Berkah Harga Kopi Melonjak, Petani Bisa Sekolahkan Anak hingga Memperluas Kebun
Di tengah euforia membubungnya harga kopi, petani harus tetap menjaga kualitas demi mengangkat citra kopi Sumsel.
Setelah tahun 1998 atau saat kurs dollar Amerika Serikat membubung tinggi, akhirnya petani kopi robusta di Sumatera Selatan bisa kembali menikmati berkah dari tingginya harga jual kopi. Mereka mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai cara, ada yang memanfaatkan untuk modal sekolah anak, membeli kendaraan, hingga memperluas kebun.
Aura gembira begitu terasa dari petani kopi asal Kota Pagar Alam, Sumsel, Novian Fazli (50). Seusai memberi salam, Novian langsung menyapa dengan penuh kehangatan dan teriring tawa yang begitu lepas saat Kompas menghubungi dari Palembang, Selasa (11/6/2024). ”Bagaimana, apa yang mau saya ceritakan soal kopi. Yang pasti, harga kopi robusta asalan (tidak semua petik merah) sedang tinggi, harganya Rp 70.000-Rp 72.000 per kilogram (kg),” ujar Novian penuh semangat.
Novian mengatakan, baru kali ini petani merasakan harga kopi yang begitu tinggi. Pada tahun 1998 atau saat krisis moneter, harga kopi asalan menembus Rp 18.000-Rp 25.000 per kg yang tergolong sangat tinggi di masa tersebut. Namun, ketika itu, harga dipengaruhi oleh kurs rupiah yang melemah terhadap dollar AS. Setelah itu, harga kopi kembali turun. Paling tidak, sejak 2010 hingga 2022, harga kopi tidak jauh-jauh dari Rp 18.000-Rp 25.000 per kg.
Baca juga: Produksinya Terbesar di Indonesia, Kopi Sumsel Didorong Mendunia
Sebaliknya, kini, harga kopi melonjak hingga Rp 70.000-Rp 72.000 per kg karena stok dunia berkurang. Konon, itu karena produksi kopi dari Brasil dan Vietnam, yang notabene dua negara penghasil kopi terbesar di dunia, sedang menurun oleh faktor cuaca.
Tak pelak, kopi-kopi asal Indonesia, termasuk dari Sumsel, menjadi incaran dunia dan ditaksir dengan harga tinggi. ”Kemungkinan, harga kopi asalan masih akan terus meningkat. Bukan tidak mungkin nanti bisa mencapai Rp 100.000 per kg,” kata Novian yang mewarisi kebun kopi dari orangtuanya.
Novian memiliki sekitar 4.500 batang kopi robusta dari kurang lebih 1,5 hektar lahan. Dia sudah dua kali menjual kopinya, yakni sebelum Idul Fitri (pada awal April) dengan harga Rp 57.000 per kg dan awal Mei dengan harga Rp 62.000 per kg. ”Selama awal panen ini (masa panen Mei-Juli), saya sudah mengumpulkan 500 kg kopi. Sekitar 150 kg sudah terjual, sedangkan sisanya 400 kg masih saya simpan hingga harga jual lebih tinggi,” tuturnya.
Kopi yang dijual adalah kopi asalan yang sudah dalam bentuk biji kering dengan kadar air sekitar 13 persen. Semakin rendah kadar air, semakin tinggi harganya. Kopi-kopi itu diserbu oleh para pengepul atau tauke lokal yang nantinya mereka pasok ke pabrik-pabrik yang ada di Lampung. ”Kenapa kami jual kopi asalan, itu karena kami butuh uang cepat. Kalau harus petik merah, kami harus menunggu buah benar-benar matang,” tutur Novian.
Manisnya penjualan kopi
Novian pun sangat bersyukur dengan fenomena tersebut. Tadinya, pikiran Novian cukup kalut karena sedang butuh sekali dana untuk menyekolahkan tiga anaknya, yakni untuk anak pertama yang akan kuliah di Jakarta, anak kedua akan kuliah di Mesir, dan anak ketiga di kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP).
Akan tetapi, Novian bisa bernapas lega karena keuntungan dari penjualan kopi saat ini bisa mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya. ”Setidaknya, untuk biaya kuliah anak kedua ke Mesir, saya butuh uang tidak kurang dari Rp 25 juta. Insya Allah, dengan meningkatnya harga jual kopi, kebutuhan dana itu bisa tercukupi,” ucap Novian yang sehari-hari membuka jasa fotografi.
Melonjaknya harga kopi memang membuat petani lebih konsumtif, tetapi itu wajar. Selama ini, kami lebih banyak susahnya. Baru kali ini, kami bisa merasakan manisnya hasil penjualan kopi.
Menurut Novian, semua petani kopi di Pagar Alam sangat menikmati berkah membubungnya harga kopi. Mereka antusias untuk mewujudkan mimpi yang selama ini sulit dicapai, antara lain, memiliki kendaraan pribadi, sepeda motor ataupun mobil.
Bahkan, tempat penjualan kendaraan bekas diserbu oleh para petani. Sampai-sampai, tak sedikit yang harus memesan kendaraan bekas dari Pulau Jawa. ”Melonjaknya harga kopi memang membuat petani lebih konsumtif. Tetapi, itu wajar. Selama ini, kami lebih banyak susahnya. Baru kali ini, kami bisa merasakan manisnya hasil penjualan kopi,” ujar Novian.
Petani kopi asal Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Marlio Andriansi (37), mengatakan, di daerahnya, harga robusta asalan pun sudah menembus Rp 72.000 per kg. Untuk robusta petik merah, harganya menyentuh Rp 100.000-Rp 120.000 per kg.
Padahal, tahun lalu, robusta asalan masih dihargai sekitar Rp 40.000 per kg dan petik merah kurang lebih Rp 45.000 per kg. Sebaliknya, untuk kopi arabika justru stabil, yakni yang asalan sekitar Rp 80.000 per kg dan petik merah kurang lebih Rp 120.000-Rp 130.000 per kg.
”Dari informasi yang saya dapat, produksi kopi robusta asal Brasil dan Vietnam menurun drastis karena kedua negara gagal panen. Selain itu, terjadi perang di Timur Tengah yang sebenarnya menjadi pasar untuk memasok kopi ke Eropa. Akhirnya, pasar dunia mengincar kopi robusta dari Indonesia,” kata Marlio.
Marlio yang memiliki sekitar 8.000 pohon kopi robusta dari kurang lebih 2,5 hektar lahan tidak menyia-nyiakan momentum tersebut. Sekitar seminggu lalu, dia melepas 500 kg kopinya kepada tauke lokal sebelum didistribusikan ke pabrik-pabrik di Lampung.
Baca juga: Pegiat Kopi Sumsel Mulai Incar Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat
”Selain kebun, saya juga punya kafe dan produk kopi olahan. Tetapi, dengan tingginya harga di tingkat petani, sekarang saya lebih fokus menjual biji kopi ketimbang untuk memasoknya ke kafe atau menjual dalam bentuk olahan,” tutur Marlio.
Dari hasil penjualan itu, Marlio berencana menjadikannya sebagai modal untuk memperluas kebunnya. Saat ini dia memiliki lahan tidur seluas 2-3 hektar. Lahan itu akan segera ditanami pohon baru untuk menambah produktivitasnya. ”Ini peluang untuk mulai mengembangkan usaha yang selama ini tertunda,” ujarnya.
Jangan abaikan kualitas
Pemilik merek dagang Kopi Benua di Palembang yang biasa menerima kopi dari petani di Kabupaten Muara Enim, Jono Darma Putra, mengatakan, pihaknya tidak masalah jika ada kenaikan harga jual bahan baku biji kopi dari tingkat petani. Itu karena dia bisa menyesuaikan gejolak harga bahan baku dengan turut menaikkan harga jual produknya.
Biasanya, Jono menjual kembali kopi itu dalam bentuk biji seharga 10 persen lebih mahal dari harga bahan baku dan bentuk bubuk seharga 50 persen lebih mahal dari bahan baku. ”Dua minggu lalu, saya beli 2,5 ton kopi arabika dari petani Semendo (Muara Enim). Harga kopi itu meningkat dari Rp 75.000-Rp 80.000 per kg di tahun lalu menjadi Rp 118.000 per kg. Untuk dijual lagi, saya patok harga dalam bentuk biji Rp 125.000 per kg dan dalam bentuk bubuk Rp 230.000 per kg,” katanya.
Justru, Jono mempermasalahkan jika kualitas kopi yang diterima dari petani menurun. Apalagi, ada kecenderungan dari petani ingin cepat dapat uang kalau harga jual sedang tinggi. Akhirnya, mereka lebih memilih menjual kopi asalan dibandingkan kopi petik merah.
Padahal, Jono sangat selektif dalam menerima bahan baku, yakni hanya membeli bahan baku di kisaran mutu satu dan mutu dua sesuai Standar Nasional Indonesia. Salah satu ketentuan utama kopi yang masuk mutu satu ataupun dua adalah tidak boleh ada biji asalan. ”Karena sedang antusias dengan harga jual yang tinggi, banyak petani lebih memilih menjual biji asalan. Jadinya, saya harus lebih hati-hati dalam menerima pasokan kopi,” tuturnya.
Kalau kita mengabaikan kualitas demi mendapatkan uang cepat, takutnya itu justru menjadi citra buruk untuk kopi Sumsel di mata pembeli yang jaringannya bukan hanya pasar lokal, melainkan dunia.
Ketua Dewan Kopi Indonesia Sumsel Zain Ismed menuturkan, di tengah euforia membubungnya harga kopi, petani jangan terbuai untuk meraih uang dengan cepat. Mereka harus tetap memperhatikan dan menjaga kualitas kopi yang dihasilkan.
Pasalnya, sekarang adalah momentum untuk memperkenalkan kopi Sumsel di pasaran dunia, terutama kopi jenis robusta. Lagi pula, baru-baru ini Pemerintah Provinsi Sumsel bersama Kadin Sumsel berniat mengangkat merek dagang kopi Sumsel.
Niat Pemprov Sumsel dan Kadin Sumsel dilatarbelakangi oleh kontradiksi kopi Sumsel. Menurut data Produksi Kopi Menurut Provinsi 2022 yang dirilis Badan Pusat Statistik pada 30 November 2023, Sumsel adalah produsen kopi terbesar di Indonesia dengan produksi 208.007 ton atau setara 26,85 persen dari total produksi nasional sebesar 774.096 ton.
Di sisi lain, Sumsel merupakan daerah pemilik lahan kopi terluas di Indonesia yang mencapai 267.025 hektar dari total luas lahan kopi nasional yang sekitar 1.268.009 hektar. Meski demikian, selama ini kopi Sumsel masih kalah pamor dibandingkan kopi-kopi lain di Indonesia, seperti kopi dari Aceh, Sumatera Utara, dan Lampung.
”Kalau kita mengabaikan kualitas demi mendapatkan uang cepat, takutnya itu justru menjadi citra buruk untuk kopi Sumsel di mata pembeli yang jaringannya bukan hanya pasar lokal melainkan dunia. Padahal, kita sedang gencar berusaha untuk meningkatkan citra kopi Sumsel agar bisa lebih diterima pasaran domestik dan menembus pasaran internasional,” ujar Zain.