Ironi Kalimantan Barat, Banjir Investasi di Desa tapi Kemiskinan Lebih Tinggi Dibanding Kota
Kemiskinan perdesaan Kalbar kerap lebih tinggi ketimbang perkotaan padahal banyak investasi berbasis hutan dan lahan.
Kemiskinan di perdesaan kerap lebih tinggi daripada di perkotaan. Situasi ini ironis di tengah ”hujan investasi” berbasis hutan dan lahan di perdesaan. Dampaknya, sebagian anak muda dari desa memilih bekerja di kota. Mengapa demikian?
Jika menyusuri jalan-jalan utama menuju kabupaten di Kalimantan Barat (Kalbar), kita akan menjumpai hamparan perkebunan sawit. Bahkan, di jalur Trans-Kalimantan, sepanjang mata memandang akan mudah dijumpai hamparan kebun sawit.
Pemandangan itu bahkan dijumpai hingga desa-desa. Bahkan, jauh di pedalaman, kekayaan ”perut bumi” juga mengundang banyak pemilik modal untuk menggarap sektor pertambangan.
Deru suara truk pengangkut hasil perkebunan kerap terdengar tatkala menyusuri jalan-jalan utama. Sejak tahun 1970-an, Kalbar memang menjadi lokasi primadona investasi berbasis hutan dan lahan hingga kini dengan beragam jenis investasi.
Di banyak desa di Kalbar, tidak sedikit warga sejak pagi bersiap bekerja menjadi buruh di perkebunan. Dengan menggunakan topi pelindung wajah dari sengatan matahari, mereka naik ke bak mobil yang menjemput mereka.
Catatan Kompas (Kompas.id), pada 2020 saja luas perkebunan sawit di Kalbar mencapai 1,9 juta hektar dengan produksi 4,1 juta ton. Perkebunan di Kalbar disebut-sebut menjadi terbesar kedua di Indonesia. Namun, ironisnya, Kalbar pernah mengalami kelangkaan minyak goreng beberapa tahun lalu.
Di sisi lain, sebagian anak muda dari desa pindah ke kota untuk bekerja di berbagai sektor, termasuk di warung kopi di Kota Pontianak, ibu kota Kalbar. Padahal, investasi berbasis hutan dan lahan banyak ”ditanam” di desa-desa dan sekitarnya. Salah satunya karena keluarga mereka ada yang tidak memiliki kebun dan tanah akibat ketimpangan kepemilikan lahan.
Persentase penduduk miskin di Kalbar pada Maret 2024 berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 6,32 persen. Angka ini turun 0,39 persen dibandingkan situasi Maret 2023.
Akan tetapi, persentase penduduk miskin di perdesaan di Kalbar lebih tinggi dibandingkan perkotaan. Persentase penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2023 mencapai 4,44 persen, turun menjadi 4,25 persen pada Maret 2024. Sementara penduduk miskin di perdesaan pada Maret 2023 mencapai 8,07 persen, lalu turun menjadi 7,58 persen pada Maret 2024.
Potensi dan orientasi
Padahal, desa kaya potensi ekonomi, terutama di hutan adat. Stafanus Masiun yang kini menjabat Rektor Institut Teknologi Keling Kumang di Kabupaten Sekadau, pada 2021 pernah meneliti potensi hutan adat Riam Batu, Kabupaten Sintang. Penelitian ini kemudian dia tuangkan dalam disertasinya.
Nilai ekonomi total yang terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung, dan nilai bukan guna mencapai Rp 2,9 triliun per tahun. Melestarikan hutan dengan segala keragamannya bahkan bisa memakmurkan rakyat dari berbagai sisi kehidupan.
Beberapa manfaat hutan, antara lain, menjadi sumber nutrisi masyarakat sekitar, pusat tanaman obat, menjaga sumber daya air, serta mengembangkan perikanan budi daya, wisata, hingga menghasilkan sumber energi listrik.
Selain itu, juga kemandirian pangan dan sebagai pencegah bencana. Namun, jika hutan yang dieksploitasi, nilai kayunya tidak lebih dari Rp 600 miliar. Jika dialihfungsikan, misalnya untuk perkebunan juga muncul biaya yang tidak diperhitungkan para pengusaha, yaitu biaya konflik.
Pengamat sosial dari Elpagar, Furbertus Ipur, Jumat (12/7/2024), menilai, ada problem paradigma pembangunan yang memaksa warga dan berdampak pada orientasi tentang pekerjaan. Seseorang dianggap bekerja jika bekerja di sektor-sektor tertentu, misalnya menjadi buruh sawit, di warung kopi, dan pegawai negeri sipil serta menerima gaji.
”Jarang yang mengatakan, bertani itu sebetulnya pekerjaan,” ujar Ipur.
Pembangunan mengintervensi masyarakat tanpa pertimbangan antropologis dan sosiologis mendalam. Masyarakat bertani subsisten, kemudian diintervensi dengan perkebunan. Padahal, hal itu merupakan dua dasar budaya yang berbeda. Yang satu budaya bertani, kemudian yang satunya lagi budaya korporasi atau buruh.
”Akhirnya, hal ini membentuk mental generasi muda kita. Pendidikan hendaknya tidak lagi ditujukan merespons pasar tenaga kerja, hanya akan menciptakan buruh. Padahal, pendidikan itu untuk memerdekakan orang,” ujarnya.
Baca juga: Meninggalkan Desa demi Menjemput Rezeki di Warung Kopi Pontianak
Di sisi lain, dana desa baik tujuannya, yakni sebagai garda pembangunan ekonomi kerakyatan. Persoalannya, apakah mentalitas aparatur desa sanggup mengelolanya? Dana desa tidak diikuti kesiapan masyarakat di desa untuk mengelolanya. Belum lagi soal pengawasan dana desa.
”Redistribusi lahan juga masih semu,” ujarnya.
Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura Pontianak Eddy Suratman menuturkan, persentase penduduk miskin di desa lebih tinggi dari perkotaan diduga karena kebutuhan pokok di perdesaan tidak sepenuhnya bisa disuplai di perdesaan. Masyarakat perdesaan juga kemungkinan tidak lagi bekerja di sektor tanaman pangan.
”Jadi, mereka mengalihkan lahan ke perkebunan dan pindah ke pekerjaan lain. Mereka membeli kebutuhan pokok justru dari luar desa. Selain itu, juga perubahan status dan kepemilikan lahan,” ujar Eddy.
Akhirnya, ada yang menjadi buruh di pabrik dan perkebunan. Kalau tidak ada pekerjaan di sektor itu, pindah ke perkotaan. Bahkan, Eddy mengatakan, di salah satu kabupaten di Kalbar pada 2020-2022 ada ”tumpahan investasi” yang besar, mulai dari pelabuhan internasional, pabrik pengolahan, hingga pertambangan. Namun, pada periode yang sama angka pengangguran meningkat.
”Investasi yang masuk tidak sesuai keahlian orang di kampung-kampung,” kata Eddy.
Proses ganti rugi lahan juga membuat orang memiliki uang seketika. Kesadaran pengelolaan keuangan juga masih rendah. Setelah tidak ada pekerjaan, timbul masalah. Distribusi lahan kepada masyarakat perlu dilakukan terus dengan sertifikat gratis.
Akan tetapi, Eddy khawatir, hal itu tidak berjalan dengan baik. Warga bisa mendapatkan sertifikat, tetapi orang lain bisa mendapatkan tanah warga dengan membelinya. Kemudian, bagaimana menjaga warga di desa agar masih tertarik di sektor pertanian. Caranya, nilai tukar petani (NTP) harus bagus. Demikian juga harga pasar komoditas pertanian.
NTP Kalbar sejauh ini di atas 100 dan itu sudah bagus. Namun, NTP yang tinggi di sektor perkebunan. Sementara NTP sektor tanaman pangan tidak sebanding. Kalau NTP-nya rendah, sektor tanaman pangan perlahan ditinggalkan warga desa.
Terkait kondisi desa, Penjabat Gubernur Kalbar Harisson, Rabu (10/7/2024), menuturkan, perangkat desa harus bisa melihat potensi di desanya untuk dikembangkan dengan dana desa. Ketika potensi dikembangkan, maka akan menjadi daya tarik bagi generasi muda dan angkatan kerja untuk mengembangkan wirausaha, ekonomi kreatif, dan pariwisata.
Pemerintah Provinsi Kalbar juga terus mendorong pengembangan usaha mikro, kecil, dan menengah serta koperasi. Usaha-usaha itu berada di tingkat desa. Pemprov Kalbar juga melatih pemuda, termasuk perangkat desa, tentang bagaimana meningkatkan potensi desa. Untuk memotivasi kreativitas, ada juga lomba desa.
Membangun desa sepertinya masih memerlukan jalan panjang. Dana desa perlu diefektifkan untuk mengoptimalkan potensi desa sehingga berdampak pada kesejahteraan manusianya. Kehadiran investasi juga jangan hanya demi memenuhi capaian target, tetapi juga memperhatikan kualitas.
Baca juga: Mereka Tersingkir di Tanah Sendiri