan mantan terpidana korupsi sebagaimana diatur Peraturan KPU No 20/2018. Meski disebutkan pula bahwa syarat pencalonan sesuai Pasal 45A Ayat (2) PKPU No 31/2018 juga tidak mudah dipenuhi. Sebagai penutup, penulis menyerukan agar masyarakat harus lebih pandai dan berhati-hati dalam menentukan pilihannya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Meski demikian, dari serangkaian kajian hukum yang diulas penulis, ada satu bagian krusial yang terlewat dibahas. Hal itu terkait keberadaan Putusan Mahkamah Konstitusi No 56/PUU-XVII/2019 yang merupakan hasil uji materi atas Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Pasal tersebut mengatur tentang pencalonan mantan terpidana di pilkada. Disebutkan bahwa pencalonan mantan terpidana harus memenuhi persyaratan telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Pengujian yang dimohonkan Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tersebut meminta agar ketentuan pencalonan mantan terpidana diberlakukan secara bersyarat. Pemohon dalam petitumnya meminta agar pencalonan mantan terpidana harus memenuhi persyaratan kumulatif telah melewati jangka waktu 10 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana; dan bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Atas permohonan tersebut, MK mengabulkan untuk sebagian di mana MK menghidupkan kembali persyaratan masa tunggu atau masa jeda bagi pencalonan mantan terpidana. Selengkapnya MK menyebut dalam putusannya bahwa berkaitan dengan pencalonan mantan terpidana, maka harus memenuhi tiga persyaratan.
Pertama, tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali terhadap terpidana yang melakukan tindak pidana kealpaan dan tindak pidana politik dalam pengertian suatu perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana dalam hukum positif hanya karena pelakunya mempunyai pandangan politik yang berbeda dengan rezim yang sedang berkuasa.
Kedua, bagi mantan terpidana, telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan secara jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana. Ketiga, bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Putusan ini merupakan satu dari sedikit peristiwa di mana MK mengubah pendirian hukumnya. Bahkan, terbilang unik karena MK kembali kepada pendirian hukum awal yang pernah diputuskannya sebelum kemudian beberapa kali mengubahnya.
Melalui Putusan No 56/PUU-XVII/2019, MK kembali pada pertimbangan hukum dan substansi sebagaimana pernah diputus dalam Putusan No 4/PUU-VII/2009 tertanggal 24 Maret 2009. Keputusan yang diambil bulat tanpa ada satu pun pendapat berbeda di antara sembilan hakim konstitusi. Putusan No 4/PUU-VII/2009 merupakan hasil pengujian atas Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 Ayat (1) huruf g UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pasal 58 huruf f UU No 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam amar Putusan No 4/PUU-VII/2009 tersebut MK menyatakan Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 Ayat (1) huruf g UU No 10/2008 serta Pasal 58 huruf UU No 12/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak memenuhi syarat-syarat: (i) tidak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials); (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya; (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana; (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Mantan terpidana, termasuk mantan terpidana korupsi, hanya bisa dicalonkan pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD apabila memenuhi persyaratan secara kumulatif berupa telah melewati jangka waktu masa tunggu atau masa jeda lima tahun.
Ketika MK melalui Putusan No 56/PUU-XVII/2019 kembali menghidupkan pertimbangan hukum dan substansi Putusan No 4/PUU-VII/2009 yang di dalamnya juga mencakup konstitusionalitas persyaratan calon anggota legislatif (DPR, DPD, dan DPRD), Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus patuh dan mengikatkan diri pada putusan dimaksud. KPU harus menindaklanjutinya dengan mengatur persyaratan calon anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana ketentuan yang ada dalam amar Putusan No 56/PUU-XVII/2019 juncto Putusan No 4/PUU-VII/2009.
Dengan demikian, mantan terpidana, termasuk mantan terpidana korupsi, hanya bisa dicalonkan pada pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD apabila memenuhi persyaratan secara kumulatif berupa telah melewati jangka waktu masa tunggu atau masa jeda lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara, jujur atau terbuka mengumumkan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana, serta bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Ironi demokrasi
Membahas pencalonan mantan terpidana korupsi merupakan hal sangat menyesakkan. Dari sekian pemilu dan pilkada seolah tiada habisnya. Di tengah masih buruknya performa antikorupsi dalam tata kelola pemerintahan serta dampak buruk korupsi yang sangat luar biasa bagi kemiskinan dan buruknya pelayanan publik, pemilih selalu dihadapkan kepada kontroversi pencalonan mantan terpidana korupsi oleh partai, institusi sumber utama rekrutmen politik negeri ini. Pembahasan seolah hanya berkutat kepada legalitas dan penghormatan hak dipilih mantan terpidana korupsi untuk ikut pemilu. Padahal, pemilih juga sangat berhak dapat suguhan kader-kader terbaik usungan partai.
Partai politik sepantasnya malu mencalonkan kader yang jelas-jelas terbukti gagal mengemban amanat jabatan dalam pengelolaan anggaran negara, yang menunjukkan ketidakmampuan dalam menjaga integritas moral berkaitan dengan akuntabilitas uang. Suara rakyat seharusnya tidak dipertaruhkan kepada mereka yang gelap mata berurusan dengan uang dan penganggaran. Mengingat, sebagai legislator ataupun pejabat eksekutif pasti akan berurusan dengan hal ikhwal keuangan dan anggaran negara dalam jabatannya.
Pemilih berpengetahuan baik, cerdas, kritis, dan berintegritas memang amat penting, sebagaimana slogan a well-informed electorate is a prerequisite for democracy. Namun, menagih tanggung jawab partai untuk tidak mencalonkan mantan terpidana korupsi bukan hanya teramat penting, tetapi sebuah keniscayaan yang kita tidak boleh permisif atasnya.
Terlalu naif rasanya kalau tanggung jawab utama selalu dibebankan kepada pemilih agar berhati-hati dalam membuat keputusan saat pemilu. Sementara partai politik yang memiliki kemampuan menyaring menu yang akan disajikan pada pemilih seolah ditempatkan tidak berdaya untuk melakukan kewajibannya. Sungguh ironi bagi demokrasi.
Titi Anggraini, Pembina Perludem dan Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia