Terkenal Saja Tidak Cukup untuk Gaet Hati Warga Jawa Barat
Empat pasang calon dalam Pilgub Jabar 2024 erat dengan ketenaran. Namun, itu saja belum cukup untuk menggaet hati warga.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·5 menit baca
Empat pasangan bakal memperebutkan kursi gubernurJawa Barat dalam Pemilihan Kepala Daerah 2024. Dua tokoh yang berlaga adalah figur lama yang pernah bertarung di ajang serupa, dan ada juga pasangan dengan pesohor di dalamnya. Namun, ketenaran ini tidak cukup untuk menarik suara di provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak di negeri ini.
Pasangan yang akan berlaga ini antara lain Dedi Mulyadi-Erwan Setiawan, Ahmad Syaikhu-Ilham Akbar Habibie, Acep Adang Ruhiyat-Gitalis Dwi Natarina, dan Jeje Wiradinata-Ronal Sunandar Surapradja. Dedi-Erwan mengawali pendaftaran pada 27 Agustus 2024, sementara tiga pasangan lainnya dua hari kemudian.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Dua calon gubernur telah mengikuti kontestasi serupa tahun 2018, yaitu Dedi Mulyadi dan Ahmad Syaikhu. Waktu itu, Dedi berpasangan dengan Dedi Mizwar, sementara Syaikhu menjadi wakil dari Sudrajat, calon gubernur Jabar dari Partai Gerindra saat itu.
Dua dari pasangan yang berlaga di Pilgub Jabar berasal dari kalangan pesohor. Gitalis Dwi Natarina lebih dahulu dikenal publik sebagai pedangdut dengan panggilan Gita KDI, sementara Ronal Surapradja adalah komedian berdarah Sunda dan juga cukup aktif wira-wiri di layar kaca.
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia Karim Suryadi menyatakan, kontestasi Pilgub Jabar 2024 ini cukup menarik karena menawarkan empat pasang calon yang cukup terkenal. Namun, ketenaran yang dimiliki oleh para calon tidak cukup untuk menarik hati masyarakat.
”Terkenal saja tidak cukup,” ujarnya saat dihubungi di Bandung, Senin (2/9/2024).
Karim menilai Dedi dan Syaikhu yang pernah bertarung pada tahun 2018 memiliki modal kuat dalam kontestasi 2024. Wajah mereka pernah muncul di surat suara sebelumnya yang tentunya sudah tersebar hingga ke semua pemilih.
Sebagian besar pemilih di Jabar bukanlah puritan, melainkan moderat yang ramah dengan perbedaan.
Namun, kedua calon tersebut dinilai belum dekat ke publik sehingga tidak memenangi Pilgub 2018. Saat itu, pasangan Dedi-Dedi Mizwar hanya mendapatkan 5,6 juta suara, sementara Sudrajat-Syaikhu memperoleh 6,3 juta suara.
”Jika dilihat dari peta wilayah di Jabar, medan pertempuran terbuka sebenarnya menyasar ke kampung-kampung. Masalahnya, saat ini belum ada pergerakan ke arah sana. Saya belum melihat pergerakan masih dalam personal, belum terstruktur,” ujarnya.
Ketenaran yang ada, papar Karim, hanya bisa berlaku di daerah perkotaan atau lumbung suara dari tiap-tiap tokoh. Namun, sebagian wilayah di Jabar di daerah perdesaan masih sulit mendapatkan akses teknologi informasi sehingga para calon perlu turun dan memperkenalkan diri.
”Nanti bisa dilihat, apakah Syaikhu akan mengulang penyakit pada masa 2018 dengan mesin politik yang terlambat panas dengan tren penerimaan yang baru meningkat di saat-saat akhir. Pasangan Dedi saat ini juga perlu sinergi yang bagus untuk menjangkau wilayah perdesaan dan komunitas adat,” ujarnya.
Karakter pemilih
Tantangan untuk mendapatkan elektabilitas ini bisa dilihat dari karakter pemilih di Jabar. Menurut Karim, masyarakat Jabar tidak hanya bisa dilihat dari latar belakang nasionalis atau agamis saja.
”Budaya politik di Jabar tidak bisa hanya disederhanakan dengan tipologi nasionalis atau agamis saja. Sebab, sebagian besar pemilih di Jabar bukanlah puritan, melainkan moderat yang ramah dengan perbedaan,” ujarnya.
Kondisi ini bisa dilihat dari persebaran dukungan masyarakat dalam pemilihan legislatif. Hampir semua partai politik di tingkat nasional, lanjut Karim, tecermin dalam perolehan suara di tingkat Jabar sehingga tidak hanya condong di salah satu partai atau tokoh tertentu.
”Warna politik di Jabar itu tidak hanya terbatas merah, hijau, atau warna lainnya. Toleransi politik bahkan political hospitality (keramahan politik) tecermin dari perolehan suara di tingkat Jabar. Ini sudah memperlihatkan preferensi politik yang sudah terbangun dan kemandirian politik yang terjaga,” ujarnya.
Turun merakyat
Menurut Karim, kondisi ini membuat tidak ada tokoh yang bisa dijadikan political setting, baik dari tokoh agama maupun organisasi kemasyarakatan (ormas). Karena itu, para kandidat bersama mesin politiknya harus lebih kuat lagi dalam menarik suara dari publik di Jabar.
”Di beberapa daerah, ada sultan atau kiai yang bisa menjadi alat untuk mengungkit dukungan. Organisasi sebesar Paguyuban Pasundan bahkan tidak memengaruhi pemilihan masyarakat Jabar. Jadi, kesimpulan saya, politik di Jabar tidak bisa dipetakan berdasarkan nasionalis atau agamis, dan tidak bisa disandarkan pada dukungan perseorangan atau lembaga tertentu,” katanya.
Upaya untuk lebih turun merakyat harus dilakukan pasangan Acep-Gita dan Jeje-Ronal yang baru masuk ke dalam kontestasi Pilgub Jabar. Keberadaan dua pesohor seperti Gita dan Ronal juga tidak menjamin elektabilitas pasangan ini, terutama di daerah perdesaan.
”Acep yang berasal dari kalangan pesantren bisa saja menggunakan jaringan itu untuk mendapatkan dukungan. Namun, adanya selebritas seperti Gita dan Ronal juga tidak menjamin karena, bagi saya, artis yang menggaet dukungan itu hanya mitos. Contohnya seperti Rieke Diah Pitaloka, artis yang sudah sukses di layar kaca, tidak bisa menarik suara,” ujarnya.
Upaya turun ke masyarakat juga menjadi agenda dari para calon untuk meningkatkan elektabilitas. Bahkan, pasangan Acep-Gita memanfaatkan isu perempuan dengan memberikan janji politik berupa perlindungan ibu dan anak.
”Saya sebagai perempuan Jabar terpanggil, melihat masih banyaknya persoalan yang dialami perempuan, seperti kekerasan verbal dan nonverbal. Kami melihat soal pendidikan dan perempuan menjadi hal prioritas yang dibenahi,” ujarnya setelah mendaftarkan diri.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Ono Surono menyatakan, pihaknya juga akan memanaskan mesin partai untuk meraih suara di setiap daerah.
Jeje, ujar Ono, memiliki pengalaman sebagai Bupati Pangandaran periode 2016-2021 dan 2021-2026. Ia dinilai mampu mengenal permasalahan di Jabar. Bahkan, dia dianggap bisa mengangkat dunia pariwisata di kabupaten ini.
Ronal adalah seniman dan budayawan yang mampu mengenal permasalahan di industri kreatif di Jabar. ”Sektor ini perlu didorong untuk mengurai permasalahan di Jabar, terutama isu pengangguran,” ujarnya seusai mendaftarkan pasangan ini.
Namun, komitmen saja tidak cukup untuk membuat hati warga Jabar terpaut. Bahkan, popularitas yang dimiliki juga tidak menjamin pasangan calon bakal dilirik. Kedekatan dengan publik perlu diraih dengan memanaskan mesin partai yang sistematis.