Pilkada 2024, Harapan Perbaikan Kesejahteraan Orang Papua
Isu pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi kerakyatan orang asli Papua menjadi harapan bagi calon kepala daerah di Papua.
JAYAPURA, KOMPAS – Pemilihan kepala daerah menjadi momentum memupuk harapan dalam berbagai aspek. Di Papua, perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, hingga ekonomi masih terus dirindukan warganya.
Pada 27 November 2024, bakal ada 545 pilkada di seluruh Indonesia. Sebanyak 37 pilkada tingkat provinsi, 415 tingkat kabupaten, serta 93 tingkat kota.
Kendati ada berbagai kekecewaan pada periode pemimpin sebelumnya, berbagai harapan tetap diutarakan warga, termasuk di Papua.
Yohana Hubi (52), misalnya, pekerja swasta di Sentani, Kabupaten Jayapura, mengungkapkan, pemimpin yang diidamkan warga adalah sosok yang mampu memperhatikan kesejahteraan masyarakat, khususnya orang asli Papua.
Baca juga: Hari Otonomi Khusus Papua, Jalan Panjang Mencapai Sejahtera
Menurut Yohana, sebagai masyarakat yang mempunyai hak pilih, dirinya terkadang jenuh dengan berbagai berbagai janji politik calon pemimpin daerah. Bahkan, menurut dia, banyak janji politik yang disampaikan berulang kali diucapkan, tetapi tanpa realisasi.
”Tiap lima tahun selalu ada janji-janji untuk kesejahteraan kami. Masih banyak yang belum (terealisasi). Sebagai orangtua, anak-anak kami diperhatikan sekolahnya, kami sudah senang,” ujar Yohana, Sabtu (14/9/2024).
Akses dan fasilitas pendidikan yang baik, kata Yohana, begitu berarti bagi anak Papua. Pendidikan ini akan turut berkontribusi bagi kesejahteraan orang asli Papua.
Harapan pemimpin yang memperhatikan pendidikan anak-anak di Papua juga diutarakan Erik Maiseni. Erik adalah Ketua Ikatan Mahasiswa Papua (Imapa) Amerika Serikat-Kanada. Saat ini, Erik sedang menempuh studi di Moody Bible Institute, Washington, AS.
Menurut Erik, pembangunan manusia khususnya di bidang pendidikan secara berkelanjutan selalu menjadi harapan. Selama ini, beberapa program pendidikan yang telah dijalankan menemui sejumlah masalah.
”Perlu ada komitmen pemimpin daerah untuk memperhatikan pendidikan yang menjadi hak dasar anak-anak di Papua. Belakangan, misalnya, beasiswa otsus (otonomi khusus) dibekap masalah,” ujar Erik.
Pada 2023, Kompas.id mencatat ada lebih dari 1.600 mahasiswa penerima beasiswa otsus Papua di dalam dan luar negeri yang mengeluhkan program ini.
Mereka melaporkan, uang pembayaran semester hingga uang saku mengalami keterlambatan hingga mengancam keberlanjutan kuliah mereka.
Tiap lima tahun selalu ada janji-janji untuk kesejahteraan kami.
Hal ini pun mengancam keberlanjutan program pendidikan anak-anak Papua ini. Selama kurang lebih setahun mahasiswa beserta orangtua menuntut kepada pemerintah daerah.
Pada akhirnya, penyelesaian masalah dilakukan dengan berbagai skema. Hal itu termasuk pembayaran kolektif dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota setempat.
”Pemimpin harus memberikan jaminan ke depan bagi anak-anak Papua sehingga kami bisa menjalankan pendidikan dengan nyaman,” ucap Erik.
Baca juga: Pemprov Papua Siapkan Rp 116 Miliar Selesaikan Tunggakan Beasiswa Otsus
Pemimpin idaman
Akademisi Ilmu Pemerintahan Universitas Cenderawasih, Yakobus Richard Murafer, menuturkan, bagi masyarakat Papua, pemimpin yang diidamkan merupakan sosok yang mewujudkan amanat dalam undang-undang otonomi khusus.
Hal ini berkaitan dengan pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, hingga infrastruktur yang berdampak langsung bagi orang asli Papua.
Selama ini, lanjut Yakobus, dengan harapan-harapan yang terus digaungkan, itu menunjukkan amanat otsus belum sepenuhnya dijalankan. Hal ini akan terus menjadi harapan kepada pemimpin yang akan terpilih pada pilkada di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.
”Program-program itu, baik pendidikan, kesehatan, ekonomi kerakyatan, maupun infrastruktur, sejatinya sudah dijalankan. Namun, belum sepenuhnya berjalan maksimal, khususnya yang dirasakan oleh orang asli Papua,” ucapnya.
Tidak mengherankan, kata Yakobus, setelah 20 tahun lebih otsus berjalan, masih banyak orang asli Papua yang masih merasakan ketimpangan.
Menurut Yakobus, hal ini bisa diukur dari indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua yang cenderung stagnan.
Baca juga: Hadirkan Kesejahteraan Berkelanjutan di Papua, Bukan Konflik Berkelanjutan
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik, pada 2021 angka IPM Papua (60,62 persen) dan Papua Barat (65,26 persen) masih berada di bawah rata-rata nasional (72,29 persen).
Angka di dua provinsi Tanah Papua tersebut tertinggal jauh dengan daerah lain di barat Indonesia pada 2012. Jawa Barat, misalnya, sebesar 67,32 persen.
Yakobus melanjutkan, di bidang lain seperti infrastruktur, misalnya, program pembangunan justru kerap tidak berdampak langsung kepada orang asli Papua. Berbagai pembangunan yang ada kebanyakan hanya bisa dinikmati golongan serta entitas bisnis tertentu.
”Terkadang berbagai program yang menyentuh orang asli Papua ini hanya dihadirkan ketika momentum tertentu, seperti jelang pemilihan. Setelah itu, programnya hilang lagi,” katanya.
Hal lain yang dianggap perlu menjadi perhatian pemerintah daerah adalah pembangunan dengan orientasi kepada generasi muda. Harvey Paul (24), pegiat seni yang berdomisili di Kota Jayapura, mengungkapkan, minimnya perhatian pemerintah membuat kejenuhan dari generasi muda tiap kali tahun politik berlangsung.
Namun, menurut dia, kepedulian pada pesta demokrasi tetap diperlukan demi mencegah nasib yang lebih buruk pada lima tahun selanjutnya.
Dia merasa generasi muda perlu terus bergerak untuk mendorong kebijakan politik yang berpihak kepada mereka.
”Di Jayapura, misalnya, ruang-ruang publik yang mendukung ekosistem seni masih minim. Bisa jadi, mungkin kebutuhan dari kami masih dianggap kalah penting dibandingkan kelompok lain,” ujar Paul.
Baca juga: Pemerintah Tegaskan Komitmen Sejahterakan Papua melalui Otonomi Khusus
Orientasi kebijakan politik saat ini masih mengesampingkan kebutuhan generasi muda.
Selain itu, harapan lahirnya pemimpin yang bisa menghadirkan kebijakan dengan orientasi lebih progresif juga disampaikan Demianus Mukay (32), pelaku usaha bidang jasa di Jayapura. Dia berharap, pemimpin ke depan bisa turut belajar dari kesalahan pemimpin sebelumnya.
Di masa lalu, menurut Demianus, banyak program dan kebijakan yang dijalankan kerap tidak berkelanjutan. Hal ini tidak terlepas dari pendampingan yang kurang menyeluruh.
”Banyak terjadi di berbagai tempat, programnya kadang hanya bersifat seremonial, tetapi keberlanjutannya sering diabaikan. Ini yang seharusnya menjadi pelajaran dan diperbaiki (kepala daerah yang akan terpilih),” ucapnya.