Penyaluran Pupuk Bersubsidi Belum Tepat Waktu dan Sasaran
Serapan pupuk bersubsidi masih rendah karena penyalurannya kerap belum tepat waktu, bahkan diduga tidak tepat sasaran.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·4 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Penambahan alokasi pupuk bersubsidi belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para petani yang berhak menerima pupuk tersebut. Kondisi itu terjadi karena penyaluran pupuk bersubsidi kerap belum tepat waktu, bahkan diduga tidak tepat sasaran.
Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Kalsel Dwi Putra Kurniawan mengapresiasi langkah pemerintah menaikkan alokasi pupuk bersubsidi pada tahun 2024. Kenaikan alokasinya mencapai dua kali lipat dari semula 4,73 juta ton menjadi 9,55 juta ton.
Dibandingkan tahun sebelumnya, alokasi tersebut naik 3,42 juta ton atau sekitar 55 persen dari alokasi tahun 2023 sebanyak 6,13 juta ton. Kenaikan alokasi ini membuat alokasi pupuk bersubsidi pada 2024 menyamai alokasi pada 2014-2018.
”Penambahan alokasi pupuk subsidi merupakan langkah tepat untuk membantu petani pangan bercocok tanam. Namun, distribusinya sering kali belum tepat waktu, tidak sinkron dengan pola tanam petani. Biasanya pupuk terlambat datang atau belum tersedia ketika petani masuk musim tanam,” kata Dwi saat dihubungi dari Banjarmasin, Jumat (31/5/2024).
Untuk Kalsel, pemerintah menetapkan alokasi pupuk bersubsidi 111.316 ton atau meningkat 59.684 ton (115 persen) dari alokasi sebelumnya 51.632 ton. Rinciannya, urea sebanyak 47.224 ton, NPK 51.314 ton, dan alokasi pupuk organik 12.778 ton.
Secara nasional, berdasarkan data PT Pupuk Indonesia (Persero) sampai dengan 27 Mei 2024, pupuk bersubsidi telah disalurkan sebanyak 2,33 juta ton atau sekitar 24 persen dari total alokasinya. Stok pupuk bersubsidi saat ini tersedia 1,33 juta ton atau setara 217 persen dari ketentuan minimum yang ditetapkan pemerintah.
Khusus di wilayah Kalsel telah disalurkan pupuk bersubsidi 21.524 ton atau sekitar 19 persen dari total alokasinya. Saat ini di Kalsel terdapat stok pupuk bersubsidi jenis urea 9.389 ton dan NPK 19.610 ton.
”Rendahnya serapan itu, antara lain, karena rumitnya syarat administrasi pengambilan pupuk bersubsidi di lapangan. Sebagian petani bahkan merasa didiskriminasi untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara,” ujarnya.
Menurut Dwi, petani yang belum terdaftar di Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) memang belum bisa mendapatkan pupuk bersubsidi. Namun, sebagian yang telah terdaftar diduga bukan murni petani sehingga yang bersangkutan tidak pernah menebusnya. ”Bisnis pupuk bersubsidi ini banyak mafianya,” ujarnya.
Karena itu, Dwi meminta agar data penerima pupuk bersubsidi diverifikasi dan divalidasi lagi supaya sinkron. Sesuai KTP elektronik, pekerjaan penerimanya harus betul-betul petani/pekebun. ”KTP elektronik itulah yang harus menjadi sumber data penyaluran pupuk bersubsidi, bukan data kelompok tani gadungan bentukan oknum pemerintah di lapangan,” katanya.
Iswanto, Ketua Gabungan Kelompok Tani Sumber Rezeki, di Takisung, Kabupaten Tanah Laut, Kalsel, mengatakan, tambahan alokasi pupuk bersubsidi hampir dua kali lipat dari alokasi semula. Sebanyak 19 kelompok tani atau sekitar 380 petani yang bergabung dengannya mendapat alokasi pupuk NPK hampir 600 kilogram (kg) per petani per tahun dan urea sekitar 300 kg per petani per tahun.
”Kedua jenis pupuk bersubsidi itu kami gunakan untuk tanaman padi dan jagung. Harganya bisa lebih murah lima kali lipat dari pupuk nonsubsidi,” katanya.
KTP elektronik itulah yang harus menjadi sumber data penyaluran pupuk bersubsidi, bukan data kelompok tani gadungan bentukan oknum pemerintah di lapangan.
Pemerintah menetapkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi jenis urea Rp 2.250 per kg, NPK Rp 2.300 per kg, NPK formula khusus Rp 3.300 per kg, dan pupuk organik Rp 800 per kg.
Pupuk ini diperuntukkan bagi petani yang melakukan usaha tani subsektor tanaman pangan (padi, jagung, dan kedelai), subsektor tanaman hortikultura (cabai, bawang merah, dan bawang putih), serta subsektor perkebunan (tebu rakyat, kakao, dan kopi).
Tidak langka
Menurut Iswanto, alokasi pupuk bersubsidi untuk petani di kelompoknya selama ini selalu tersedia meskipun tidak pernah terserap 100 persen. Hal itu karena ada beberapa petani yang tidak menebusnya dengan alasan kurang dana dan sebagainya. ”Serapannya rata-rata 90 persen per tahun,” ujarnya.
Direktur Pupuk dan Pestisida Kementerian Pertanian Tommy Nugraha dalam kegiatan Sosialisasi Kebijakan Pupuk Bersubsidi di Banjarmasin, Kamis (30/5/2024), tak menampik adanya beberapa permasalahan terkait pupuk bersubsidi, di antaranya pupuk bersubsidi langka, penebusan sulit, ada petani yang belum terdaftar di RDKK, serta adanya petani yang sudah tua dan jauh dari kios.
Ia memastikan tidak benar jika pupuk bersubsidi langka karena stoknya saat ini sudah lebih dari cukup. Penebusan pupuk juga mudah karena cukup menggunakan KTP dan melalui aplikasi i-Pubers. Penebusan dilakukan secara berkelompok melalui kelompok tani.
”Bagi petani yang belum terdaftar di RDKK, dapat diusulkan pada tahun berjalan perubahan setiap 4 bulan. Sementara itu, bagi petani yang sudah tua, penebusan pupuk dapat diwakilkan oleh anggota keluarga atau kelompok tani,” kata Tommy.
Menurut Asisten Deputi Bidang Industri Pangan dan Pupuk Kementerian BUMN Zuryati Simbolon, Pupuk Indonesia Holding Company siap menjalankan penugasan pemerintah dalam program pupuk bersubsidi. PT Pupuk Indonesia dipastikan siap memenuhi penugasan 9,55 juta ton pupuk bersubsidi karena kapasitas produksinya lebih besar dari angka tersebut.
”Kami mendukung program pemerintah dan berusaha agar pelaksanaan subsidi pupuk ini bisa tepat waktu, tepat sasaran, serta tepat jumlah dan mutunya. Tujuan kita sama, yaitu memakmurkan Indonesia,” katanya.