Gubernur Kalteng Minta Perusahaan Sawit Berdayakan Masyarakat
Perusahaan perkebunan sawit belum jalankan kewajibannya dan cenderung buat pelanggaran. Hal itu picu konflik sosial.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKA RAYA, KOMPAS — Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran menyebutkan, pengusaha perkebunan kelapa sawit belum menjalankan kewajibannya dalam berinvestasi. Segala gangguan yang terjadi belakangan ini merupakan bentuk protes masyarakat terhadap investor yang belum memberikan kontribusi nyata.
Hal itu disampaikannya dalam Forum Kelapa Sawit Borneo ke-7 di Palangka Raya, Jumat (28/6/2024) pagi. Hadir juga dalam kegiatan itu Menteri Agraria dan Tata Ruang atau Kepala Badan Pertanahan Nasional atau ATR/BPN Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.
Dalam paparannya, Sugianto menjelaskan, beberapa tahun belakangan banyak terjadi gangguan investasi lantaran konflik perusahaan dan masyarakat sekitar kian meruncing. Hal itu disebabkan banyak hal.
Sugianto menambahkan, pengusaha kelapa sawit belum berkontribusi nyata dalam pembangunan dan pemberdayaan masyarakat sekitar. Menurut dia, masih banyak perusahaan yang belum melaksanakan kewajiban. Ia mengambil contoh plasma.
Dari data Pemerintah Provinsi Kalteng, dari total 191 unit perizinan perkebunan kelapa sawit di Kalteng hanya 128 perusahaan yang sudah menjalankan kewajiban mereka membangun kebun plasma. Sisanya masih berproses.
Luas perkebunan kelapa sawit di Kalteng mencapai 2.281.559 hektar dengan total kebun plasma yang sudah dibangun sebesar 220.290,93 hektar. Jumlah itu belum mencapai target pemerintah untuk mewujudkan kewajiban 20 persen kebun plasma dari total hak guna usaha (HGU) perusahaan.
Selain persoalan plasma, Sugianto juga menyinggung persoalan kebun sawit yang kian beroperasi terlalu dekat dengan danau dan sungai besar ataupun anak-anak sungai di Kalteng. Selain mengganggu lingkungan, aktivitas masyarakat di sekitar kebun sawit juga terganggu.
”Tidak akan ada gangguan kalau perusahaan baik sama masyarakat. Jadi, jangan hanya omongan, tapi harus ada kontribusinya, realitasnya itu,” ungkap Sugianto.
Sugianto bahkan mendesak perusahaan untuk menjalankan kewajiban. Ia bakal menjamin tidak akan ada gangguan jika perusahaan baik dengan masyarakat.
”Saya jamin tidak akan ada gangguan kalau kontribusi ke masyarakat jelas. Ingat Pak, kekayaan itu gak akan dibawa mati!” kata Sugianto tegas.
Hal serupa disampaikan AHY. Dalam sambutannya merespons perkataan Sugianto, AHY mengungkapkan, sudah sewajarnya seorang pemimpin, baik di pusat maupun di daerah, itu memperjuangkan hak-hak masyarakat. Untuk itu, perlu menciptakan keseimbangan antara kebutuhan dan keinginan rakyat terhadap investasi, juga kepastian hukum terhadap investasi.
”Pembangunan perkebunan sawit berkelanjutan itu harus benar-benar seimbang. Ingat Indonesia berkomitmen pada banyak ratifikasi dunia soal lingkungan, tetapi di satu sisi pengusaha juga harus bisa nyaman berinvestasi di Indonesia,” kata AHY.
AHY juga menyebut bahwa masyarakat adat juga wajib dilindungi dan diberikan hak-haknya. Banyak perkebunan sawit masuk dalam kawasan hutan yang pelan-pelan sedang dibenahi oleh pemerintah.
Saat ditanya soal kebun plasma dan sawit masuk kawasan, AHY menjawab, tugas itu tidak hanya ada di kementeriannya, tetapi juga kementerian terkait lainnya. ”Saya juga masih harus banyak belajar terkait masalah-masalah ini, tetapi kami meyakinkan tugas yang dijalankan kanwil BPN di daerah itu bisa tersistematis bekerja, jangan ada dipersulit, tetapi jangan sampai ada pelaku usaha yang tidak comply (patuh), terhadap aturan,” ungkap AHY.
AHY juga mengungkapkan ada banyak masalah terkait dengan kebijakan. Banyak kebijakan tumpang tindih yang harus diperbaiki, salah satunya adalah one map policy. ”One map policy ini yang terus kami kejar agar semua pihak bisa bekerja dengan map yang sama,” ucapnya.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Eddy Martono menjelaskan, kebun plasma memang kewajiban perusahaan, tetapi tidak semua perusahaan diwajibkan untuk mengadakan kebun plasma dalam bentuk lahan. Ada perusahaan yang tidak menyediakannya dalam bentuk lahan, tetapi bentuk usaha.
Walakin, ia juga ikut mendesak anggotanya yang ada di seluruh Indonesia untuk menjalankan kewajibannya. Ia sepakat jika ada yang belum menjalankan kewajiban, terutama plasma, untuk dicabut izinnya.
”Kami patuh aturannya, kalau soal kebun plasma itu bukan karena tidak mau, tetapi memang ada aturannya, tidak harus dalam bentuk lahan atau kebun, ada skemanya,” ucap Eddy.