Optimalkan Hilirisasi Sawit Menghadapi Aturan Deforestasi Uni Eropa
Indonesia harus optimalkan hilirisasi minyak kelapa sawit untuk menghadapi tantangan stigma dari negara-negara di Eropa.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Di tengah terpaan stigma yang disematkan pada perkebunan kelapa sawit dan terbitnya Peraturan Deforestasi Uni Eropa sejak 31 Mei 2023, Indonesia harus lebih mengoptimalkan hilirisasi minyak kelapa sawit mentah atau CPO. Dengan begitu, ekonomi sawit Indonesia bisa mandiri karena tak perlu bergantung pada ekspor CPO.
”Hilirisasi akan membuat kita lebih mandiri karena tidak bergantung pada ekspor bahan mentah. Itu salah satu cara dalam menghadapi isu negatif yang selama ini masif didengungkan oleh negara-negara Barat (Eropa),” ujar Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Ahmad Muslim dalam konferensi pers seminar bertema ”Hilirisasi Minyak Sawit Menjadi Produk Oleopangan, Oleokimia dan Biofuel: Peluang dan Tantangan”, di Palembang, Sumatera Selatan, Selasa (25/6/2024).
Hilirisasi yang dimaksud adalah pemrosesan dan pemurnian CPO menjadi produk olahan bernilai tambah. Muslim mengatakan, kelapa sawit adalah tanaman perkebunan ajaib (miracle plantation). Itu karena sawit menjadi komoditas perkebunan yang paling efisien dalam produktivitas, paling murah dalam proses produksi, dan mampu menghasilkan banyak produk olahan bernilai tambah tinggi.
Paling tidak, sawit hanya menggunakan 4,5 persen lahan dari total lahan komoditas yang menghasilkan minyak nabati. Akan tetapi, sawit mampu menghasilkan 34,2 persen minyak nabati dari total minyak nabati dunia. Bandingkan dengan komoditas lain, seperti kacang kedelai yang menggunakan 40,5 persen lahan untuk menghasilkan 30,2 persen minyak nabati.
Hilirisasi akan membuat kita lebih mandiri karena tidak bergantung pada ekspor bahan mentah.
Indonesia diuntungkan karena menjadi negara pemilik area lahan perkebunan sawit terluas di dunia yang mencapai 16 juta hektar. Dengan lahan seluas itu, Indonesia mampu memproduksi sekitar 45,5 juta ton CPO per tahun atau 59 persen dari total produksi CPO dunia.
Tidak heran, industri sawit menjadi salah satu fundamental utama pertumbuhan ekonomi Indonesia, setidaknya berkontribusi 3,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional. Dari hulu hingga hilir, industri sawit mampu menyerap 16,5 juta tenaga kerja dan menghidupi lebih dari 70,4 juta jiwa masyarakat di Indonesia. ”Sawit adalah komoditas yang berkontribusi besar dalam menghasilkan devisa untuk negara,” kata Muslim.
Tantangan besar
Namun, industri sawit Indonesia menghadapi tantangan besar oleh terpaan isu negatif pada perkebunan sawit, yakni dianggap sebagai penyebab masalah atau kerusakan lingkungan. Sawit dianggap sebagai tanaman haus air dan berkontribusi terhadap hilangnya tutupan hutan.
Bahkan, sejak 31 Mei 2023, Uni Eropa mengeluarkan Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Melalui aturan itu, Uni Eropa melarang tujuh komoditas strategis, yakni kakao, karet, kayu, kopi, kedelai, sawit, dan binatang ternak, untuk diperdagangkan atau masuk ke dan keluar dari Eropa kecuali memenuhi tiga syarat.
Dengan kata lain, produk sawit dari Indonesia akan kesulitan menembus pasar Eropa karena dianggap sebagai tanaman berisiko tinggi terhadap deforestasi. Kendati demikian, menurut Muslim, stigma itu tidak beralasan. Pasalnya, kebutuhan air untuk sawit sejatinya tidak sebesar kebutuhan air tanaman monokultur lain, seperti padi.
Di sisi lain, dengan total luas area sawah yang mencapai 10 juta hektar, padi sesungguhnya ikut berkontribusi terhadap pembukaan lahan. Meski demikian, padi cenderung tidak pernah diterpa isu negatif. ”Saya kira stigma yang diberikan untuk sawit disebabkan oleh persaingan bisnis yang melibatkan negara-negara maju, terutama di Eropa,” tutur Muslim.
Saya kira stigma yang diberikan untuk sawit disebabkan oleh persaingan bisnis yang melibatkan negara-negara maju, terutama di Eropa.
Maka itu, Muslim menuturkan, dunia sawit Indonesia harus memikirkan cara untuk lebih mengoptimalkan hilirisasi sawit. Hal itu akan sangat membantu ekonomi sawit Indonesia lepas dari ketergantungan dengan negara lain. Salah satunya dengan mendukung infrastruktur industri hilir yang selama ini belum memiliki akses jalan yang baik, masih kekurangan pasokan gas, listrik, dan air, serta kemudahan dalam perizinan investasi.
”Kalau CPO yang selama ini banyak diekspor bisa diolah menjadi produk bernilai tambah, itu akan membantu mengatasi hambatan ekspor CPO ke negara-negara yang coba menghambat pertumbuhan sawit Indonesia. Lagi pula, CPO bisa diolah menjadi beragam produk turunan yang biasa kita gunakan sehari-hari, mulai dari pasta gigi, sabun, sampo, detegjen, hingga banyak produk pangan,” ujar Muslim.
Keunggulan minyak sawit
Kepala Divisi Teknologi Proses, Departemen Teknologi Industri Pertanian, Faktultas Teknologi Pertanian, IPB University, Erliza Hambali mengatakan, keunggulan lain dari minyak sawit adalah bisa menggantikan beragam bahan baku atau bahan mentah dalam menghasilkan suatu produk olahan, antara lain untuk produk kecantikan hingga pangan. Uniknya, biaya produksi dengan minyak sawit bisa lebih murah dari bahan baku lainnya.
Sebagai contoh, minyak sawit bisa digunakan untuk menggantikan lemak kakao dalam produksi cokelat. ”Akan tetapi, harga minyak sawit jauh lebih murah dibandingkan lemak kakao. Harga minyak sawit berkisar Rp 28.000-Rp 30.000 per kilogram, sedangkan lemak kakao bisa di atas Rp 100.000 per kg,” katanya.
Selain itu, dari 560-an produk petrokimia yang dihasilkan dari minyak bumi, semuanya bisa digantikan atau dibuat dengan menggunakan minyak sawit. ”Selama ini, minyak bumi dianggap sebagai hasil tambang yang tidak berkelanjutan dan salah satu pemicu kerusakan lingkungan. Ternyata, fungsi minyak bumi bisa digantikan oleh minyak sawit. Ini menjadi pertanyaan untuk pihak-pihak yang membenci sawit, mana lebih baik antara minyak bumi dan minyak sawit,” ucap Erliza.
Lila Harsyah Bakhtiar, Ketua Tim Kerja Industri Berbasis Kelapa Sawit, Direktorat Industri Agro, Kementerian Perindustrian, menuturkan, sejatinya, hilirisasi sawit di Indonesia sudah berkembang dengan baik. Indikatornya, dominasi ekspor CPO terus merosot dalam 13 tahun terakhir karena digantikan oleh produk olahan CPO.
Pada 2010, sebanyak 60 persen ekspor dari sektor industri sawit berasal dari CPO dan 40 persen berupa produk olahannya. Pada 2023, ekspor CPO hanya 7 persen, sedangkan ekspor produk olahan meningkat menjadi 93 persen. Ragam produk olahan itu mencapai 54 jenis dengan produk turunan 185 jenis.
Sekarang, tantangannya adalah mewujudkan hilirisasi yang bisa membangun kemandirian untuk petani yang memiliki 6,21 juta hektar atau 40,51 persen dari total areal perkebunan sawit Indonesia. ”Sejauh ini, hilirisasi baru sebatas dilakukan oleh pemain besar atau perusahaan. Sebaliknya, petani masih bergantung dengan para mitra yang merupakan pemain besar. Kita berusaha agar dampak hilirisasi itu bisa memberikan manfaat yang lebih berkeadilan,” tutur Bakhtiar.