Merayakan ”Celana” dan ”Ponsel Rusak” Joko Pinurbo
Joko Pinurbo adalah seorang maestro yang bisa menyelami, bukan hanya makna kata, tapi kekayaan kata-kata.
Empat puluh tiga hari telah berlalu sejak Indonesia kehilangan salah satu penyair terbaiknya, Joko Pinurbo. Namun, bait demi bait puisinya masih sangat hidup, membawa kita mencicipi larutan keresahan, keseharian, dan kejenakaan, lalu mengaduk-ngaduknya dalam perenungan spiritualitas mendalam.
Tuhan, ponsel saya rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa ialah nomorMu.
Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.
Enam baris puisi sederhana itu begitu menyentak. Jokpin, sapaan akrab Joko Pinurbo, memberi judul ”Doa Orang Sibuk yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya”, judul yang sekaligus menegaskan pesan yang hendak disampaikannya.
Puisi yang dibuat tahun 2018 itu menjadi salah satu karya Jokpin yang dibacakan dalam acara bertajuk ”Perjamuan Jokpin” di Yogyakarta, Sabtu (8/6/2024) sore hingga malam. Ini menjadi bagian dari peringatan 40 hari berpulangnya sang penyair pada 27 April 2024 dalam usia 61 tahun.
Acara yang digelar di Bentara Budaya Yogyakarta itu diisi sejumlah kegiatan, terutama pembacaan dan musikalisasi puisi-puisi karya Jokpin. Selain itu, ada pula pameran seni rupa, diskusi, hingga peluncuran buku.
Baca juga: Joko Pinurbo Meninggal, Indonesia Kehilangan Penyair Terbaik
Puncaknya, sejumlah seniman, sastrawan, wartawan, dan pekerja kreatif silih berganti tampil di atas panggung. Mereka menyampaikan testimoni tentang sosok Jokpin sebelum membacakan karya Jokpin pilihannya.
Wartawan senior Sindhunata, saat membuka acara sekaligus mewakili Bentara Budaya Yogyakarta, mengatakan, mengenang Jokpin berarti kita harus memetik kehidupan dari kenangan itu, yaitu menghidupkan kata-katanya. ”Jokpin adalah seorang maestro yang bisa menyelami, bukan hanya makna kata, tapi kekayaan kata-kata,” ujarnya.
Setiap kata yang bagi kebanyakan orang hanya dipandang sebagai sesuatu yang taken for granted, bagi Jokpin adalah kehidupan, makna, dan mengandung begitu banyak mutiara. ”Maka, kalau kita mengenang Jokpin dan mau membuat dia hidup terus di dalam diri kita, berarti kita harus menghidupkan kata-kata,” tutur Sindhunata.
Istri Jokpin, Nurnaeni Amperawati Firmina, yang hadir di acara itu, mengatakan, minggu-minggu ini membawa perasaan yang campur aduk bagi keluarga. ”Masih ada rasa duka, tapi juga ada rasa haru, bangga, syukur, sekaligus rasa bahagia,” katanya.
Baca juga: Joko Pinurbo dan Keindahan dalam Dunia Sehari-hari
Duka karena kepergian Jokpin tentu masih menyisakan kesedihan mendalam bagi orang-orang terkasihnya. Tetapi, pada saat bersamaan, ada rasa haru, bangga, dan syukur karena Jokpin meninggalkan jejak yang dikenang banyak orang.
”Karya-karyanya juga diapresiasi begitu banyak lapisan masyarakat, bukan hanya sastrawan dan penggemar sastra, tapi juga oleh masyarakat luas,” ucap Nurnaeni.
Pada kesempatan di panggung, Nurnaeni membacakan puisi Jokpin yang dipersembahkan untuknya 21 tahun lalu. Ini menjadi salah satu karya Jokpin yang menampilkan sisi romantisnya. Judul puisi itu bahkan dijadikan judul buku kumpulan puisi Jokpin yang diterbitkan tahun 2004, yakni ”Kekasihku”.
Pacar kecil duduk manis di jendela,
menemani senja. Senja, katanya, seperti ibu
yang cantik dan capek setelah seharian dikerjain kerja.
Ia bersiul ke senja seksi yang tinggal
tampak kerdipnya: Selamat tidur, kekasihku.
Esok pagi kau tentu akan datang dengan rambut baru.
Kupetik pipinya yang ranum,
kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.
”Inilah puisi paling romantis yang pernah ditulis Mas Jokpin untuk saya,” kata Nurnaeni, yang tampak terharu saat membacakan puisi ini.
Seniman Butet Kartaredjasa yang juga hadir dan menyampaikan testimoninya mengatakan, hanya Jokpin yang bisa membuat Sultan Hamengku Buwono X mau tampil membacakan puisi di panggung. Momen itu terjadi pada 5 Juni 2024 di Monumen Serangan Umum 1 Maret Yogyakarta dalam acara doa bersama peringatan 40 hari berpulangnya Jokpin.
Saat itu, Sultan membacakan salah satu karya Jokpin yang berjudul ”Kota Kecil”. Ini dikatakan Butet sebagai hal yang luar biasa karena sekaligus juga menunjukkan perhatian pemerintah daerah terhadap penyair dan karyanya.
Sosok sederhana
Dalam diskusi, Cyntha Hariadi, penyair yang mengenal Jokpin sejak 10 tahun lalu, menyebut sosok Jokpin sangat sederhana dan mendukung penyair-penyair muda seperti dirinya. Meski telah memiliki nama besar, Jokpin tak pernah merasa besar, apalagi sampai membuatnya bersikap berbeda terhadap orang lain.
Dia menjadi hebat betul-betul hanya karena puisinya, bukan karena yang lain.
Cyntha pun teringat momen berkesan pada suatu kesempatan saat menghabiskan waktu keliling Yogyakarta bersama Jokpin dan seorang rekan penyair lain. Mereka bertiga jalan-jalan, ngobrol, dan makan pisang goreng bersama.
”Kalau sama penyair lain, tidak mungkin bisa jalan-jalan seperti itu dan ngobrol betul-betul seperti setara. Itu kehormatan untuk aku,” ujarnya.
Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Faruk HT menilai Jokpin sebagai orang yang paling intens bergulat dengan puisi. ”Dia menjadi hebat betul-betul hanya karena puisinya, bukan karena yang lain. Ini penting buat kita, bagaimana kita sebagai penyair besar karena puisi,” katanya.
Menurut Faruk, Jokpin menemukan apa yang sebenarnya juga sangat khas Yogyakarta, seperti gambaran orang-orang kecil, keseharian, dan hal sederhana. ”Jokpin bisa mempertemukan keseharian yang lebih dari keseharian, gambaran tentang kehidupan yang lebih dari kehidupan, dan lirik yang naratif tapi naratif yang liris,” ujarnya.
Jokpin memang kerap memakai barang sehari-hari sebagai obyek puisinya. Salah satu yang sering muncul adalah celana. Puisi berjudul itu bahkan menjadi judul buku kumpulan puisi pertamanya yang diterbitkan tahun 1999 dan menjadi salah satu karyanya yang monumental.
Baca juga: Warisan Besar Joko Pinurbo untuk Sastra Indonesia
Setelah itu, buku kumpulan puisi karyanya yang lain mengalir, seperti Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2001), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), Pacar Senja (2005), Kepada Cium (2007), Tahilalat (2012), dan Baju Bulan (2013).
Selain itu, Bulu Matamu: Padang Ilalang (2014), Surat Kopi (2014), Surat dari Yogya (2015), Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (2016), Malam Ini Aku Akan Tidur di Matamu (2016), Buku Latihan Tidur (2017), Perjamuan Khong Guan (2020), Salah Piknik (2021), Sepotong Hati di Angkringan (2021), Kabar Sukacinta (2021), dan Epigram 60 (2022).
Jokpin juga telah meraih berbagai penghargaan sastra, di antaranya, Penghargaan Buku Puisi Dewan Kesenian Jakarta (2001), Sih Award (2001), Hadiah Sastra Lontar (2001), Tokoh Sastra Pilihan Tempo (2001 dan 2012), Penghargaan Sastra Badan Bahasa (2002 dan 2014), Kusala Sastra Khatulistiwa (2005 dan 2015), dan South East Asian (SEA) Write Award (2014).