Perlu Evaluasi Perizinan untuk Meminimalkan Penjarahan Sawit di Kalteng
Konflik lahan menjadi salah satu penyebab maraknya penjarahan kelapa sawit di Kalteng. Evaluasi perizinan dibutuhkan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
SAMPIT, KOMPAS — Penjarahan kelapa sawit milik perusahaan perkebunan di Kalimantan Tengah kian marak dalam setahun terakhir. Namun, proses hukum terhadap para penjarah dinilai tidak akan menghentikan fenomena itu. Perlu ada upaya mengakhiri persoalan sengketa lahan dan kebun plasma dengan evaluasi perizinan.
Berdasar data yang dihimpun Kompas, dalam sebulan belakangan, terjadi empat kasus penangkapan warga dengan tuduhan pencurian buah sawit milik perusahaan di tiga kabupaten di Kalteng, yakni Kotawaringin Timur, Seruyan, dan Kotawaringin Barat. Setidaknya 46 orang ditangkap dan 43 orang di antaranya sudah menjadi tersangka. Adapun tiga orang lain masih diperiksa.
Para tersangka itu dijerat Pasal 363 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pencurian dengan ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Sebagian besar kasus sudah dilimpahkan ke kejaksaan negeri di masing-masing wilayah.
Salah seorang yang ditangkap itu adalah Aur (49), warga Desa Penyang, Kotawaringin Timur. Salah seorang kerabat Aur, Margaretha Maria (49), berharap Aur bisa kembali ke keluarga. Sejak ditangkapnya Aur, Maria mengatakan, istri dan anak-anak Aur mengalami trauma dan memilih bersembunyi entah ke mana.
Aur merupakan salah satu warga yang ikut dalam aksi panen massal dan pembuatan pondok di lahan salah satu perusahaan perkebunan sawit di Kotawaringin Timur. Berdasar penelusuran Kompas, Aur dan beberapa temannya melakukan hal itu karena persoalan sengketa lahan yang sudah terjadi sejak 26 tahun lamanya. ”Sudah lama memang ada masalah itu,” ujar Maria, Senin (13/5/2024).
Penelusuran Kompas juga menemukan, terdapat banyak kelompok yang melakukan penjarahan. Sebagian kelompok itu memanfaatkan aksi panen massal atau klaim lahan oleh masyarakat sekitar perkebunan untuk mencuri sawit. Kelompok itu bahkan datang dari daerah di luar wilayah perkebunan tersebut.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Kalteng Komisaris Besar Erlan Munaji mengatakan, meskipun ada sengketa, seharusnya warga tidak melakukan aksi panen massal. Sebab, dengan perbuatan itu, mereka mengambil barang yang bukan hak mereka.
”Kalau sudah mengambil barang bukan miliknya, itu sudah pencurian. Kalau protes tidak harus melakukan pencurian,” kata Erlan.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Kalteng Rizky Djaya. Ia menjelaskan, selama ini terjadi kekeliruan pemahaman soal kebun plasma. Menurut dia, kebijakan soal kebun plasma hanya berlaku untuk perusahaan yang mendapatkan izin setelah aturan itu berlaku.
Selain itu, kewajiban kebun plasma itu tak selalu diberikan dalam bentuk lahan sawit untuk masyarakat. Beberapa perusahaan sudah melaksanakan kewajiban itu dengan memberikan sisa hasil usaha dalam bentuk uang bulanan kepada masyarakat.
Rizky juga menilai fenomena penjarahan yang marak terjadi ini dapat mengganggu iklim investasi. ”Aksi penjarahan sudah tidak sesuai dengan regulasi, juga budaya kita di Kalteng. Sebaiknya aparat penegak hukum di semua kabupaten bertindak tegas,” katanya.
Akan tetapi, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Bayu Herinata mengungkapkan, penjarahan buah sawit itu terjadi bukan tanpa alasan. Dia menilai masyarakat sudah jengah dengan aksi protes yang tak kunjung mendapat respons dan solusi, baik dari pemerintah maupun perusahaan perkebunan.
”Ada berbagai persoalan, salah satunya soal sengketa lahan. Aksi panen massal itu merupakan bentuk upaya untuk menuntut respons terhadap masalah tersebut,” kata Bayu.
Bayu menambahkan, masalah lainnya adalah soal kesejahteraan. Aksi penjarahan itu menunjukkan perkebunan kelapa sawit belum memberikan kesejahteraan kepada warga.
”Ada kewajiban yang tidak dijalankan, seperti plasma. Dana CSR (tanggung jawab sosial) perusahaan juga tidak memberikan dampak sehingga menjarah jadi jalan karena mereka tak punya pilihan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saat-saat ini,” tutur Bayu.
Menurut Bayu, pemerintah harus memperhatikan kewajiban perusahaan yang selama ini belum sepenuhnya dijalankan. Selain itu, evaluasi perizinan perkebunan kelapa sawit juga mendesak untuk dilakukan.
Ada berbagai persoalan, salah satunya soal sengketa lahan. Aksi panen massal itu merupakan bentuk upaya untuk menuntut respons terhadap masalah tersebut.
Pasalnya, salah satu pemicu konflik adalah persoalan status kawasan di mana tak sedikit perusahaan yang mengambil wilayah hutan untuk konsesi perkebunan mereka. Persoalan klasik ini sampai saat ini tak kunjung selesai.
”Sayangnya jalan yang diambil justru pidana. Ini tidak akan selesaikan masalah. Perlu dilihat lagi latar belakang mengapa aksi itu terjadi,” ucap Bayu.
Evaluasi perizinan saat ini sedang dilakukan pemerintah pusat melalui Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara. Satgas dipimpin Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi. Di dalamnya, ada Kementerian Keuangan, Kementerian Pertanian, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Satgas ini dibentuk untuk penanganan dan perbaikan tata kelola industri sawit. Salah satu tugasnya adalah mengevaluasi kembali perkebunan sawit di kawasan hutan. Dari total 3,3 juta hektar kawasan perkebunan sawit yang masuk kawasan hutan di Indonesia, terdapat 632.133,96 hektar kebun sawit yang masuk kawasan hutan di Kalteng.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Perkebunan Kalteng Rizky Badjuri menjelaskan, satgas itu bekerja sejak April 2023. Targetnya, masalah perkebunan sawit di kawasan hutan bisa diselesaikan pada Desember 2023. Namun, hingga kini, hasil penyelesaian itu belum diketahui.
”Kami juga masih menunggu, begitu juga pengusaha. Satgas ini punya peranan penting dan bisa berdampak pada iklim investasi di Kalteng, terutama mencegah konflik dengan masyarakat,” kata Rizky.